Tulisan Pak Dr. KM yang sangat menarik. Sebelum ada perubahan yang positif dan 
saya
kira akan pelan sekali, mungkin langkah pertama agar masyarakat kompatibel 
dengan
segala tantangan di abad 21 ini ialah SEKULARISME, yaitu pemisahan urusan agama 
dari
urusan negara atau keduniawian secara menyeluruh?

Btw, hal ini sedang membuat ramai perpolitikan di Turki, karena capres tunggal 
dianggap
agamis hingga yang sekuler, termasuk angkatan bersenjata yang menjunjung warisan
Kemal Ataturk The Founding Father, sangat menolaknya.

Salam, Bismo DG

  ----- Original Message -----
  From: HKSIS
  To: HKSIS-Group
  Sent: Saturday, May 05, 2007 2:31 AM
  Subject: #sastra-pembebasan# Tuhan di Luar, Tuhan di Dalam - Kapitalisme yang 
Humanistik




  KOMPAS - Sabtu, 05 Mei 2007




  Tuhan di Luar, Tuhan di Dalam

  Kartono Mohamad

  Bagi banyak orang, Tuhan ada di luar. Orang sering merujuk tempat Tuhan 
sebagai di atas, entah di mana. "Terserah yang di atas" adalah ungkapan yang 
biasa diucapkan saat orang menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.

  Tuhan yang diagungkan tidak mungkin ada di bawah dan lebih rendah dari 
manusia. Banyak agama meyakini, tempat Tuhan yang "di atas" itu. Musa menemui 
Tuhan di puncak gunung di Sinai. Setelah disalib, Yesus diyakini "diangkat ke 
langit". Nabi Muhammad pernah dipanggil "naik" ke tempat Tuhan lalu menerima 
perintah untuk umatnya.

  Tuhan dimanipulasi

  Karena Tuhan ada di luar diri kita, banyak orang merasa dekat hanya saat 
mengunjungi-Nya, saat bersembahyang di masjid, gereja, pura, atau vihara. Pada 
saat itulah manusia merasa telah mendekat kepada Tuhan dan berharap Tuhan akan 
mengingat kehadirannya. Selepas itu, bahkan tidak jarang baru beberapa langkah 
keluar dari tempat ibadah, ia sudah lupa akan Tuhan. Tuhan sudah ditinggalkan 
di masjid, gereja, pura, atau vihara. Seperti gurauan teman saya orang 
Filipina, "On Sunday we are true Catholics. On the other days, we are true 
Philippinos". Pada hari lain kembali mereka senang bertaruh menyabung ayam dan 
bermabuk-mabukan.

  Konsep Tuhan jauh di atas juga membuat Tuhan seperti orang lain yang dapat 
dimanipulasi, ditipu, atau disuap. Banyak penganjur agama yang mengatasnamakan 
Tuhan dalam meminta upeti, fasilitas, atau layanan pribadi kepada umatnya yang 
miskin. Mereka menjual Tuhan untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri.

  Itulah yang menyebabkan Karl Marx menuduh agama sebagai candu rakyat. Rakyat 
miskin dicekoki, mereka harus lebih mementingkan Tuhan daripada diri sendiri, 
tetapi tidak satu pun yang mengangkat kemiskinan. Rakyat diajari, kemiskinan 
adalah takdir Tuhan maka banyaklah sembahyang dan beramal agar tertolong dari 
kemiskinan.

  Tuhan yang di luar juga bisa ditipu. Setelah manusia mencuri atau korupsi, ia 
akan merasa sudah berbuat amal atau menebus dosa jika sebagian hasil korupsinya 
disumbangkan untuk membangun tempat ibadah atau pergi haji. Secara spiritual ia 
telah melakukan pencucian uang, menyuap Tuhan, dan mencari pujian dari sesama 
manusia. Bagi yang menganggap Tuhan ada di luar, Tuhan tidak tahu kalau ia 
korupsi atau menipu dan hanya tahu ia pergi haji atau menyumbang pembangunan 
rumah ibadah.

  Lebih parah lagi, selain menganggap Tuhan ada di atas, manusia lalu 
mengangkat diri sebagai wakil Tuhan di bumi dan berhak menafsirkan perintah 
Tuhan menurut diri sendiri. Ia juga merasa berhak mewakili Tuhan untuk 
menentukan siapa yang berdosa, siapa yang kafir, dan siapa yang murtad. Selain 
menjadi jaksa, ia juga merasa berhak menjadi hakim lalu menjatuhkan hukuman 
bagi mereka yang dianggap menyimpang. Dulu ada nabi-nabi yang diyakini dapat 
berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan menjadi wakil Tuhan di bumi. Kini tidak 
ada lagi nabi. Untuk itu manusia mengangkat dirinya sendiri sebagai yang berhak 
mewakili Tuhan. Ia lalu menganggap ucapannya adalah ucapan Tuhan. Celakanya, 
orang-orang yang merasa mewakili Tuhan tidak jarang saling berebut pengaruh 
agar dialah yang dianggap paling benar. Jika perebutan secara adu argumentasi 
tidak berhasil, adu otot pun terjadi. Kekuatan fisik, jika perlu melalui teror, 
ditonjolkan. Negara dan polisi dibuat takut menindak karena melawan mere ka 
identik melawan Tuhan.

  Tuhan di dalam

  Sudah sejak abad ke-18, para pakar filsafat berdebat tentang keadaan Tuhan. 
Ada yang menganggap Tuhan tak ada, ada yang berpendapat Tuhan ada tetapi tidak 
operasional lagi (kaum Deist), bahkan ada yang menganggap Tuhan sudah mati 
(antara lain Nietzsche). Kaum Deist, seperti kebanyakan penganut agama masa 
kini, menganggap Tuhan ada jauh di atas sana. Sepanjang ia ada jauh di sana, 
biarkan Ia dengan kesenangan-Nya sendiri, atau buatlah agar Ia senang di 
tempat-Nya (Deist position kept God happily in His place).

  Yang agak berbeda adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia mengaku percaya ada 
Tuhan, tetapi Tuhan diyakini ada bukan karena segala sesuatu harus ada awalnya. 
Bagi Kant, Tuhan dianggap sebagai pembuat hukum moralitas tertinggi. Manusia 
yang baik adalah yang mematuhi hukum Tuhan. Hanya saja Kant tidak menganggap, 
Tuhan tidak ada di luar, tetapi di dalam diri kita (God is not a being outside 
me...Only God in me, about me, and over me). Ia memperkenalkan teori 
Categorical Imperative: Kita wajib berbuat baik dan benar karena dorongan dari 
diri sendiri, karena ada Tuhan pembuat hukum di dalam diri kita. Tuhan dalam 
diri kita juga tidak dapat ditipu, dimanipulasikan, atau dijual untuk 
kepentingan kita.

  Memahami konsep bahwa Tuhan ada dalam diri sesuai ajaran Kant akan sulit bagi 
kebanyakan kita yang sudah terbiasa menempatkan Tuhan ada di luar diri kita, 
jauh di atas sana. Kita sudah menjadi penganut Deist yang membiarkan Tuhan 
berada jauh di sana, lalu kita wakili kehadiran-Nya di dunia, baik sebagai 
jaksa maupun hakim bagi manusia lain. Sementara kita sendiri tetap berbuat 
semau kita dan hanya sesekali menghadap-Nya, sebagai basa-basi rutin.

  Manusia yang menganggap Tuhan jauh di atas tidak merasa bersalah saat ia 
korupsi, mencuri, atau merugikan orang lain. Tuhan yang jauh akan diam saja, 
atau senang, asal sesudah itu manusia bersembahyang, pergi haji, atau membangun 
rumah ibadah. Beda dengan konsep Kant yang mengatakan kita harus selalu berbuat 
baik dan menghindari berbuat jahat karena Tuhan ada di dalam diri kita.

  Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB 
IDI)

Kirim email ke