Opini Bisnis Indonesia (11 April 2007) Pemanasan global dan kegagalan ekonomi pasar Oleh Firdaus Cahyadi Kaukus Lingkungan Hidup Jakarta Anggapan bahwa alam mempunyai kemampuan dalam menanggapi berbagai perubahan iklim di Bumi ternyata sering keliru. Bumi kita ini memang sudah seringkali mengalami perubahan iklim, namun karena pengaruh manusia perubahan iklim itu berlangsung semakin cepat. Perbedaan suhu antara zaman es (glacial) dan zaman antar-es (inter-glacial) yang berlangsung dalam ribuan tahun hanya berkisar pada angka 50C. Sementara hanya dalam rentang waktu 100 tahun terakhir ini suhu Bumi telah mengalami kenaikan rata-rata sebesar 0,70C. Jika proses ini terus berlanjut, diperkirakan pada 2030 suhu Bumi telah naik menjadi 30C. Bahkan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksikan bahwa suhu Bumi akan meningkat sampai dengan 5,80C secara global pada akhir abad ini. Data yang dikumpulkan oleh kantor Meteorologi Inggris dan Unit Riset Iklim Universitas East Angila menunjukkan bawa 10 tahun terpanas Bumi sejak 1856 terjadi di dekade 1990-an dan 2000-an. Kedua lembaga itu juga mencatat bahwa 1998 adalah tahun terpanas dalam sejarah. Sedangkan 2002 dan 2003 menempati peringkat kedua, peringkat selanjutnya diduduki oleh 2004. Iklim ekstrem Apa akibat dari pemanasan global yang begitu cepat terjadi tersebut? Organisasi Metereologi Dunia (The World Meteorological Organization/WMO) memperingatkan bahwa kejadian iklim ekstrem seperti hujan yang sangat deras, serangan gelombang udara panas, topan, badai dan kekeringan dapat sering terjadi sebagai akibat dari pemanasan global tadi. Bahkan Jakarta dan kota-kota di dunia lainnya yang berjarak dekat dari pantai diramalkan akan tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Sementara sebuah laporan yang pernah dikeluarkan WWF mengungkapkan bahwa pemanasan global merupakan penyebab utama kekeringan terburuk pada 2002 di Australia. Laporan lembaga ini di 2005 (Europe Feels The Heat) juga menyebutkan bahwa suhu rata-rata musim panas pada beberapa ibu kota negara di Eropa telah meningkat tajam selama 30 tahun terakhir. Pemanasan global ini terjadi akibat naiknya gas rumah kaca (GRK) yang terdiri dari karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitroksida (N20). Pola konsumsi energi bahan bakar fosil (minyak, gas dan batu bara) yang berlebihan dan tidak efisien menjadi penyebab utama meningkatnya GRK di atmosfir bumi. Ekonomi pasar yang mendorong model produksi yang tak hentinya mengubah sumber daya alam menjadi komoditas dan terus-menerus menciptakan permintaan baru dipastikan ikut menjadi penyebab dari meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil terutama di negara maju. Sistem ekonomi pasar menyebar secara tak merata. Di jantung ranah lahirnya yaitu di belahan Bumi utara, ekonomi pasar telah berkembang secara berlebihan, sedangkan di belahan Bumi selatan ekonomi pasar hadir dalam bentuk yang agak terbelakang. Karena itu, dampak lingkungan yang dihasilkan juga tersebar secara heterogen. Salah satu contoh yang paling jelas adalah perbedaan tingkat emisi GRK per-kapita. Satu orang Amerika Serikat (AS) menghasilkan efek emisi sebanding dengan 17 orang Maldive, 19 orang India, 30 orang Pakistan, 49 orang Sri Lanka, 107 orang Bangladesh, 134 orang Bhutan, dan 269 orang Nepal. Meskipun menjadi penyumbang GRK terbesar di dunia, namun secara konsisten AS dengan gigih menolak pengurangan emisi GRK ini. Bahkan George Bush senior pernah menggertak pertemuan puncak Rio de Janeiro dengan pernyataan "Gaya hidup Amerika bukan untuk dinegosiasi" (Simpang Johannesburg, Walden Bellob). Negara-negara maju lainnya seperti Eropa dan Jepang pun sempat terkejut dan ngeri dengan pernyataan ini. Tapi seiring perjalanan waktu, akhirnya gaya hidup yang didasarkan pada konsumsi pun kembali menjadi panglima juga bagi Jepang dan Eropa. Hal itu disebabkan konsumsi yang senantiasa meningkat adalah resep umum dalam mempertahankan keberlanjutan ekonomi pasar. Dampak lingkungan dari ekonomi pasar yang terus berkembang dipastikan lebih jauh dari yang terungkap pada angka-angka statistik. Hal itu dikarenakan untuk menanggapi maraknya gerakan lingkungan di negaranya, negara di belahan bumi utara telah menggeser beban keseimbangan lingkungan global ke pundak negara di belahan Bumi selatan. Kondisi tersebut nampak ketika Jepang menggapai standar kualitas lingkungan hidup mereka dengan cara memacu konsumsi sumber daya alam dan produksi limbah di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Konsumsi Jepang menyerap 70% dari kayu yang ditebang (kebanyakan secara ilegal) di Filipina dari 1950-an sampai 1990-an. Konsumsi komoditas di Jepang berasal dari produksi yang diletakkan jauh dari negara itu. Mulai tahun 1960-an, proses produksi massal yang padat polusi ditransfer secara masif ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, lengkap dengan dampak lingkungan hidup yang membahayakan. Buang sampah Akhir-akhir ini modal Eropa dan Amerika bergabung dengan modal Jepang juga berkontribusi dalam mengubah China yang menjadi pusat produksi dan pusat 'buang sampah' global. Apa yang terjadi pada China dan Asia sekarang ini hanyalah salah satu bagian akhir skenario dari proses memindahkan biaya lingkungan dari pusat ekonomi pasar ke wilayah pinggirannya. Dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim akan dirasakan oleh seluruh penghuni Bumi ini seharusnya mampu membuka mata hati para pengambil keputusan pembangunan negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengkaji ulang manfaat sistem ekonomi pasar yang selama ini telah menjadi semacam 'dewa' bagi pembangunan di dunia. Negara berkembang seperti Indonesia sebenarnya lebih mempunyai kesempatan untuk mengantisipasi 'kegagalan' ekonomi pasar dalam menangkap biaya lingkungan dengan tidak mencontek habis pola pembangunan dari negara-negara maju. Perlu keberanian dari para pimpinan di negara-negara berkembang untuk melakukan intervensi terhadap ekonomi pasar agar mampu menangkap biaya-biaya lingkungan dan sosial yang diakibatkannya. Oleh Firdaus Cahyadi Kaukus Lingkungan Hidup Jakarta
--------------------------------- Get your own web address. Have a HUGE year through Yahoo! Small Business.