Karena tentu saja sedang berkabung berat, saya mengerti Bung Kusni yb
menutup berita dibawah ini dengan kata-kata Chairil Anwar dan menyentuh 
Sisyfos, tokoh mitologi Yunani. Sayang sekali saya tidak tahu sekait persepsi 
Albert
Camus ttg tokoh tsb. Yang saya ingat eksistensialisme menurut JP Sartre,
Simone de Beauvoir, A Camus  memang cukup pesimistis isinya.

Apakah jalan nasib manusia itu seperti Sisyfos, raja yang karena tingkahlakunya 
yang
tidak terpuji lalu di Hades, neraka, dihukum oleh para Dewa untuk sepanjang 
jaman
mendorong-dorong batu besar keatas bukit dan pada puncak selalu jatuh kembali?
Kesia-sian total? Mungkin masih ada juga kesenangan-kesenangan yang membuat
hidup ini agak cerah?

Walau tidak akan selalu harus seperti yang menjadi judul buku "tetangga" Bung 
di Paris,
Milan Kundera, "The unbearable lightness of being",  yang jadi terdengar 
seperti 
eksistensialisme "terbalik".

Salam sambil memikir-mikirkan penutup tulisan dibawah ini, yang memang sangat
menyentuh,
Bismo DG

  ----- Original Message ----- 
  From: Kusni jean 
  To: hksis ; WAHANA NEWS ; [EMAIL PROTECTED] ; nasional-list ; koransastra 
  Sent: Saturday, February 10, 2007 3:23 PM
  Subject: [nasional-list] jurnal shangrila: berita lanjut tentang alm. sobron 
aidit



  Jurnal Shangrila:


  BERITA LANJUT TENTANG ALM. SOBRON AIDIT



  Pagi ini, 10 Februari 2007,  jam 09:23, matahari musim dingin masih belum 
nampak di langit yang kelabu. Di ujung sana kudengar suara lelah dan serak 
sehingga tidak mampu kukenal. 

  "Suaranya tidak terlalu jelas,  Bung Pijo", ujarku menebak suara yang yang 
kudengar itu adalah suara Mas Pijo, salah seorang teman kami.

  "Aku ini, Mil. Iba", tegas suara di ujung yang jauh mengetahui kekisruhanku.

  "Ada apa? tanyaku. "Pasti berita buruk".

  "Ya, pagi ini jam 09:00, Oom Sobron sudah meninggal di rumah sakit Pitie 
Salpetière. Kau siarkan berita ini, ya,  agar teman-teman segera 
mengetahuinya". Lalu telpon pun ditutup dan percakapan kami berakhir. Aku 
segera mencuci muka dan mengenakan pakaian musim dingin menuju rumah sakit. 
Sebenarnya, hari ini, sekitar jam 13:00, semua kami  yang berada di sekitar 
keluarga Koperasi Restoran Indonesia, Paris, memang berencana menengok Bung 
Sobron  di rumah sakit, setelah kemarin Bung Joso setelah pulang dari rumah 
sakit, menyampaikan keterangan dokter yang menangani Bung Sobron, bahwa Sobron 
sudah hanya menunggu saat kepergian. Sudah tak ada harapan lagi untuk 
tertolong. Mas Aji, teman kami yang seorang dokter bedah memberikan keterangan 
medisnya. Kami yang mendengarnya hanya terdiam dengan pikiran masing-masing. 
Lalu sepakat untuk bersama-sama hari ini mengunjungi Bung Sobron.  Ternyata 
perkembangan berlangsung lebih cepat dari keinginan dan rencana kami. Bung 
Sobron telah meninggal mendahului rencana kami.

  Keluar dari metro [kereta-api bawah tanah]  Chevaleret, aku dan temanku 
segera menuju ke rumah sakit Pitie Salpetière, rumah sakit terbesar di Eropa 
Barat yang luas kompleksnya merupakan sebuah kota kecil dalam arti harafiah.

  Menyusur jalan-jalan berkabut, di bawah angin dingin dan pepohonan meranggas, 
aku dan temanku meneliti nama-nama jalan dan papapan penunjuk arah. Sambil 
meneliti semua nama jalan dan papan petunjuk arah,  kami berpapasan dengan 
seorang perempuan muda berpakaian putih, stateskop di kantong bajunya. 
Perempuan yang kemudian ternyata seorang dokter kami hampiri, menanyai alamat 
yang kami sedang cari.

  "Mari kuantar. Aku juga sedang mau ke alamat tersebut", ujarnya.

  "Terimakasih".

  "C'est normal", hal yang wajar", jawabnya ramah lembut.          

  Di  ruang yang kami cari terdapat beberapa kamar. Kami tidak tahu di kamar 
mana jenazah Bung Sobron dibaringkan. Kembali aku bertanya  kepada seorang 
jururawat perempuan yang kebetulan lewat. Ia menunjuk ke sebuah pintu.

  "Masuklah", ujarnya sambil berlalu meneruskan pekerjaannya.

  Aku dan temanku masuk. Tak ada seorang pun di kamar itu. Ponakan, anak, cucu 
dan menantu Bung Sobron masih belum datang. Di hadapan kami terbujur jenazah 
ditutup kain putih dari kaki hingga kepala. Kain putih itu kubuka dan 
kusaksikan wajah teman lamaku: wajah Sobron Aidit.  Pucat. Dua matanya 
terkatup. Tak lagi ada gerak apa pun sudah.  Kematian sudah menyekapnya. Yang 
berkeliaran di hadapanku adalah kenangan kebersamaan di berbagai negeri.   
Terutama di negeri orang. Yang masih tak mati adalah tulisan-tulisannya. 
Kata-kata tak terbunuh ajal. Arus mengalir dan mengalir. Angin yang tak punya 
dahan hinggap.

  Usai mengambil beberapa foto dengan kamera digital sederhanaku, keluarga Bung 
Sobron dan teman-teman keluarga Koperasi Restoran Indonesia berdatangan. 
Melihatku Nita, puteri Bung Sobron langsung menangis dan menyandarkan dirinya 
ke bahuku. Tak ada kata-kata yang ia ucapkan kecuali :"Ooom...". 

  "Gagah, nak", ujarku lirih ke telinga Nita.

  "Ya, Oom. Aku akan gagah".

  Kemudian Nita dan Wita, mbakyu kandungnya, mulai sibuk menangani soal-soal 
adminstratif di rumah sakit, berunding dengan Joso dan Didien, sebagai 
penanggungjawab Koperasi Restoran kami. 

  Dari diskusi itu untuk sementara yang bisa diputuskan bahwa hari melayat 
terbuka mulai:


  HARI MINGGU, 11 FEBRUARI 2007
  JAM: 13:30 sd 16.00
  TEMPAT: CHAMBRE MORTUOIRE [RUANG JENAZAH]
  ALAMAT: 22, RUE BRUANT 
  RUMAH SAKIT PITIE SALPETRIERE
  75013 PARIS 

  METRO: CHEVALERET


  Hari kremasi masih belum diputuskan. Menurut rencana sementara, hari kremasi 
itu akan dilakukan akhir pekan minggu depan.  Hal ini dimaksudkan untuk memberi 
kesempatan kepada teman-teman dari luar Perancis yang ingin memberikan 
penghormatan terakhir.

  Sesuai dengan permintaan terakahir  Bung Sobron, upacara akan dilakukan 
secara agama Kristen. Sobron sendiri sudah menetapkan pendeta yang ia harapkan 
bisa memimpin upacara. Sedangkan abunya, ia minta agar sebagian ditaruh didekat 
makam istrinya di Beijing, sedangkan separo lagi di samping makam ibunya di 
Indonesia.  

  Permintaan terakhir Sobron ini, mengingatkan aku akan kata-kata penyair Agam 
Wispi alm.:


  "pita merah dan matahari
  cinta berdarah sampai mati".


  Hidup merupakan arena berlaga cinta dan ajal. Benarkah kata-kata Chairil 
Anwar bahwa: "hidup menunda kekalahan" dan kita tidak lain dari Sysiphus, jika 
menggunakan ungkapan Albert Camus?!


  Paris, 10 Februari 2007.
  --------------------------------
  JJ. Kusni

   

Kirim email ke