Kok kalo saya bilang, tak perlulah ketemu-ketemuan resmi dan adu gagasan segala. Jika teman-teman yang kumpul di Rumah Dunia punya kritik yang jelas tentang TUK, tak perlu ketemuan pun bisa disampaikan. Bisa di berbagai milis, koran, dlsb. Kalau kritiknya kuat dan compelling, mereka yang di TUK pasti juga akan "gerah" dan bunyi sendiri untuk merespons.
Di masa lalu, beberapa kali kita sudah melihat suara TUK di Bentara, misalnya. Mereka secara serius merespons tanpa diminta atau ditekan. Tapi kalo isi polemiknya maki-makian doang, ya kaya anjing menggongong saja. Percayalah, TUK akan cuek bebek. Kalo pakai ketemu-ketemuan, nanti malah dikira mau musyawarah untuk mufakat. Seniman mana doyan yang beginian? Saya melihat ada dua pokok persoalan dalam pelbagai statement yang dikeluarkan Ode Kampung: yang pertama terkait estetik, dan yang kedua politik. Jika dua-dua wilayah ini bisa ditangani secara sungguh-sungguh dalam kritik mereka (tak hanya statement-statement saja, apalagi sumpah serapah), saya percaya akan mungkin lahir suatu kritik seni yang membuka pintu bagi sebuah pemikiran segar akan estetika seni di Indonesia. Ada puluhan lho seniman yang hadir di sarasehan di Banten itu! Pemikiran-pemikiran K. Bandel adalah salah satu yang patut dipertimbangkan. Sayang, dia "tercemar" oleh ulah Saut, yang pekikan-pekikan premannya lebih lantang terdengar di mana-mana. Cilakalah kalo dia sampai ketularan Saut! Mengapa para penanda tangan Ode tidak mendorong atau memberikan lebih banyak kesempatan buat perempuan ini untuk mengambil peran lebih sentral, dan membiarkan orang seperti Saut menghancurkan sebuah aspirasi yang dengan susah payah digagas bersama? Syukur-syukur jika ini bisa dikontekstualisasikan dalam isu kedua, yaitu politik. Jadi, tidak terpisah dan jalan sendiri-sendiri. Karena bagaimanapun, keduanya sasaran tembaknya adalah satu, yakni TUK. Pemikiran kritis tentang estetik yang dapat secara tepat dipadukan dengan yang politis akan jadi sebuah ledakan besar. Dan polemik ini akan meninggalkan warisan yang besar pula bagi masa depan. Tapi, caranya jelas bukan dengan maki-maki pribadi atau hujat-hujat lembaga. Jika ini tidak bisa diatasi, say goodbye to the momentum! manneke -----Original Message----- > Date: Tue Sep 18 23:07:44 PDT 2007 > From: "radityo djadjoeri" <[EMAIL PROTECTED]> > Subject: Solusi damai > To: "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL > PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" > <[EMAIL PROTECTED]>, "ilalang" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" > <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL > PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, > "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL > PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" > <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL > PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, > "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL > PROTECTED]>, "budaya tionghoa" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" > <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL > PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>, "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]> > > Kemarin saya dapat email dari Mas Effendy di harian Media Indonesia. Ia > merasa bosan, kenapa semua orang kok mengikuti dendang dan goyangan Saut > Situmorang? Kok tak ada yang lain? Saya tak mau sebutkan - confidential, > karena hanya akan memperpanjang permasalahan yang menurutku itu tak perlu. > > Saya sarankan, kita lupakan saja Saut Situmorang. Karena setiap dia muncul, > masalah baru selalu timbul. Tak ada yang bisa diharapkan dari sosok seperti > ini: sang trouble maker. Semua orang bisa terseret dalam perseteruan. Ibarat > perseteruan keturunan Ismail dan Ishaq yang bakal berseteru hingga akhir > zaman, karena sudah semakin sulit didamaikan. > > Nah, saya ingin berandai-andai. Bisakah teman-teman dari Rumah Dunia > bertemu dengan teman-teman dari TUK? Semisal adu gagasan, konsep, serta how > to manage sebuah rumah seni budaya di Indonesia. > > Siapa tahu dengan pertemuan itu akan bermunculan RD RD (bukan Radityo > Djadjoeri, tapi Rumah Dunia) yang lain, semisal Rumah Tangerang, Rumah > Serang, Rumah Pamulang dan seterusnya. Kan TUK juga lagi merancang Rumah > Salihara yang sophisticated tapi membumi di Pasar Minggu, dekat Balai Rakyat > - tempat berkumpulnya anak-anak muda. > > Karena pada dasarnya RD adalah sebuah konsep yang bagus untuk pengembangan > seni budaya di ranah lokal. Teman-teman dari daerah lain mungkin bisa > menirunya. Toh meniru hal-hal yang baik seperti dianjurkan oleh orang-orang > bijak bestari itu kita dapat memetik manfaatnya daripada mudharatnya. > > > Salam, > > RD > > > > > > e-mail: [EMAIL PROTECTED] > blog: http://mediacare.blogspot.com > > > > --------------------------------- > Check out the hottest 2008 models today at Yahoo! Autos.