Terimakasih mas Ichsan, bagi teman teman yang tak berkesempatan mengunjungi situs tersebut, berikut saya copykan: Departemen Sosial RI - anugrah pustaka buat tunanetra anugrah pustaka buat tunanetra Tanggal: Thursday, 21 September 2006 Topik: percaturan wartawan portal depsos Menurut data BPS, dari 1.884.557 tuna netra di Indonesia, yang belum bisa baca tulis braille diperkirakan mencapai 97 persen atau 1.828.220 jiwa. Jauh lebih besar dibanding tunanetra yang bisa baca-tulis braille. Lembaga yang menerbitkan buku braile di Indonesia adalah Balai Penerbitan Braile Indonesia (BPBI). Di bawah naungan Departemen Sosial, BPBI mencetak dan mendistribusikan buku ke seluruh wilayah di Indonesia. Namun hingga 2006, BPBI baru mencetak 35 judul buku baru. Plus 25 edisi kaset / talkingbook. Hasil terbitan BPBI antaralain adalah majalah, buku sekolah untuk ebtanas, buku umum, keterampilan, dan komputer. Sedangkan kaset-kaset rekaman adalah tentang psikologi dan cerita. Buku-buku dan kaset itu didistribusikan ke 19 panti, 80 sekolah luar biasa (SLB), 132 sekolah dasar luar biasa (SDLB), 85 yayasan/organisasi tunanetra, 636 perorangan, dan tiga perpustakaan. Pencetakan buku braile berbeda dengan buku biasa. Satu halaman buku biasa bisa menjadi dua atau lebih halaman buku braile. Di perpustakaan Masjid Wiyataguna, misalnya, satu kitab Alquran dalam huruf braile mesti dibuat dalam 30 jilid . Untuk mengatasi hambatan itu, Departemen Sosial telah membantu mendirikan beberapa tempat agar bisa mencetak buku tanpa harus datang ke balai. Mahasiswa tunanetra di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), khususnya di jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB), beruntung mendapat buku-buku wajib, penunjang, dan sejumlah buku lain dalam huruf braile. Selain buku, UPI juga menyediakan seperangkat komputer dengan printer khusus, mencetak buku braile tanpa mesin cetak. UPI mendapat bantuan dari Departemen Sosial. Tapi tak banyak tunanetra yang seberuntung mereka. Karena itu, BPBI merencanakan agar pada 2007 dapat menyediakan 1.800 edisi bagi konsumsi tunanetra. Proyek itu akan melibatkan perpustakaan tunanetra terbesar di Indonesia, Mitra Netra, yang sedang mengkampanyekan 1.000 buku buat tunanetra. Untuk perantinya, Mitra Netra menyediakan beberapa komputer di tiap perpustakaan tunanetra. Sampai saat ini, akses penyandang tunanetra pada teknologi informatika masih sangat minim. Di sisi lain, program sosial yang dikembangkan BPBI ternyata banyak dihadapkan pada berbagai kendala di lapangan. Terutama dalam hal pendistribusian barang cetakan braille. Apalagi karena PT Pos yang semula membebaskan ongkos kirim barang-barang tersebut, namun sejak pertengahan 2003 mengeluarkan kebijakan baru yang mengharuskan adanya biaya pengiriman. Sejak dikeluarkannya aturan itu, pengiriman buku dan barang cetakan braille lainnya sempat tertunda cukup lama. Paling tidak, sejak April-November 2003. Delapan bulan ! Melihat kondisi itu, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah turun tangan dan mengucurkan dana bantuan untuk biaya pengiriman buku-buku braille. Sampai saat ini, BPBI menggunakan beberapa mesin cetak manual dan komputer. Meskipun umurnya sudah tua, enam set mesin cetak manual masih bisa dipakai. Sementara mesin cetak komputer yang ada saat ini jumlahnya empat unit. Namun, semua itu pinjaman dari Departemen Pendidikan Nasional yang bekerja sama dengan Braille Norwegia. Harga printer braille dari Norwegia untuk seri 400 sekira Rp 600 juta sedangkan seri 200 sekira Rp 400 juta. Pengadaan kertas continuous form yang digunakan untuk mencetak buku di mesin printer braille didapat dari Braille Norwegia. Kertas ukuran 160 gram tersebut harganya cukup mahal, Rp 500.000,00 / dus (isi 1.000 lembar). talkingbook Pernahkah terfikir oleh kita, bagaimana tunanetra membaca dan di mana mereka bisa membeli buku ? Jawabnya, tak satupun toko buku dan perpustakaan umum menyediakannya. Jadi, Yayasan Mitranetra menggagas "penerjemahan" buku-buku populer yang beredar di pasaran, ke dalam format braile dan talkingbook agar bisa dinikmati para tunanetra. Ide Mitranetra ini, syukurlah, direspon dan akhirnya didukung banyak pihak. Ribuan buku telah disalin oleh ratusan relawan kedalam format Word. Hasilnya kemudian di-convert ulang ke dalam format braile (800-an judul) dan talkingbook (2900-an judul). Talkingbook dibuat lebih banyak, mungkin karena mengacu pada data BPS bahwa 97% tunanetra adalah juga tuna-aksara braile. Sejumlah penulis ternama dan penerbit mengirim softcopy dan hardcopy mereka untuk diolah Mitra Netra. Para penulis itu adalah FX Rudy Gunawan, Miranda, Fira Basuki, Icha Rahmanti, Yunita, Ayu Utami, Dewi Lestari, Arleen Amidjaja, Ayub Yahya, dan Anthony Dio Martin. Sedangkan dari kalangan penerbit adalah GagasMedia, PT MQS (Mutiara Qolbun Salim), dan Pustaka Populer Obor. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat ternyata peduli akan kebutuhan tunanetra. Hanya saja mereka tidak 'ngeh' bagaimana membantu tunanetra memenuhi kebutuhannya. Padahal penerbit pun ternyata bersedia membantu bila mereka mengetahui bagaimana caranya. Bagaimana bentuk buku yang dapat dibaca tunanetra? Buku untuk tunanetra dapat berupa buku suara, lazim disebut audio book / talking book; dan buku braile. Buku suara berbentuk kaset untuk analog talking book, atau CD untuk digital talking book. Proses pembuatannya adalah, pertama, naskah buku dibacakan sekaligus direkam dalam komputer. Kemudian dicopy ke dalam kaset atau CD. Keunggulan buku audio dengan teknologi digital adalah terdapat fasilitas pencari, baik per halaman atau per-bab, sehingga mempermudah penggunaannya. Sedangkan buku braille, proses pembuatannya adalah: 1. Mengetik naskah buku dalam dokumen "word"; 2. Mengubah dokumen word menjadi dokumen Braille dengan menggunakan perangkat lunak Mitranetra Braille Converter (MBC) atau perangkat lunak lain sejenis, dan memformatnya. 3. Mencetak dengan menggunakan mesin "embosser" (mesin cetak Braille). Masih ada lagi buku elektronik alias e-book. Buku ini dibaca oleh tunanetra dengan menggunakan komputer bicara, yaitu komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak pembaca layar. Pembuatan buku dalam bentuk buku elektronik ini memangkas sebagian proses produksi yang harus dilakukan jika buku dibuat dalam bentuk buku Braille. Yaitu proses konversi dari dokumen biasa ke dalam format Braille, serta proses pencetakan. Lalu, naskah yang sudah diketik ulang, dan soft copy-nya itu, diapakan? Naskah itu dikonversi kedalam braille dan selanjutnya dimuat di web KEBI (Komunitas elektronik Braille Indonesia)-online dalam bentuk Braille. KEBI ini suatu komunitas braille yang terdiri dari para produsen buku braille di seluruh Indonesia. Jadi setiap produsen buku Braille bisa men-download langsung naskah Braille yang sudah ada. Tingal mencetaknya dengan printer Braille ditempatnya masing-masing. Di Mitra Netra ada bagian Perpustakaan yang salah satu seksinya adalah produksi braille. Di seksi ini ada yang namanya braille transcriber, orang yang menyalin buku ke dalam braille. Jadi semua buku disalin dulu. Proses inilah yang memakan waktu lama d. Proses pembuatan satu buku braille bisa mencapai satu bulan. Banyaknya relawan Mitra Netra yangmembantu mengetikkan buku sangat membantu para transcriber mengerjakan buku-buku itu. speech synthesizer Tunanetra masa kini juga bisa berselancar di dunia maya. Indah 'Intantila' dari Yayasan Mitranetra mengatakan, sekarang sudah ada perangkat lunak yang memungkinkan tunanetra menggunakan komputer. Rancang komputernya tak beda dengan pengguna biasa. Hanya ditambahkan software yang merubah tampilan visual menjadi audio. Namanya speech synthesizer. Tampilan visual di layar monitor dirubah ke dalam format audio. Sayangnya, bahasa yang digunakan masih terbatas dalam sejumlah bahasa asing. Selain itu, ketersediaannya relatif jarang. Dan harganya mahal. Padahal dengan teknologi ini, komputer bisa "membacakan" setiap tombol yang ditekan. Termasuk tombol fungsi, tanda baca, pendek kata semuanya. Sebagai contoh, ketika menekan tombol panah pada cursor untuk berpindah dari satu baris ke baris lainnya, secara otomatis speech synthesizer akan membacakan teks di baris itu. Setelah selesai mengetik, seorang tunanetra juga dapat melakukan editing. Teknologi ini juga dilengkapi dengan fasilitas membaca jenis huruf, efek cetak, jarak ketikan dan sebagainya. Komputer juga bisa membacacakan format fontasi yang digunakan, misalnya times new roman, size 10, underline, line spacing 1.5". Perkembangan teknologi seperti ini berhasil membantu penyandang cacat dalam proses belajar. Sehingga Mitra Netra memutuskan untuk menyelenggarakan kursus komputer khusus untuk tunanetra, sejak tahun 1992. "Dengan teknologi ini, saya bisa lancar menyelesaikan kuliah saya sampai S-2 dan S-3. Dulu saya harus rekam semua buku, dan bingung mencari bahan yang saya butuhkan," ujar Didi yang mengalami kebutaan sejak umur 5 tahun. Didi kini juga aktif di Mitra Netra. Kemampuan komputer audio makin bertambah dengan penemuan digital talking book atau e-book. E-book dibuat dengan cara mengetik naskah buku dalam dokumen word lalu dipindahkan ke HTML. Dengan perangkat lunak pembaca layar, tunanetra bisa menikmati buku itu dengan mudah. "Teknologi ini membantu pengguna dalam mencari halaman atau bagian buku yang diinginkan. Beda dengan kaset yang harus dibolak-balik," kata Didi. Artikel dari Departemen Sosial RI www.depsos.go.id URL: www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=250 Block quote start
No virus found in this incoming message. Checked by AVG Free Edition. Version: 7.5.430 / Virus Database: 268.14.6/536 - Release Date: 11/16/2006 3:51 PM