Dulu di abad pertengahan jika ada yang bertanya,
apakah Kristus tertawa atau tersenyum, bisa dihukum
mati.Sekarang di jaman kebangkitan kaum radikal, wajah
agama juga dijadikan angker tanpa sentuhan senyum
apalagi tawa.Bahkan Tuhan sudah diklaim menjadi hanya
milik golongan mereka sendiri sehingga soal tempat
ibadah saja jadi bahan keributan.

Seharusnya seluruh ladang kehidupan kita mulai bangun
pagi, berangkat ke kantor ke temu orang atau
keseharian kita di manapun-itulah tempat ibadah kita.

Setiap  agama yang hanya membikin semua orang merasa
takut, layak disebut agama teror. Untuk membuktikan
agama kita bukan teror, hanya bisa dilihat apakah kita
sendiri masih mau tersenyum, menebarkan tawa,
kedamaian dan kegembiraan pada sesama.






--- Ambon <[EMAIL PROTECTED]> menulis:

> Katanya Tuhan itu Mahasegala, jadi jelas Tuhan itu
> juga tahu bercanda. Anehnya ummatnya sekarang ini
> suka bikin ribut bakar-bakar kalau ada yang bercanda
> tentang Tuhan. Mungkin sekali yang berbuat demikian
> ini adalah orang-orang kemasukan roh sang Iblis bin
> Saytan. Karena orang yang beriman itu seharusnya
> mempunyai "sens of humor" dan tidak gampang
> tersingung dengan menunjukan semangat membela Tuhan
> dengan kekerasan. Bukankah kalau Tuhan itu
> MahaSegalaKuasa berarti Tuhan tidak perlu dibantu
> untuk dibela dirinya, karena sebagai MahaSegalaKuasa
> berarti sanggup membela dirinya sendiri. Pada pihak
> lain para petinggi ilmu surgawi yang menyuruh
> umatnya mengadakan aksi-aksi sepihak membela Tuhan,
> mungkin saja mempunyai maksud terselubung untuk
> kepentingan dirinya, yaitu antara lain takut
> kehilangan posisi di masyarakat, yang berarti
> kehilangan rejeki nomplok, atau juga ingin
> mendapatkan sesuatu yang lebih lagi dari apa yang
> diberkati dan dianugerahkan oleh Tuhan.
> 
> Kapan-kapan kalau saya diberi kesempatan berjumpa
> dengan Tuhan akan saya bertanya kepada Tuhan: "
> Apakah Tuhan tidak berpacaran dengan
> malaekat-malaekat cantik yang selalu berada di
> sekitarNya?" Kalau Tuhan menjawab dengan menyatakan
> itu rahasia pribadiNya. Apa yang bisa saya buat,
> harus diterima sebagai jawaban. Begitulah intermezzo
> ku. Oh, bagi yang duluan sempat bertemu dengan Tuhan
> tolong sampaikan hormat sebesar-besarnya dan salam
> saya kepada Tuhan dengan harapan Tuhan mencatat dan
> ingat kepada saya, dengan harapan semoga kelak Tuhan
> menyediakan waktu untuk bisa diadakan interview guna
> ditransmisikan melalui internet kepada sobat-sobat
> sekalian.
> 
> Wassalam.  
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: Jimmy Okberto 
>   To: [EMAIL PROTECTED] 
>   Sent: Wednesday, November 15, 2006 4:58 AM
>   Subject: [mediacare] TERNYATA TUHAN SUKA BERCANDA
> (Kesaksian Didik Nini Twowok)]
> 
> 
> 
> 
>
------------------------------------------------------------------------------
> 
>   From: [EMAIL PROTECTED]
> [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
> 
> 
> 
>   Dear All,
>   Bagus neh.... sebagai bahan renungan aja geto...
>   hehehehe....
> 
>   TERNYATA TUHAN SUKA BERCANDA 
>   Kesaksian Didik Nini Twowok 
> 
> 
> 
>   Sosok Didik Nini Thowok adalah sosok yang lekat
> dengan tarian humoris. 
>   Membawakan karakter perempuan dan gerak-gerak
> tarian yang " diplesetkan" 
> 
>   Didik selalu berhasil membuat penontonnya tertawa
> terpingkal-pingkal. 
> 
>   Setelah puluhan tahun belajar seni tari dari
> berbagai daerah, antara lain 
>   Jawa, Sunda, Bali, dan Jepang, kini Didik berhasil
> memadukan semua gaya 
>   itu menjadi tarian dengan gayanya sendiri yang
> khas dan humoris. Dengan 
>   kemampuannya itu Didik meraih sukses sebagai
> penari yang melintas batas 
>   budaya dan negara. 
> 
>   Penampilannya yang selalu mengundang kegembiraan
> itu tidak hanya dapat 
>   dinikmati di atas panggung tapi juga dalam hidup
> kesehariannya. Tawa 
>   renyah yang selalu dihadirkannya seolah membuat
> orang tidak percaya bahwa 
>   iapun pernah menderita. Padahal sebenarnya
> kehidupan lelaki kelahiran 
>   Temanggung, 13 November 1954 itu tidak tergolong
> berkelimpahan. 
> 
>   Terlahir sebagai Kwee Tjoen Lian yang kemudian
> diganti menjadi Kwee Yoe An 
>   karena sakit-sakitan, ia sulung dari lima
> bersaudara pasangan Kwee Yoe 
>   Tiang dan Suminah. Keluarga besarnya hidup
> pas-pasan. Ayahnya pedagang 
>   kulit sapi dan kambing yang bangkrut dan kemudian
> menjadi supir truk. 
>   Ibunya membuka warung kelontong kecil-kecilan.
> Begitu seret rejeki 
>   keluarga ini sampai-sampai Didik kecil harus ikut
> bekerja membantu orang 
>   tuanya. 
> 
>   Meski dari segi materi tumbuh dalam keluarga yang
> berkekurangan tetapi 
>   Didik kecil selalu berkelimpahan dengan kasih
> sayang. Dalam kesempitan 
>   materi, ia menikmati masa kecilnya dengan bekerja,
> belajar, dan menonton 
>   berbagai kesenian, ketoprak, ludruk, dan wayang
> yang akhirnya mengasah 
>   rasa seninya. 
> 
>   Di masa itu, Didik bukan hanya belajar bekerja
> keras tapi juga belajar 
>   bersabar. Sejak kecil ia memang suka membawakan
> tarian yang lemah gemulai 
>   seperti perempuan, karena itu ia diejek oleh
> orang-orang sekitarnya, " 
>   Kamu ini anak laki-laki apaan sih? Kok menarinya
> seperti perempuan?". 
>   Setiap kali diejek, ia menjadi sangat sedih. Ia
> hanya bisa diam, tidak 
>   membalas dan tidak mengadu pada orang tuanya. Ia
> hanya berdoa sambil 
>   menangis, " Tuhan, aku marah tapi aku tidak akan
> membalasnya. Aku yakin 
>   Kamulah yang akan membalaskannya untukku." Setelah
> itu, iapun menjadi lega 
>   dan malah lebih semangat berlatih menari. Baru
> bertahun-tahun kemudian 
>   doanya itu terjawab. 
> 
>   Dari pengalaman hidup, perlahan-lahan iapun
> memahami bahwa semua hal yang 
>   membuatnya sedih, kemiskinan, dan penghinaan
> hanyalah cara Tuhan 
>   mengajaknya bercanda. Ia menjadi yakin Tuhan tidak
> akan membuatnya 
>   sengsara sehingga ia lebih tenang dan pasrah
> menghadapi berbagai 
>   persoalan. Pemahamannya ini merupakan buah
> pengasuhan orang tua dan kakek 
>   neneknya yang cukup disiplin. Pendidikan dan kasih
> sayang mereka 
>   menjadikannya pribadi yang setia dalam doa, tegar,
> suka bekerja keras, dan 
>   berperasaan halus. 
> 
>   Semasa kuliah di ASTI ( Akademi Seni Tari
> Indonesia ), ketika Didik mulai 
>   mendapat honor dari pertunjukan dan melatih
> menari, ia ingin sekali 
>   membeli sepeda motor supaya tidak kelelahan
> mengayuh sepedanya kesana 
>   kemari . Sejak itu ia betul-betul berhemat.
> Setelah uangnya terkumpul Rp 
>   200.000, ia sangat gembira, motor yang diidamkan
> terbayang di depan mata. 
>   Tiba-tiba ia teringat ibunya. Bergegas ia pulang
> ke Temanggung dan 
>   mendapati perut ibunya membesar karena kanker.
> Dengan uang Rp 200.000 itu, 
>   ia segera membawa ibunya ke Yogyakarta untuk
> dioperasi. Operasi itu 
>   berhasil baik dan ibunyapun sehat kembali. Didik
> sangat bahagia, tak 
>   secuilpun rasa kecewa menghinggapinya karena belum
> bisa mendapatkan sepeda 
>   motor. Bagi dia kesehatan dan kebahagiaan ibunya
> diatas segala harta yang 
>   bisa ia punya. Ia memahami, saat itu Tuhan memang
> hanya mencandainya 
>   karena selang beberapa tahun, Didik bukan hanya
> bisa membeli sepeda motor 
>   tapi bahkan mobil dan rumah. 
> 
>   Sedari kecil dengan berbagai cara Didik belajar
> bersyukur dan berdoa. Ia 
>   suka ikut kakeknya yang beragama Konghucu berdoa
> di kelenteng dan neneknya 
>   yang Kristen ke gereja. Kini ia adalah pengikut
> Kristen Protestan yang 
>   taat. Ia mengakui bahwa ia adalah laki-laki yang
> cengeng (mudah menangis) 
>   setiap kali berdoa. Sebenarnya ia ingin sekali
> rajin ke gereja tapi 
>   kesibukan yang sangat padat membuatnya sering
> tidak punya kesempatan untuk 
>   melaksanakannya setiap minggu. Untuk itu setiap
> ada kesempatan ia 
>   mengundang pendeta untuk mengadakan persekutuan
> doa di rumahnya. Dalam 
>   persekutuan doa itulah ia selalu terharu dan
> menangis saat memberi 
>   kesaksian akan kebesaran Tuhan yang telah ia
> alami. 
> 
=== message truncated ===



        

        
                
________________________________________________________ 
Sekarang dengan penyimpanan 1GB 
http://id.mail.yahoo.com/

Kirim email ke