Ridwan  dan Idealisme Jurnalis kita.

3 hari yang lalu, tgl 22 agustus 2007, tepat setahun tragedi di Ikip Mataram 
yang merenggut nyawa seorang Mahasiswa nya, Ridwan. Ridwan terbunuh pasca 
pertikaian yang melibatkan kelompok mahasiswa Ikip Mataram dengan kelompk 
preman, yang disewa pihak yayasan untuk mengamankan kampus. 
Terlepas dari apakah gugurnya Ridwan layak kita sandingkan dengan kematian 
Elang Mulya Lesmana dkk, yang ditasbihkan sebagai pahlawan reformasi dan 
kematiannya diperingati setiap tahun, layak kita pertanyakan nurani para 
jurnalis yang menjadi saksi mata aksi "heroik" para preman ketika itu. 
Sejak Ridwan dijemput paksa dari tempatnya mencoba bersembunyi, pemukulan yang 
bertubi-tubi diterimanya, sementara dia dalam kungkungan preman yang lainnya, 
sampai   kemudian , dari arah depan seorang preman lain lagi, dengan pisau 
terhunus, berlari dan kemudian menghujamkan pisau ke tubuhnya, yang kemudian 
membuatnya terkulai, jatuh pingsan dan sesaat kemudian meregang nyawa. 
Semuanya tersaji secara dramatis di layar tivi kita, hampir semua stasiun, bak 
adegan sinetron, berkat "jasa" para jurnalis yang tentunya beruntung berada di 
TKP. Para jurnalis kita tentu berusaha mengabadikan moment itu, atas nama 
naluri kewartawanan mereka, dari berbagai sisi. Mereka sepertinya tahu Ridwan 
akan jadi martir, makanya dengan resiko apa pun, moment ini harus terekam, 
selengkap mungkin, demi pemirsa di rumah. Lengkap dengan narasi nantinya, yang 
akan makin menguatkan betapa dramatisnya detik2 terakhir kehidupan Ridwan. 
Meski di benak mereka, hampir pasti ada keinginan untuk menyelamatkan Ridwan, 
tapi itu terpaksa ditampikkan. Bagaimana pun moment penting nan tragis ini 
jangan sampai terlewatkan, demi pemirsa di rumah.
Padahal dari tayangan yang saya saksikan dengan rasa campur aduk antara sedih 
dan marah, di TKP jumlah wartawan dan kelomok premannya nyaris berimbang. 
Artinya wartawan ketika itu punya peluang untuk  menyelamtkan Ridwan,  paling 
tidak mencegah  si pelaku penusukan untuk mendekat dan berjarak cukup dekat 
untuk menghujamkan pisau ke tubuh mungil Ridwan. Tapi usaha itu sepertinya 
tidak ada. Sayangnya. 
Wartawan ketika itu, sepertinya lebih sibuk mencari angel yang bagus, padahal 
Ridwan jelas dengan segala daya amat berharap ada yang siap menolongnya. 
Berharap ada dewa penyelamat yang tiba-tiba hadir untuk membebaskannya. 
Berharap orang2 disekitarnya tiba2 ada yang bisa berubah menjadi tokoh hero 
layaknya kesatria baja hitam. Konon, Ridwan sempat mengaku-ngaku sebagai polisi 
demi mencegah kelompok preman itu menganiayanya lebih lanjut. Tapi harapan 
Ridwan kemudian sia2 karena di sekelilingnya hanya ada preman, yang sudah jelas 
adalah tokoh anatagonis nya dan sejumlah wartawan yang idealis Sekali lagi 
mereka cuma wartawan, jurnalis yang kukuh dengan idelaismenya, dan bukan polisi 
atau siapa pun yang mungkin bisa menyelamatkannya.
Andaikan Ridwan itu saudaramu, adikmu, apakah mereka akan tetap bertahan dengan 
keyakinan bahwa mereka cuma pewarta dan bukan polisi pengamanan? 
Membandingkannya dengan kematian tragis seorang Polisi yang juga tewas dalam 
bentrokan dengan kelompok pendemo di Papua, rasanya tidak tepat. Kondisinya 
berbeda, Ridwan tidak bersenjata atau apa pun yang bisa digunakan untuk 
membalas serangan kelompok penganiayanya, Ridwan bukan terjebak tapi dia 
dijemput dan dia sendirian.
Saudara ku Ridwan, hati kecil mu mungkin dengan amat keras berteriak, menggugat 
mengapa orang2 di sekeliling mu lebih sibuk dengan cameranya? berusaha 
menyadarkan bahwa ini bukan dagelan, matamu jelas amat menyiratkan itu, "tolong 
aku, tolong aku, tolong aku...selamatkan aku...kawan"
Sekali lagi wartwan ketika itu punya peluang untuk menjadi penyelamat mu, 
paling tidak berusaha menjauhkan dari jangkauan pisau terhunus yang siap 
menghujam tubuhmu.
Sayangnya, para wartawan ketika itu lebih memilih menjadi jurnalis yang idealis 
ketimbang menjadi satria yang punya hati nurani.
Saudara ku Ridwan, beristirahatlah denga tenang di sisiNya. Idelaisme memang 
kadang hitam putih, meski selalu harus ada korban atas namanya.

dengan segala hormatku, 
takha







       
---------------------------------
Got a little couch potato? 
Check out fun summer activities for kids.

Kirim email ke