*Republika Ahad (11/2)

Nostalgia *
Banjir

(Alwi Shahab) **

Banjir tak pernah jemu menggenangi Ibukota. Hujan selama tiga hari sejak
Jumat (2/2) lalu menyebabkan 70 persen kota ini lumpuh. Ratusan ribu rakyat
yang kediamannya kebanjiran mengungsi ke berbagai tempat penampungan,
termasuk masjid dan sekolah. Tidur saling berdesakan dalam keadaan perut
keroncongan, kedinginan dan terserang penyakit.

Kita patut mengacungkan jempol atas partisipasi masyarakat dalam membantu
para korban banjir. Sementara, warga *tajir* yang tinggal di
pemukiman-pemukiman mewah lebih memilih mengungsi ke hotel-hotel berbintang
yang selama musibah banjir ini malah dipadati pengunjung.

Banjir di Ibukota sudah terjadi sejak lama, dan selalu memusingkan para
walikota dan gubernur untuk mengendalikannya. Sejak walikota Suwiryo sampai
Sudiro, gubernur Dr Sumarno sampai Sutiyoso. Para gubernur jenderal Belanda,
sejak JP Coen sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer, juga gagal
mengatasi banjir di Jakarta (dh Batavia).

Ada 66 gubernur jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Batavia. Tidak ada
yang pernah merasa bersalah atas terjadinya banjir di kota ini. Bahkan
Sutiyoso -- ketika banyak pihak menyorotinya -- menyatakan selama banjir dia
siaga terus hampir selama 24 jam per hari dan baru bisa tidur pukul 03.00pagi.

Tapi, seorang penulis Amerika Serikat yang selama beberapa tahun menjadi
staf kantor penerangan AS (USIS) di Jakarta, ketika menulis tentang kota ini
menyalahkan pendiri Batavia JP Coen karena mendirikan kota di atas
rawa-rawa. Kalau saja Coen bijaksana dan memilih tempat yang lebih tinggi,
setidaknya bencana banjir dapat dikurangi, dan tidak memusingkan para
penggantinya.

Banjir paling besar di Jakarta terjadi pada tahun 1872, sehingga
*Sluisburg*(Pintu Air) di depan Masjid Istiqlal sekarang ini jebol.
Kita tidak tahu
bagaimana banjir besar 135 tahun lalu itu dibandingkan dengan banjir
sekarang. Yang pasti ketika itu Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta
hotel di Jl Gajah Madah dan Hayam Wuruk.

Sejak banjir besar itu terjadi, pemerintah Belanda berusaha keras untuk
membebaskan kota ini dari banjir dengan membuat Banjir Kanal Barat. Namun,
saluran pembuangan banjir itu sekarang ini boleh dibilang sudah tidak
berarti lagi bagi Jakarta. Sebab, ketika Banjir Kanal Barat didirikan,
penduduk Batavia baru sekitar 600 ribu jiwa.

Sekarang, penduduk Jakarta sudah belasan juta jiwa. Dan, tanpa
memperhitungkan bahaya banjir, banyak di antara mereka yang tinggal di
bantaran-bantaran sungai. Mereka juga menjadi sungai sebagai tempat
pembuangan sampah yang terlarang keras pada masa kolonial.

Pada tahun 1895 pemerintah Hindia Belanda pernah merancang *grand
design*untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Belanda sangat sadar
bahwa Jakarta
merupakan dataran rendah yang potensial terlanda bencana banjir, karena
daerahnya memang berawa-rawa dan banyak terdapat situ (danau kecil).

*Grand design* itu mencakup pembangunan yang menyeluruh dari daerah hulu di
kawasan Puncak hingga hilir di daerah *estuaria* di utara Jakarta. Kini
kawasan Puncak sudah semrawut dan beralih fungsi, sebagian sudah kehilangan
hutan, akibat pembangunan vila-vila yang menyalahi tata ruang. Tidak heran
kalau hujan turun di kawasan ini Jakarta kebanjiran karena hilangnya daerah
resapan air.

Pada belasan abad sebelumnya, yakni abad ke-7, Jakarta berada di bawah
pemerintahan Kerajaan Tarumanegara yang beragama Hindu. Seperti yang tertera
pada Prasasti Tugu (kini disimpan di Museum Sejarah DKI Jakarta), untuk
meningkatkan kemakmuran rakyatnya, raja Purnawarman telah menggali Kali
Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati - Tangerang) sepanjang 12
km.

Untuk itu, sang raja telah menyembelih seribu ekor sapi. Para sejarawan
memperkirakan, bila satu ekor sapi dagingnya dimakan untuk 100 orang, maka
jumlah penduduk di sekitar kawasan itu pada 14 abad yang lalu sudah mencapai
ratusan ribu jiwa.

Ketika melakukan penggalian tersebut, kebijakan pemukiman didasarkan pada
prinsip keseimbangan ekologi. Karena itu, rawa-rawa di pedalaman oleh sang
raja boleh diuruk untuk pemukiman. Maka muncullah nama-nama kampung seperti
Rawa Bangke di Jatinegara dan Rawa Anjing di Banten. Tetapi, rawa-rawa di
pantai oleh raja dilarang untuk diuruk karena merupakan kawasan resapan air.

Sayangnya, ratusan haktar kawasan hutan lindung dan resapan air di Kapuk
Muara, yang pada masa Kerajaan Tarumanegara dilindungi, kini disulap menjadi
hutan belantara beton, berupa real estate, mal, kondominium, dan
sebangsanya. Akibatnya, ekologi Jakarta rusak dan makin parah sejak
dibukanya Pluit dan Muara Karang menjadi pemukiman merah. Padahal, semula
merupakan daerah resapan air.

Tidak heran kalau jalan tol Cengkareng kini langganan banjir. Terutama pada
banjir lima tahun lalu (2002) yang keganasannya hampir sama dengan banjir
sekarang ini. Parahnya lagi, beberapa kawasan resapan air di Jakarta Selatan
kini juga berubah fungsi.

Moga-moga saja upaya gubernur Sutiyoso menjadikan 13 persen dari luas
wilayah Ibukota sebagai 'hutan kota' dapat terealisir -- kini baru
terealisir sembilan persen.


--


Rahmad Budi H
Republika
Jl Warung Buncit Raya 37 Jaksel
0856 711 2387

Kirim email ke