Dear All,  Aku dapat dari milis tetangga.Menarik juga untuk dibaca.Makasih 
banget.     Salam,  Dinda     Pengalaman Ikut Tes TRANS Corp.   Surat Terbuka
 Kepada HRD Transcorp yang Terhormat
 
 dari: "Oerang Oerang" [EMAIL PROTECTED] 
   
  
 Dengan segala hormat dan salam hangat, 
 
 
 Rasanya sudah jamak di negeri yang konon mengusung kebebasan 
 berpendapat ini siapa pun dapat berkomentar atas segala apa yang 
 terjadi di sekitarnya. Maka dengan sepenuh kesadaran, saya, 
 selaku peserta tes tahap pertama (No. BDG-055338), 
 menulis surat terbuka ini. Maksud hati adalah ingin mengomentari, 
 atau katakanlah, menyampaikan kesan dan pandangan setelah 
 mengikuti tes tahap pertama rekrutmen Transcorp di tahun 2007 ini. 
 
 
 Baiklah, saya mulai komentar ini dengan sebuah kejanggalan. 
 Seorang teman sesama kota yang sudah menjalani tes pertama 
 lebih pagi sempat bercerita pada saya bahwa di lokasi tes tadi pagi 
 seorang bapak-bapak menghampirinya dan berkata, 
 “Kalau tidak karena melihat berita di TV tentang tes Transcorp ini 
 di Jakarta tempo hari, maka saya pun tidak akan berada di sini.” 
 Rupanya tes ini juga sudah merangsang orang dari berbagai kalangan 
 untuk iseng-iseng menjajal kemampuannya menjawab soal-soal. 
 
 
 Ajaib, memang. Dan katakanlah itu sebuah kejanggalan. 
 Kejanggalan yang sebetulnya sudah dimulai sejak pendaftar mengisi 
 formulir lamaran di www.transcorp. co.id. Dalam hal ini pendaftar 
 tidak diharuskan menyertakan file dokumen hitam di atas putih 
 melalui e-mail attachment, seperti ijazah, transkrip, atau KTP yang 
 bisa membuktikan keaslian data si pendaftar. Bahkan pas foto pun tidak. 
 
 
 Sempat terpikir oleh saya, bukankah dengan demikian siapa pun 
 bisa mengisi formulir itu dengan “data sembarangan” tanpa peduli 
 pada syarat lamaran? Dugaan saya, mungkin sebelum tes pertama 
 dilakukan akan ada seleksi administrasi seperti yang tertera pada 
 skema proses seleksi. Namun, dugaan saya meleset begitu kandidat 
 tes tahap pertama diumumkan. Wajar jika kemudian orang akan 
 bertanya, apa yang menjadi kriteria dalam menentukan si A bisa 
 ikut tes dan si B tidak? 
 
 
 Kejanggalan itu juga sebetulnya sudah saya lihat di berita Trans 7 
 Minggu siang itu. Diberitahukan bahwa tes tahap pertama di 
 Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, itu diikuti oleh lebih dari 
 65.000 peserta dan rupanya mereka yang belum mendaftar pun 
 masih dibolehkan mendaftar di tempat. Tak heran jika yang 
 tampak di layar kaca adalah peserta yang juga bertampang 
 bapak-bapak atau bahkan mungkin sudah bercucu. 
 
 
 Dikatakan juga bahwa mereka yang tidak lolos pada tahap pertama 
 di Jakarta ini masih bisa mengikuti tes di kota berikutnya. 
 Apa mau dikata, sedari awal memang proses seleksi ini 
 menurut saya agak bias, tidak tegas dan ujungnya menjadi tidak fair. 
   
   
  Beberapa teman di Jakarta sana yang datang ke GBK mengaku 
 langsung angkat kaki begitu tahu acara diawali dengan penghargaan 
 Rekor MURI. Mereka yang paham apa arti semua ini tentu juga 
 harus maklum bahwa tes ini lebih dari sekadar “angin surga” 
 tentang sebuah misi yang mulia dari pihak swasta untuk 
 membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran. 
 
 
 Berita di Trans 7 dan di Kompas itu juga menyebut angka total 
 100.000 yang mengikuti tes tahap pertama ini. Memang suatu 
 angka prestasi yang layak mendapat ganjaran rekor MURI—selain 
 rekor dalam hal jumlah joki, barangkali. Karena proses seleksi 
 yang seperti itu secara tidak langsung telah merangsang para 
 joki untuk berbondong-bondong “turun gunung” di luar waktu 
 ujian SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). 
 
 
 Toh peristiwa ini tetap makin memantapkan hasil survei 
 AGB Nielsen Media Research bahwa TransTV, stasiun TV yang 
 baru berusia balita ini, sudah menjadi “Televisi No. 1 di Kalangan 
 Pemirsa Menengah Ke Atas”. 
 
 
 Tapi apa arti semua ini? Orang yang melek dunia industri—
 terutama industri hiburan yang selalu sarat kompetisi—
 akan paham bahwa proses rekrutmen ini juga adalah sebuah 
 aksi promosi. Promosi besar yang menggunakan GBK 
 (stadion terbesar di negeri ini) sebagai etalase. 
 Rekrutmen besar-besaran sekaligus promosi dalam satu langkah. 
 Dengan kata lain: “efisiensi”, sambil menyelam minum air, atau 
 sebutlah, sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui. 
 Tak ada yang salah dalam hal ini. Bukankah zaman modern 
 tak mengenal “angin surga” yang gratisan? 
 There is no free lunch, katanya. 
 
 
 Dari 100.000 lebih pendaftar hanya 500 orang yang akan direkrut, 
 kata berita itu lagi. Memang, butiran intan selalu tersaring di antara 
 pecahan kerikil dan pasir. Artinya, kali ini ada 100.000 lebih 
 pecahan kerikil dan pasir yang akan saling berebut, 
 berdesakan untuk menjadi 500 butir intan yang lolos dari saringan. 
 
 
 Walau bagaimanapun, angka 500 orang itu tentu tetap berarti 
 di tengah lautan pengangguran yang melanda seantero negeri. 
 Bersaing ketat dengan banjir yang melanda Ibukota, bukankah 
 banjir lulusan selalu datang setiap tahun, 
 tak pernah surut, apalagi berhenti? 
 
 
 Ditambah lagi peristiwa ini pun sudah membuka lahan usaha bagi 
 sebagian orang yang tiba-tiba menjadi pedagang dadakan dan 
 dengan ramainya menawar-nawarkan papan alas dan pensil 2B 
 di sekitar lokasi tes. Meski sesudah itu sepi. 
 
 
 Dengan jumlah peserta tes lebih dari 100.000 orang dan yang bakal 
 direkrut adalah 500 orang, maka peluang yang ada lebih kecil 
 dari 1: 200. Saya jadi teringat sebuah teks kitab suci yang 
 menyebutkan tentang peluang kemungkinan seekor unta 
 masuk ke dalam lubang jarum. Dan saya juga ingat 
 The Jakarta Post 18 Maret 2006 lalu pernah menyinggung 
 tentang peluang seorang pendaftar tes PNS (Pegawai Negeri Sipil) 
 di wilayah Jakarta yang sebesar 1:26, di mana lebih dari 
 24.000 orang memperebutkan 950 lowongan. Rupanya lubang 
 jarum pada seleksi tes Transcorp ini hampir 8 kali lebih sempit 
 dari peluang menjadi PNS. 
 
 
 Meski begitu saya tetap berangkat mengikuti tes dengan 
 berbekal keyakinan “siapa tahu dalam ketidakpastian nasib, 
 ada hal-hal yang berjalan di luar rencana.
   
  Soal-soal yang “Ajaib”
 
 
 Adanya pemberitahuan bahwa materi tes adalah pengetahuan umum 
 dan bahasa Inggris ternyata tidak mengurangi “hal-hal 
 yang berjalan di luar rencana”. 
 
 
 Setelah membaca soal-soal tes yang “ajaib” itu saya hanya bisa 
 menduga-duga bahwa mungkin soal-soal itu adalah cuplikan dari 
 soal pada program acara kuis yang mungkin di kemudian hari akan 
 hadir di TransTV atau Trans 7. Entahlah. Yang pasti soal-soal itu 
 memang dirancang mirip soal-soal kuis di televisi. Bedanya, 
 tak ada kesempatan untuk berfifty-fifty, ask the audience, 
 atau phone a friend, apalagi switch question seperti sebuah acara 
 kuis di stasiun TV tetangga.
 
 
 Saya hanya berpikir, toh setidaknya sesampainya di rumah, 
 saya (yang tak ada setetes pun darah Jawa) jadi tahu bahwa 
 jumlah hari dalam satu minggu pada kalender Jawa adalah 5 hari 
 yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Lucunya, 
 teman saya tadi yang jelas-jelas keturunan Jawa ternyata juga 
 tidak tahu jawaban soal itu. Toh ini memang tak ada 
 sangkut-pautnya dengan keturunan. Dan tentu tak ada maksud 
 rasis atau sukuisme dalam soal “ajaib” itu. 
 
 
 Tapi yang paling ajaib dari yang ajaib tentunya soal-soal 
 ekonomi dan perbankan, seperti soal tentang kurva Engel atau 
 kebijakan Bank Indonesia. Soal-soal semacam ini membuat saya 
 jadi makin paham apa arti “pengetahuan umum”, yaitu 
 pengetahuan yang saking umumnya, bisa tentang apa saja, 
 termasuk yang masyarakat umum pun tidak tahu. 
 
 
 Pikir punya pikir, mungkin soal-soal ekonomi dan perbankan ini 
 sekaligus untuk menguji orang-orang berlatar pendidikan ekonomi 
 untuk nantinya diproyeksikan berkarir di Bank Mega dan sekutunya. 
 Kalau benar begitu, ini pun tampaknya satu bentuk lain dari 
 “sekali merengkuh dayung...” Tak diragukan lagi, 
 efisiensi memang “hukum besi” di dunia industri. 
 
 
 Dan bagi saya, yang juga termasuk “hal-hal yang berjalan 
 di luar rencana” adalah ketika waktu tes yang dijadwalkan 
 120 menit dipangkas secara sepihak menjadi 90 menit. 
 Apa boleh buat, dengan 150 soal dalam 90 menit, artinya 1 soal 
 digarap dalam 0.6 menit alias 36 detik (itu pun sudah termasuk 
 membaca soal bernarasi panjang dalam Reading Comprehension) , 
 memang tak ada kesempatan untuk mengerahkan jurus pamungkas 
 “menghitung kancing”. Tak ada cara lain. Lirik kanan-kiri 
 hanya akan meruntuhkan harga diri sekaligus menipu diri sendiri. 
 
 
 Yang paling mungkin adalah mengerahkan jurus paling pamungkas 
 dari yang pamungkas, yaitu “asal tembak”, mengandalkan insting 
 campur “feeling so good” alias untung-untungan, sambil berharap 
 semoga perhitungan komputer bisa meleset atau kena error 
 hingga membuat jawaban salah menjadi benar. Harapan yang 
 hanya mungkin terjadi di dunia imajiner, tapi tentu mustahil di 
 dunia nyata. Maaf, tak pernah terlintas di kepala saya untuk 
 melakukan aksi walk out alias angkat kaki. 
 Tentunya samasekali tidak lucu jika itu terjadi. 
 
 
 ***
 Demikian komentar panjang ini saya sampaikan. Sesungguhnya 
 saya hanya sedikit berharap bahwa surat ini setidaknya bisa 
 menggambarkan pandangan saya sebagai peserta tes tentang 
 proses rekrutmen Transcorp kali ini. Sekali lagi, 
 saya hanya sedikit berharap. 
 
 
 Karena saya sadar, tahun 2006 yang baru lewat sebulan lalu telah 
 mengajarkan pada kita, bahwa harapan yang terlalu muluk dan 
 berlebihan bisa berujung pada ilusi. Toh harapan yang 
 sesungguhnya, kata seorang penulis, adalah seperti jalan setapak 
 di pedalaman, mulanya tak ada jalan semacam itu, namun setelah 
 banyak orang yang melewatinya maka jalan itu tercipta. 
 
 
 Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. 
 Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan. Akhirnya, 
 dari rangkaian tulisan ini kita makin tahu bahwa di luar sana 
 memang masih ada hal-hal yang berjalan di luar rencana. 
 
 
 Salam hangat, jabat erat 
 
 
 Peserta Tes Transcorp di Bandung 
 No. BDG-055338 yang tidak lolos tahap I
  

Kunjungi blog aku di:
http://titiana-adinda.blogspot.com/
                
---------------------------------
Sekarang dengan penyimpanan 1GB
 http://id.mail.yahoo.com/

Kirim email ke