http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=298333 Rabu, 08 Agt 2007, Yunus Kuliahi SBY
Memberi Harapan Indonesia Bisa Bebas Kemiskinan 2030 JAKARTA - Peraih Nobel Perdamaian yang dikenal sebagai ’Bankir Orang Miskin’ Muhammad Yunus kemarin menjadi dosen bagi Presiden SBY, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Dalam kuliah yang digelar di Istana Negara, pria asal Bangladesh itu memberikan sejumlah tip untuk keluar dari keruwetan kemiskinan. Yunus yang tampil bersahaja itu sangat optimistis Indonesia bisa keluar dari persoalan kemiskinan. Bahkan, dia memprediksi pada 2030, kemiskinan tidak ada lagi di bumi Indonesia. Syaratnya, pemerintah dan masyarakat harus optimistis dan berkomitmen untuk terus mengikis kemiskinan tersebut. Kehadirannya di istana itu atas undangan khusus Presiden SBY. Undangan yang ditulis tangan oleh SBY tersebut dikirim pada 13 Februari 2007. Tapi, baru kemarin Yunus sempat ke Indonesia untuk menghadiri Presidential Lecturer. Tema yang diangkat Yunus dalam ceramahnya adalah We Can Put Poverty Into Museums (Kita Dapat Memuseumkan Kemiskinan). Selama 45 menit pria yang menjadi pelopor kredit untuk orang miskin di negerinya itu berceramah tanpa teks. Yang membuat SBY, Kalla, dan para menteri berbinar adalah saat Yunus menyampaikan rasa optimistisnya bahwa Indonesia bisa bebas dari kemiskinan dalam 23 tahun mendatang. Hal itu juga akan terjadi di Bangladesh. "Kalkulasi saya berasal dari fakta bahwa kita sudah berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan, separonya pada 2015, seperti dalam Millennium Development Goals," katanya. Logikanya, kata Yunus, bila sebuah bangsa bisa mengurangi sesuatu separonya dalam 15 tahun, akan bisa menguranginya menjadi nol pada 15 tahun berikutnya. "Bila kita percaya bahwa kita akan mengurangi kemiskinan separo pada 2015, kita bisa percaya bahwa kita menjadikannya nol pada 2030. Dan, Indonesia sudah pada jalur yang benar, mengurangi kemiskinan separonya pada 2015," papar peraih Nobel 2006 itu. Yunus sangat paham dengan cara-cara memberantas kemiskinan. Pengalaman panjangnya sebagai pendiri Grameen Bank membuktikan bahwa masyarakat bisa diangkat dari jurang kemiskinan. Lewat program pemberantasan kemiskinan mulai 1974, jutaan orang miskin di Bangladesh bisa terbebas dari isapan lintah darat dan tengkulak. Pria yang juga profesor ekonomi itu membangun sistem penyaluran kredit keuangan kepada rakyat miskin. Bukan hanya itu. Dia juga mengajarkan manajemen kepada orang-orang papa sehingga bisa memberdayakan diri dan menciptakan peluang kerja bagi yang lain. Indonesia dan Bangladesh, kata Yunus, akan bersama-sama menjadikan angka kemiskinan ke titik nol. "Saya bisa mengatakan kemiskinan setelah itu hanya bisa dilihat di museum, tidak dalam komunitas masyarakat lagi, karena itu sudah menghilang," katanya. Untuk itu, kata Yunus, pemerintah Indonesia harus memperluas kredit, sehingga bisa menjangkau setiap orang, terutama di sektor mikro. Kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk menciptakan sebuah kerangka kerja hukum untuk membawa pelayanan keuangan untuk orang miskin. Harus ada sistem keuangan yang inklusif, tidak ada orang yang ditolak untuk mendapatkan pelayanan. "Pemerintah harus berani memberikan kepemilikan kepada orang miskin, sehingga mereka bisa mengontrol nasib mereka sendiri dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka sendiri," kata Yunus. Yunus mengakui, sistem perbankan tidak menciptakan peluang bagi kredit mikro. Karena itu, harus ada terobosan hukum baru untuk memfasilitasi kredit bagi rakyat miskin. "Jadi, aturan itu harus dibuat agar lebih banyak perbankan yang menyalurkan kredit mikro untuk masyarakat miskin," tandasnya. Selain itu, harus dibuat wholesale fund. Dengan demikian, setiap orang yang ingin meminjamkan uang kepada yang miskin bisa mendapatkan dana dari wholesale fund. "Di Bangladesh kami melakukannya dan sangat sukses. Kredit mikro berkembang sangat pesat. Ini gagasan yang lain," jelas pendiri Grameen Bank itu. Sebelum Yunus berceramah, SBY sempat memuji pria murah senyum itu. Bagi SBY, Yunus bukan hanya konseptor, tapi juga innovator dan inspirator. SBY menyatakan setuju dengan gagasan Yunus. "Akses keuangan atau kredit adalah kunci bagi kemakmuran," kata SBY. Presiden mengakui, mereka yang kaya justru mendapat akses lebih mudah untuk mendapat kredit. Akhirnya, yang kaya memiliki kesempatan lebih besar untuk lebih kaya. Sebaliknya, orang miskin tidak memiliki akses untuk pendanaan dan akan tetap miskin. "Ada kaitan yang sangat dekat antara peningkatan akses kepada pendanaan dan pengurangan kemiskinan," ujarnya. SBY menyebut, survei terakhir mengenai iklim investasi juga mengonfirmasikan pandangan tersebut. "Mayoritas UKM kita memiliki masalah akses pendanaan sebagai masalah utama," kata SBY. Menanggapi gagasan Yunus, Menko Perekonomian Boediono mengatakan, apa yang dilakukan Yunus lebih fokus pada orang miskin. "Kita sudah punya program penanggulangan kemiskinan. Kita juga sudah punya sistem mikro kredit yang dilakukan BRI, Danamon, dan lainnya," katanya. Boediono menambahkan, banyak yang bisa dipelajari dari Yunus. Terutama langkah proaktif untuk menjangkau masyarakat miskin secara lebih intensif. "Misalnya, dia ceritakan bagaimana menjangkau pengemis, kemudian dibina menjadi seseorang yang tidak lagi mengemis, tapi punya kegiatan yang memberikan income," jelasnya. Boediono juga belum yakin seratus persen pendapat Yunus bisa dilakukan di Indonesia. Menurut dia, penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. "Tentu kita tidak harus jiplak begitu saja," kata Boediono. (tom) http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=298324 Rabu, 08 Agt 2007, 57 Tahun Sekolah Gratis Khong Kauw Hwee di Pecinan Semarang Siswanya Penjaga Toko sampai Pengamen Di tengah mahalnya biaya pendidikan, masih ada sekolah gratis bagi anak kurang mampu. SD/TK Yayasan Khong Kauw Hwee di Gang Lombok, Semarang, misalnya. Di sekolah ini, semua siswa tidak dipungut biaya sepeser pun. ARIF RIYANTO, Semarang HERY Purnomo, 12, asyik bermain dengan teman-temannya di halaman Taman Pendidikan Anak-Anak (TPA) Kong Kauw Hwee yang tanahnya cukup luas. Siswa kelas VI ini tampak sangat menikmati istirahat siang setelah sejak pagi mengikuti pelajaran di kelas. Anak penjual permen jahe keliling itu adalah satu dari 175 siswa SD Kuncup Melati di bawah Yayasan Kong Kauw Hwee. Di sana, Hery menimba ilmu di sekolah gratis lantaran orang tuanya tak mampu membiayai di sekolah umum. Agus Winanto, ayah Hery, kepada Radar Semarang (Jawa Pos Group) mengakui, pendapatannya tak menentu, sehingga keberadaan sekolah gratis SD Kuncup Melati sangat membantu. Agus sendiri memiliki lima anak, tiga di antaranya masih sekolah. "Tiga anak saya sekolah di SD Kong Kauw Hwee ini. Selain Hery, ada Rudy Cahyono di kelas IV. Sedangkan anak saya yang kedua, Yulianti, sudah lulus ddari sana dan sekarang meneruskan di SMK Tarcicius," ujar Agus yang kemarin menjemput kedua putranya bersama Susiloningsih, istrinya. Agus mengakui, cukup terbantu dengan sekolah gratis tersebut. Sebab, dengan pendapatan yang hanya cukup buat makan, tidak mungkin dirinya mampu membiaya sekolah tiga anaknya. Agus dan keluarganya setiap hari harus pergi pulang (nglaju) dari tempat tinggalnya di Perumahan Pondok Raden Patah RT 8 RW 5 Sayung, Demak.ke Semarang yang berjarak sekitar 25 km. "Pendapatan saya jualan permen selain buat makan, ya buat biaya transport ke sekolah. Lha, kalau harus bayar sekolah, jelas kami tidak mampu, Mas," ucapnya. Sekolah gratis Kong Kauw Hwee berada di samping Kelenteng Tay Kak Sie kawasan Pecinan Kota Semarang. Pendidikan bagi warga kurang mampu ini didirikan hanya bermodal sumbangan dan kerelaan hati para donatur. Sejak 1992, lembaga pendidikan sosial yang terdiri atas Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) ini menempati bangunan berlantai tiga. Terdiri atas sembilan ruangan, yakni dua ruangan untuk TK, enam ruangan untuk SD, dan ruangan untuk Tata Usaha (TU) dan kepala sekolah. Menurut Ketua Yayasan Khong Kauw Hwee Tan Sing Loen, 74, pendidikan gratis itu dirintis sejak 1950 oleh almarhum Lie Ping Lien. Pendiriannya hanya bermodalkan sisa uang iklan buku peringatan kelahiran Kong Hu Chu senilai Rp 800 dan sumbangan seorang dermawan bernama Be Sik Tjong sebanyak Rp 1.000. Dengan modal itu, Lie Ping Lien dan para perintis Khong Kauw Hwee lainnya membuat bangku dan meja dari bahan kayu Suren untuk kegiatan belajar mengajar. Setelah jadi, pada tanggal 1 Januari 1950 dibukalah kursus pemberantasan buta huruf yang diadakan di lingkungan Kelenteng Tay Kak Sie. Jumlah muridnya mencapai 60 orang. Setahun kemudian murid-muridnya bertambah banyak. Akibatnya, biaya yang diperlukan menjadi lebih besar. Beruntung, berkat bantuan dari para donatur, masalah tersebut bisa teratasi. Baru pada 1992, sekolah ini secara resmi diminta untuk memenuhi standar pendidikan oleh pemerintah. Sekolah ini tidak pernah membeda-bedakan siswa. Siapa pun dan dari latar belakang agama apa pun, selama memiliki niat bersekolah dan tak mampu, pasti diterima. Hal ini pula yang membuat siswa sekolah ini tak hanya berasal dari etnis Tionghoa, tapi juga Jawa dan muslim. Tan Sing Loen merasakan sendiri bagaimana susahnya orang yang tak bisa mengenyam pendidikan. Kebetulan ia sendiri hanya lulusan sekolah dasar (SD) Xaverius Semarang. "Sekolah ini bertujuan mendidik anak-anak yang orangtuanya tidak mampu. Mereka juga berasal dari berbagai suku dan golongan. Asalkan ada pengantar tidak mampu dari kelurahan bisa mendaftar," jelas Tan Sing Loen kepada Radar Semarang, Selasa (7/8) kemarin. Om Tan -begitu ia biasa disapa--menegaskan, semua murid sekolah ini bebas dari biaya sepeser pun. Bahkan, biaya fotokopi bahan pelajaran pun ditanggung sekolah. Bagaimana dengan pengelolanya? Menurut Om Tan, pengelolaan yayasan ini berpedoman pada prinsip pengabdian dan sukarela. Sebanyak 12 guru SD dan 4 guru TK hanya mendapatkan honor relatif kecil. Mereka juga tidak mendapatkan tunjangan seperti guru sekolah lainnya. Menurut Kepala SD Khong Kauw Hwee Agustin Indrawati Dharmawan, sejak awal para guru yang mengajar di sekolahnya sudah ditekankan bahwa bekerja di sekolah ini tidak seperti di tempat lain, karena gajinya terbatas. Tapi, mereka bisa mendapat kepuasan batin dengan hasil yang dicapainya. "Gaji cukup atau tidak itu bergantung pada diri kita masing- masing. Kalau memang sekolah hanya bisa menggaji dengan jumlah tertentu apa kita harus minta tambah," kata Indrawati. Untuk biaya operasional sekolah yang rata-rata Rp 8 juta sebulan, yayasan bergantung pada para dermawan yang menyumbang. Yayasan sendiri tidak melakukan penggalangan dana. Namun, para donatur sendiri yang diminta terketuk hatinya untuk menyumbang. Agustin Indrawati mengakui, semangat belajar anak didiknya tidak setinggi di sekolah umum lainnya. Sebab, selain bersekolah, rata-rata mereka juga nyambi bekerja. "Sepulang sekolah ada yang ngamen, jaga toko, membantu orang tuanya buka warung, dan sebagainya. Makanya, kami tidak menuntut banyak kepada mereka. Begitu jam pelajaran selesai, ya mereka langsung pulang," ujar ibu satu anak ini. (*)