DOKTOR SOBANA DAN BUNG SUNNY YANG AMBON, tentang penghancuran UTAN DAN SUNGAE DI JAWA BARAT DAN JAWA.
15 maret 2007,kamis Hehehe,daku keluar dari tapa gentayangan, mengliat sungae dan utan di Nusantara, yang memang dirungsak parah oleh para bupatinyah melaluin antek2 cantriknyah, dari Lurah sampe ke jaro jaronyah. doktor sobana yang arip serta Ambon yang sunny bukan syiah? hehehe daku memang kudu jadi humorist, kutika mengliat kenyataan, AMPIR PUNAHNYAH,DAKU PUNYA HAREPAN, UNTUK MENYELAMETKEN SUNGAE2 CISADANEH DI BANTEN, DAN SUNGAE BRANTAS DI SUROBUAYA, YANG EMANG TINGGAL MENUNGGU URUGNYAH ATAWA MENYEMPITNYAH, JADI BANGUNAN BETON2. inih memang enggak terlewatken pengusaha2 sipit2 dan pribumih korawa, yang RANGKUS2 TANPA PERDULIH LINGKUNGAN IDUP MEREKAH. doktor sobana dan ambonsunny, PIGIHMANA USAHA KITA, AGAR PARA BUPATI NAN JAWARAH, Sakmodel di Banten2 ituh, atawa bromocorah berpangkat di Jawa Timur atawa Jawa Barat, BISAK DITOBATKEN ATAWA SBY PANTHAT PEREMPUAN, bisak digugah ATI NURANINYAH? kerana sakbagaemana daku kataken2 berulang kalih, betapa DAERAH LEBAK, DIKEDUKIN PASIR PUTIHNYAH, SEMENTARA JALAN RAYA SATU SATUNYAH, JADI RUNGSAK BERAT. Apahkah menteri lingkungan idup, menteri ke utanan yang koplok2 ituh, ENGGAK PERNAH MELENGWATIN JALAN MAKSIAT ITUH? CUBALAH PUTERA2 BANTEN, YANG SESUMBAR MAOK MEMBERANTAS KOROPSIH ITUH, JALAN2 KE DAERAH LEBAK SAMPE DAERAH SINGARAJAH, MENUJU BOGOR ITUH. apah bener, KALIAN PEMBELA2 TANAH BANTEN? DARI PARA BANGSAT JAWARAH KALIAN? Daku jadi sangsih,kutika daku sendiri berkuliling memelototin ituh TANAH DAN SAWAH2 BEGITU GAMPANGNYAH DIURUG DAN DIJADIKEN PABRIK2 YANG MAHA RANGKUS, TANPA PERDULIH LINGKUNGAN IDUPNYAH. perhatiken di daerah BANTARAN CISADANEH, DARI PINTU AER 10 AMPE KE MAUK, ATAWA TELUK NAGA, DAN SEKITAR SEPATAN... pigihmana ituh BANGUNAN IRIGASIH YANG DICINTAIN TIRAN JAWA SUHARTON KINI SEDANG MENGHANCUR,TANPA ADA YANG MEMBELANYAH? Sementara pabrik2 ( kalao enggak salah Popankah> tambah meraksasa, dan tamtunyah MENGGANGGUH AER IRIGASIH, ATAWA SENGAJA? MEMPERGUNAKEN AER UNTUK PERSAWAHAN???? inihlah yang membuat SAKURANG BEKAS JENDRA SUHARTON BERTANYAK PADAKU DENGEN SINIS... mana yang lebih BAJINGAN??? JAMAN BOSSKU?? SUHARTON? ATAWA JAMAN PRESIDEN KALIAN YANG BANCI2 INIH???? Daku terguguh sunglit menjawab, walaopun daku tetep memberi jawab yang TEGES BERACUN. Yah..pak..khan suhartonlah yang merungsak para AJUDANNYAH!!! Sementara PARA MENTERI ITUH,BUKANKAH SAKMUAHNYAH ADALAH PARA PENJILAT SUHARTON??? Wahae Putera sunda, Wahae putera Banten.. Kerana DAKUPUN PUTERA PARAHYIANGAN... SILAHKEN UNJUG RANGSA, BAEK MELALUIN TUNGLISAN, MAOPUN MENGLALUIN TINDAKAN.. UNTUK MENCEGAH SUNGAE2 DAN UTAN DI JAWA BARAT..MENJADI KONTOL YANG TAK PUNYAK BULU PENINGMAT CINTA LAGIH!!! nb. selamet berjoang buat doktor sobana dan Sunny yang Ambon.. Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/032007/16/0902.htm Pemeliharaan Hutan dan Sungai Tempo Dulu Oleh Dr. A. SOBANA HARDJASAPUTRA, S.S., M.A. SEJAK beberapa tahun yang lalu sampai sekarang, bencana banjir dan tanah longsor kerap kali terjadi di berbagai daerah, baik di Jawa Barat maupun di beberapa daerah lain. Sudah dipahami secara umum, bencana itu terjadi akibat hutan dan sungai yang rusak parah. Sering diberitakan bahwa sekarang sebagian besar hutan di Indonesia, termasuk di daerah Jawa Barat, rusak akibat perambahan hutan. Pada satu sisi, hutan dirambah sehingga timbul apa yang disebut illegal logging. Pada sisi lain, sebagian hutan menjadi areal pertanian. Hutan pada beberapa bukit di sekitar kota berubah wajah menjadi daerah permukiman (kompleks perumahan). Dengan demikian, fungsi hutan sebagai penyerap air hujan dan fungsi pohon sebagai penyangga tanah menjadi berkurang. Kondisi itu menyebabkan terjadinya tanah longsor. Sementara itu, sungai-sungai, termasuk selokan, umumnya menjadi dangkal akibat tidak/kurang terpelihara. Aliran sungai tidak lancar karena sungai menjadi tempat pembuangan sampah. Oleh karena itu, bila musim hujan tiba, banjir bukan hanya terjadi di daerah pinggiran kota, tetapi kota-kota tertentu juga dilanda banjir, bahkan Jakarta sebagai ibu kota republik ini pun dilanda banjir. Di Tatar Sunda, khususnya di daerah Priangan, tempo dulu (setidaknya zaman kebupatian sampai awal abad ke-20), pemeliharaan hutan dan sungai merupakan kearifan lokal, khususnya kearifan bupati. Kearifan itu "dibungkus" oleh hak istimewa bupati. Waktu itu, bupati selaku penguasa tertinggi di wilayah kabupaten memiliki beberapa hak istimewa --meneruskan hak istimewa raja-- antara lain hak berburu di hutan dan hak menangkap ikan di sungai. Pada waktu tertentu, bupati disertai oleh beberapa pejabat bawahannya dan sejumlah ponggawa (prajurit) kabupaten serta beberapa orang pamatang (ahli berburu) pergi ke hutan untuk berburu rusa. Dalam pelaksanaannya, yang berburu adalah para pamatang. Bupati hanya menyaksikan di panggung yang didirikan dekat pasanggrahan (bangunan sederhana/saung untuk istirahat). Oleh karena bupati memiliki kepemimpinan karismatis dan pengaruh/wibawa yang besar pada masyarakat, hutan-hutan tempat bupati berburu oleh masyarakat disebut leuweung larangan (hutan tutupan). Mereka tidak berani mengganggu apalagi merusak kondisi hutan. Pada waktu lain, bupati beserta pengiringnya mendatangi lubuk sungai untuk menangkap ikan. Seperti dalam acara berburu, dalam acara menangkap ikan pun, bupati tidak turun ke sungai. Ia tinggal di pasanggrahan, menyaksikan sejumlah rakyat menangkap ikan. Hak istimewa bupati yang ini pun menyebabkan rakyat, baik diperintah ataupun tidak, menjaga kelestarian sungai. Selain karena kewajiban yang tercakup dalam pancen diensten (kewajiban bekerja untuk kepentingan penguasa pribumi, khususnya bupati), rakyat memelihara sungai karena air sungai penting untuk pertanian dan berbagai keperluan hidup masyarakat. Hak-hak istimewa bupati berupa rekreasi tersebut merupakan bagian dari gaya hidup bupati waktu itu. Dari segi gaya hidup bupati, hak istimewa itu terkesan mengandung sifat feodal. Akan tetapi, bila dipahami secara saksama, hak istimewa berburu dan menangkap ikan intinya adalah kearifan bupati untuk memelihara hutan dan sungai. Antara pertengahan abad ke-19 sampai dengan dekade kedua abad ke-20, pengusaha perkebunan, pencinta lingkungan, dan pemerintah kolonial, turut memerhatikan kelestarian hutan. Pengusaha perkebunan khususnya memerhatikan hutan jangan sampai ada kerusakan hutan yang bakal merugikan perkebunan. Dalam melakukan pengontrolan hutan, di beberapa gunung, orang Belanda membuat tanda berupa patok tembok, misalnya di Gunung Malabar. Pada abad ke-19, sebelum adanya transportasi kereta api, di daerah Jawa Barat pemeliharaan sungai juga dilakukan pada Sungai Citarum. Bagian-bagian yang dangkal pada sungai itu, antara Cikao (daerah Purwakarta) sampai Pantai Cilincing dikeruk. Tindakan itu mengandung dua tujuan. Pertama, untuk kelancaran pengangkutan biji kopi dan garam dengan perahu. Kedua, agar di musim hujan air sungai itu tidak terlalu meluap. Meskipun hutan dan sungai dipelihara, tempo dulu pun banjir kadang- kadang terjadi. Akan tetapi, banjir tempo dulu khususnya di daerah Bandung dan sekitarnya akibat meluapnya air Sungai Citarum, sifat dan akibatnya berbeda jauh dengan banjir sekarang. Banjir tempo dulu dapat dikatakan hampir sepenuhnya merupakan bencana alam, tanpa banyak keterlibatan ulah manusia dan tidak mengakibatkan kerusakan parah. Waktu itu, akibat banjir yang diderita oleh warga masyarakat di daerah banjir adalah wabah penyakit (gatal dikulit/koreng, malaria, dan disentri). Di Bandung memang pernah terjadi banjir akibat ulah manusia. Tahun 1917, Kota Bandung dilanda banjir. Hal itu terjadi akibat daerah resapan air di Bandung utara rusak oleh pembangunan perumahan kelompok elite. Bencana banjir itu segera mendapat perhatian, baik dari pemerintah Gemeente Bandung dan pemerintah Kabupaten Bandung maupun dari tokoh- tokoh pencinta lingkungan. Terbentuklah Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming ("Komite Perlindungan Alam Bandung"). Komite itu segera melakukan konservasi daerah Bandung utara, khususnya Dago Atas, dengan menjadikan daerah itu sebagai Soenda Openlucht Museum ("Museum Terbuka Alam Sunda"). Tindakan tersebut dimaksudkan untuk memelihara kawasan hutan di daerah Bandung utara berikut kandungan airnya. Sejalan dengan tindakan tersebut, tahun 1919 pemerintah Gemeente Bandung mengajukan konsep berjudul Uitbreidingsplan Noord Bandoeng (Rencana Pengembangan Bandung Utara). Konsep itu diajukan kepada Dewan Gemeente Bandung (Gemeenteraad van Bandoeng). Akan tetapi, rencana itu hanya dapat dilaksanakan sebagian kecil karena terjadinya malaise (krisis moneter) di Eropa yang berpengaruh besar terhadap keuangan pemerintah Hindia Belanda, termasuk Gemeente Bandung. Menurut para ahli, sekarang kawasan Bandung utara, tidak lagi berfungsi sebagai daerah resapan air karena lingkungan alamnya sudah rusak. Rusaknya lingkungan alam itulah yang merupakan faktor dasar penyebab terjadinya banjir. Mengapa sekarang bencana banjir belum dapat diatasi? Kiranya hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yang satu sama lain berkaitan. Pertama, rendahnya kesadaran untuk memelihara lingkungan alam. Kedua, faktor-faktor penyebab banjir, baik faktor penyebab langsung maupun tidak langsung, rupanya belum diperhatikan sebagaimana mestinya. Ketiga, masalah yang berkaitan dengan banjir di masa lalu, tidak (mungkin belum) mendapat perhatian untuk dijadikan pelajaran. Dari perspektif sejarah, hal itu berarti masyarakat pada umumnya belum memfungsikan peristiwa di masa lalu sebagai bahan acuan dalam menghadapi masalah masa kini. Akibatnya, peristiwa atau masalah yang sama atau hampir sama terjadi berulang-ulang sampai sekarang. Salah satu contohnya, banjir dan tanah longsor. Dalam hal ini, kiranya tidak berlebihan bila dikemukakan bahwa pada hakikatnya, bencana banjir dan tanah longsor yang mengakibatkan kerugian besar, baik harta maupun jiwa manusia, adalah peringatan dari Allah SWT terhadap perilaku manusia. Akankah daerah kita terbebas dari bencana banjir? Hal itu pada dasarnya terpulang pada kesadaran, kemauan, dan kemampuan individu, masyarakat, dan pemerintah untuk mengatasi faktor-faktor penyebabnya, baik faktor langsung maupun tidak langsung. Intinya, peliharalah hutan dan sungai sebagaimana mestinya. Dalam melakukan reboisasi perbukitan di daerah Bandung khususnya dan Priangan umumnya, kopi patut dipertimbangkan sebagai salah satu tanaman utama, seperti pernah dikemukakan dalam koran ini beberapa waktu yang lalu ("PR", 23 April 2004). Sejarah menunjukkan penanaman kopi di Priangan selama lebih dari dua abad (akhir abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-20), hasilnya bukan hanya menguntungkan pemerintah, tetapi turut pula menyejahterakan petani dalam ukuran zamannya. Penanaman kopi waktu itu juga bersangkut-paut dengan pemeliharaan hutan. Oleh karena itu, tempo dulu hutan cukup terpelihara, waktu tidak ada senandung "hutanku sayang hutanku malang", yang ada senandung di Priangan, "dengkleung dengdek buah kopi raranggeuyan".*** Penulis, sejarawan senior Fak. Sastra Unpad dan FKIP Unigal, Anggota Dewan Pengurus Pusat Studi Sunda [Non-text portions of this message have been removed]