Sepakat. Yang bikin repot  itu, kok nasionalisme dibawa-bawa dalam  melihat 
bulan. Karena kita di Indonesia, maka harus liat bulan di  Indonesia, itu kan 
gak bener. Pak Martin benar. Apalagi Perbedaan waktu  di kutub utara dan 
selatan, kan gak sampe 24 jam.

Martin Widjaja <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                                       
     P Zain, saya ada usul yg sederhana soal penetapan 
  1 Syawal 1428H ini 
  Kenapa mesti susah2 sih padahal kalau biasanya 
  sudah manut dengan asalnya agama Islam yg di Arab itu ?
  Mestinya kita bisa yakin dengan penetapan mereka
  apalagi kalau mereka posisinya sebelah barat kita.
  Artinya kalau mereka sudah menetapkan melihat bulan
  dll tgl 12 October kita sudah pasti juga akan melihat 
  bulan yg sama itu wong kita di sebelah timur mereka ?
  Atau kita punya kebiasaan mau lebih eksis , mau lebih 
  pinter dgn yg dari asalnya agama ...
  Jadi perayaan Ied bisa nggak polemik bisa lebih bersatu 
  gitu... Lama lama diketawain orang tuh ...
  
  Salam ,martin - jkt 
  
  ----- Original Message ----
  From: rzain <[EMAIL PROTECTED]>
  To: [EMAIL PROTECTED]
  Sent: Monday, October 8, 2007 1:50:24 PM
  Subject: [Forum Pembaca KOMPAS] Re: Penetapan 1 syawal 1428H
  
  Penetapan 1 Syawal 1428 H 
  
  Sabtu, 22-September- 2007, 09:36:32
  
  Oleh : H. Chairuddin, Ketua MUI Kab.Padangpariaman
  
  Penetapan awal Ramadhan dan Syawal pada pokoknya ditetapkan dengan 
  
  tiga metode; Pertama, Metode ru'yah (menilik bulan) : bila waktu 
  
  matahari terbenam tanggal 29 Ramadhan bulan tidak tampak (baik cuaca 
  
  buruk atau terang) maka Ramadhan digenapkan 30 hari, lebaran 
  
  ditetapkan luasnya.  
  
  Kedua, metode hisab: bila waktu terbenam matahari tanggal 29 
  
  Ramadhan, menurut hisab posisi bulan sudah berada di atas ufuk, maka 
  
  keesokan harinya ditetapkan sebagai 1 Syawal, tanpa memperhitungkan 
  
  apakah bulan bisa dilihat atau tidak. Metode ini disebut juga 
  
  metode "wujudul hilal", di pakai terutama oleh Muhammadiyah. 
  
  Dengan metode ini penetapan Muhammadiyah seringkali lebih dahulu 1 
  
  hari dari penetapan Pemerintah (Departemen Agama ) dan MUI. Ketiga, 
  
  Metode Imkanur ru'yah: bila waktu matahari terbenam tanggal 29 
  
  Ramadhan posisi bulan sudah berada di atas ufuk dan bulan bisa 
  
  dilihat waktu cuaca terang, maka besoknya ditetapkan sebagai 1 
  
  Syawal. Sebaliknya bila waktu ghurub tersebut.bulan tidak mungkin 
  
  bisa dilihat lantaran begitu dekatnya dengan matahari, maka 1 Syawal 
  
  ditetapkan luasnya. Metode ini disebut juga "Metode Ru'yah dan 
  
  Hisab". Pemerintah (Departemen Agama) punya suatu badan yang disebut 
  
  Badan Ru'yah dan Hisab, bekerja sama dengan MUI. 
  
  Dengan metode ru'yah seringkali penetapan awal bulan terlambat 1 
  
  hari bahkan kadang-kadang sampai 2-3 hari dari penetapan awal bulan 
  
  di Makkah dan negara-negara lain di dunia. Seperti dalam memulai 
  
  Ramadhan tahun 2007 ini, di Makkah awal puasa jatuh pada hari Kamis 
  
  tanggal 13 September 2007 (sama dengan Indonesia). Sedangkan yang 
  
  berpegang kepada ru'yah (menilik), Kamis sore itu mereka baru 
  
  akan "menilik bulan". Jika bulan tidak tampak, puasanya hari Sabtu 
  
  15 September 2007. Penulis lebih cenderung kepada metode ketiga 
  
  (imkanur ru'yah), dengan alasan, melalui metode kedua (wujudul 
  
  hilal) berarti kita tidak lagi mempedomani hadist Nabi "Berpuasalah 
  
  kamu dengan melihat bulan, dan berbukalah kamu (1 syawal) dengan 
  
  melihat bulan". 
  
  "Bila pandangan kamu terhambat (oleh awan) maka sempurnakanlah bulan 
  
  Sya'ban 30 hari". Metode ini tentu juga berlaku untuk penetapan 1 
  
  Syawal. Untuk Lebaran tahun 2007 atau 1428 Hijriah ini, terjadinya 
  
  Ijtimak akhir Ramadhan (bulan berada dalam satu garis lurus dengan 
  
  matahari dan bumi), Kamis tanggal 11 Oktober 2007 jam 12.02, posisi 
  
  bulan 0.19 0. Sedangkan matahari terbenam hari itu jam 18.13, 
  
  berarti hanya berjarak 6 jam 11 menit. Menurut ilmu hisab, diyakini 
  
  bulan tidak bisa dilihat meskipun cuaca terang, wujud hilal tidak 
  
  bisa dilihat lantaran begitu dekat dengan matahari. Bulan bisa 
  
  dilihat lantaran begitu dekat dengan matahari. Bulan bisa dilihat 
  
  (tentu waktu cuaca terang) bila jarak antara ghurub (terbenam) 
  
  dengan ijtimak minimal 8 jam dan posisi bulan minimal 2 0. 
  
  Selanjutnya, meskipun dalam surat Yunus ayat (5) Allah menyatakan 
  
  bahwa dia telah menentukan peredaran matahari dan bulan supaya kamu 
  
  mengetahui bilangan tahun dan hisup, ayat ini bersifat umum, tidak 
  
  bisa membatalkan hadist yang menyuruh kita menetapkan awal bulan 
  
  dengan cara melihat (observasi). Menurut penulis hisab hanya alat 
  
  atau sarana untuk mengetahui ru'yah. Pada konferensi Islam di 
  
  Istambul tahun 1978 yang dihadiri 18 negara Islam/ Muslim (termasuk 
  
  Indonesia) diputuskan bahwa awal bulan qamariah di tetapkan bila 
  
  ketinggian bulan minimal 5 0 waktu terbenam matahari, Kamis tanggal 
  
  11 Oktober 2007 yang akan datang ini posisi bulan hanya 0.19 0. 
  
  Karena itu menurut hisab STAIN Syekh M.Jamil Jambek di Bukittinggi 1 
  
  Syawal ditetapkan, Sabtu tanggal 13 Oktober 2007 (umur Ramadhan 30 
  
  hari). Pada Lebaran tahun 2006 yang lalu, dari segi Pemerintahan 
  
  (Sumbar), dari 19 Kabupaten dan Kota, saat itu 11 Kabupaten dan Kota 
  
  shalat Ied tanggal 24 Oktober 2006, sesuai ketetapan Pemerintah, dan 
  
  8 Kabupaten dan Kota lainnya shalat tanggal 23 Oktober 2006 (sama 
  
  dengan Muhammadiyah) . Penulis agak heran waktu membaca jawaban 
  
  Gubernur Gamawan Fauzi menjawab pertanyaan seorang penanya (Padang 
  
  Ekspres, 31 Oktober 2006) bahwa beliau melakukan shalat Idul Fitri 
  
  tanggal 23 Oktober 2006 dengan alasan mengakomodir keinginan 
  
  masyarakat. 
  
  Agaknya informasi diatas (hanya 8 Kabupaten dan Kota yang shalat 
  
  hari itu). Kontrakdiktif dengan alasan Gubernur. Menurut penulis, 
  
  alangkah bijaksananya bila beliau mempedomani fatwa MUI, penetapan 
  
  Pemerintah dan Departemen Agama RI. Keinginan orang banyak memang 
  
  cepat berbuka, tentu hal ini tidak boleh menjadi pedoman. Sedangkan 
  
  tidak disuruh berbuka pun orang ingin juga cepat berbuka, apalagi 
  
  sudah diberi peluang. Wallahu a'lam. *** 
  
  Penetapan 1 Syawal dan Pemahaman Hadits 
  
  Jum'at, 05-Oktober-2007, 09:50:09
  
  Oleh : Edi Safri, Ketua Majelis Tarjih & Tajdid PW Muhammadiyah 
  
  Sumbar
  
  Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga 
  
  (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia 
  
  sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari 
  
  mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan 
  
  masing-masing beredar pada garis edarnya  
  
  (QS. Yasin: 39-40)Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan 
  
  bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) 
  
  bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan 
  
  perhitungan (waktu).Allah tidak menciptakan yang demikian itu 
  
  melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) 
  
  kepada orang-orang yang mengetahui (QS. Yunus 5) Pada hari Sabtu, 22 
  
  September 2007, harian pagi "Padang Ekspres" koran yang kita cintai 
  
  ini memuat tulisan H.Chairuddin Ketua MUI Kab. Padang Pariaman pada 
  
  rubrik Teras Ramadhan dengan judul "Penetapan 1 Syawal 1428 H". 
  
  Tulisan beliau cukup baik untuk memberi informasi kepada masyarakat 
  
  tentang metode penetapan awal bulan Qamariyah seperti penetapan 1 
  
  Syawal 1428 H yang akan datang. Dari tiga metode penetapan awal 
  
  Ramadhan dan awal Syawal yang ada yakni: Metode ru'yah, metode hisab 
  
  atau disebut juga dengan metode wujudul hilal dan metode 
  
  imkanurru'yah, beliau menyatakan cenderung memilih metode ketiga 
  
  (imkanurru'yah) . 
  
  Hal itu adalah hak beliau dan orang-orang yang sepaham dengan beliau 
  
  yang tentunya harus kita hormati bersama. Sementara Muhammadiyah 
  
  menggunakan metode kedua, yakni metode hisab atau metode "wujudul 
  
  hilal". Tentunya orang-orang yang tidak menggunakan metode ini 
  
  seharusnya pula menghormati hak orang lain yang menggunakannya. 
  
  Dalam kaitan ini kami merasa perlu menanggapi pernyataan beliau yang 
  
  mengatakan bahwa "menggunakan metode kedua (wujudul hilal) berarti 
  
  tidak lagi mempedomani hadits Nabi: Berpuasalah kamu dengan melihat 
  
  bulan, dan berbukalah kamu (1 Syawal) dengan melihat bulan. Bila 
  
  pandangan kamu terhambat (oleh awan) maka sempurnakanlah bulan 
  
  Sya'ban 30 hari". 
  
  Melalui pernyataan tersebut beliau secara tidak langsung 
  
  memposisikan Muhammadiyah dan pihak-pihak yang menggunakan metode 
  
  wujudul hilal sebagai "tidak mempedomani hadits nabi". Ini adalah 
  
  suatu kekeliruan dan karena itu perlu diluruskan agar tidak 
  
  menimbulkan image yang negatif di kalangan pembaca/ masyarakat. 
  
  Muhammadiyah dalam pemahaman keagamaannya juga senantiasa 
  
  memperhatikan hadits atau sunnah Rasulullah dan bahkan selalu 
  
  berupaya untuk mengamalkannya dengan konsekuen. Karena itulah 
  
  Muhammadiyah sangat selektif dalam menilai hadits sebelum dijadikan 
  
  dalil dan menghindari riwayat-riwayat yang tidak jelas asal usulnya 
  
  atau yang tidak dapat dipertanggungjawabk an periwayatannya. Apalagi 
  
  menyangkut urusan ibadah, Muhammadiyah selalu mendasarkan amal 
  
  ibadahnya kepada sunnah yang shahih dengan periwayatan yang dapat 
  
  dipertangungjawabka n. 
  
  Muhammadiyah membersihkan diri dari beribadah secara tradisi atau 
  
  ikut-ikutan yang tidak berdasarkan kepada sunnah. Demikian juga 
  
  dengan hadits yang terkait dengan penetapan awal Syawal di atas, 
  
  tetap diperhatikan dan dipedomani oleh Muhammadiyah. Perbedaan 
  
  Muhammadiyah dengan H. Chairuddin menyangkut hadits di atas ialah 
  
  dalam aspek pemahaman (fiqh al-hadits). Pemahaman H.Chairuddin 
  
  terhadap hadits di atas tampaknya hanyalah pemahaman secara 
  
  lahiriah/tekstual. Kata ru'yah dalam teks hadits beliau pahami 
  
  dengan arti "melihat dengan mata" (ru'yah bil'ain). Inilah yang 
  
  beliau pentingkan sehingga konsekuensinya ialah apabila pada tanggal 
  
  29 Ramadhan hilal tidak terlihat oleh pandangan mata meskipun 
  
  sebenarnya sudah ada (wujud) di atas ufuk maka esok harinya masih 
  
  ditetapkan sebagai hari ke-30 Ramadhan, bukannya ditetapkan sebagai 
  
  tanggal 1 Syawal (bulan baru). 
  
  Pemahaman seperti ini dapat dikatakan pemahaman dalam arti sempit, 
  
  karena kata ru'yah bentuk mashdar dari kata ra'a secara bahasa 
  
  selain berarti "nazhara bil'ain" (melihat dengan mata) juga dengan 
  
  arti "nazhara bil `aqli" (melihat dengan akal/ilmu). Lihat Kamus al-
  
  Munjid fi al-Lughah, hal.243. Muhammadiyah tidak hanya memperhatikan 
  
  makna lahiriah hadits saja akan tetapi lebih jauh lagi mencari makna 
  
  yang substansial dari maksud hadits tersebut, yakni. , agar kita 
  
  dapat mengetahui dan meyakini apakah hilal telah wujud atau belum 
  
  pada tanggal 29 Sya'ban (untuk penetapan awal Ramadhan) dan tanggal 
  
  29 Ramadhan (untuk penetapan idul fithri). 
  
  Bila kamu mengetahui/meyakini telah ada (wujud) hilal maka 
  
  berpuasalah dan bila telah wujud kembali pada akhir Ramadhan maka 
  
  berbukalah kamu (berhari raya), dan apabila belum ada (dibawah ufuk) 
  
  maka cukupkanlah Sya'ban 30 hari. Demikian juga pada tanggal 29 
  
  Ramadhan bila belum wujud hilal maka cukupkanlah ia menjadi 30 hari. 
  
  Ru'yah bil'ain hanyalah salah satu metode untuk dapat mengetahui dan 
  
  meyakini ada atau tidak adanya hilal tersebut. Metode lainnya ialah 
  
  melalui perhitungan ilmu hisab. Di zaman Rasulullah secara praktis 
  
  memang dengan metode ru'yah bil'ain itulah baru yang dapat dilakukan 
  
  karena ilmu hisab belum berkembang seperti sekarang. 
  
  Sesuai dengan makna substansial hadits tersebut, maka istilah ru'yah 
  
  (yang diartikan dengan melihat) dalam teks hadits selain dapat 
  
  dipahami dengan ru'yah bil'ain , oleh para ulama juga dipahami 
  
  dengan ru'yah bil `ilm au bil `aqli, yakni melihat dengan 
  
  menggunakan metode penelitian atau penalaran ilmiah. Metode tersebut 
  
  sekarang telah terumus dengan baik dalam ilmu hisab/astronomi. Jadi 
  
  penggunaan ilmu hisab untuk mengetahui dan meyakini telah wujud atau 
  
  belumnya hilal adalah dalam rangka mengamalkan hadits ru'yatulhilal 
  
  juga. Di samping itu, hadits tentang ru'yatulhilal itu sendiri tidak 
  
  hanya satu versi saja, versi lain di ujungnya berbunyi "fain 
  
  ghumma `alaikum faqdurulah" (dari ibn Umr, riwayat Imam Bukhari, 
  
  Muslim dan Imam Malik). Artinya, jika (hilal) tidak terlihat oleh 
  
  pandangan (mata) mu maka kamu perhitungkanlah. 
  
  Sebagian ulama memahami "faqdurulah" ini dengan menggenapkan 
  
  hitungan Ramadhan menjadi 30 hari. Yang lain memahami "kamu 
  
  perhitungkanlah posisi hilal ketika itu" apakah sudah ada (di atas 
  
  ufuk) atau belum. Memperhitungkan posisi hilal ketika itu adalah 
  
  dengan menggunakan ilmu hisab. Jadi menggunakan ilmu hisab juga 
  
  mengamalkan hadits Rasulullah, baik versi pertama maupun/apalagi 
  
  versi kedua. Oleh karena itu di dalam Muhammadiyah fungsi dan 
  
  kedudukan hisab sama dengan fungsi dan kedudukan ru'yah. Kedua-
  
  duanya dapat dipakai, saling mendukung dan saling melengkapi. Islam 
  
  tidak anti dengan ilmu pengetahuan, bahkan sangat mendukung 
  
  berkembangnya ilmu pengetahuan. 
  
  Selain itu, eksistensi ilmu hisab, diakui sendiri oleh Alquran, 
  
  yakni ayat 5 surat Yunus yakni sebagai ilmu untuk mengetahui 
  
  bilangan tahun dan perhitungan waktu. Oleh karena itu tidak ada 
  
  seorang pun ulama yang mencela pengunaan ilmu hisab ini. Dalam 
  
  kaitan ini cukup membingungkan juga pernyataan H.Chairuddin bahwa 
  
  ayat 5 surat Yunus ini bersifat umum tidak bisa membatalkan hadits 
  
  yang menyuruh kita menetapkan awal bulan dengan cara melihat 
  
  (observasi). Dalam kaitan antara Alquran dan hadits ini perlu kehati-
  
  hatian dan ketelitian agar tidak salah menempatkannya. Ayat 5 surat 
  
  Yunus seperti dikatakan di atas adalah dalil/bukti bahwa Alquran 
  
  mengakui eksistensai ilmu hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan 
  
  perhitungan waktu. Di antaranya ialah waktu kapan akan berpuasa dan 
  
  kapan beridul fitri (1 Syawal) yang ditandai dengan telah adanya 
  
  hilal di penghujung Sya'ban dan di penghujung Ramadhan. 
  
  Hal ini selain dapat diketahui melalui ilmu hisab (yang eksistnsinya 
  
  diakui oleh ayat 5 surat Ynus di atas) juga dapat diketahui dengan 
  
  cara melihat langsung dengan mata kepala apabila hilal dalam 
  
  ketinggian yang memungkinkan dilihat. Jadi memang tidak ada 
  
  persoalan batal membatalkan antara hadits dan ayat dalam hal ini. 
  
  Hadits ru'yatul hilal paling tepat diposisikan adalah sebagai 
  
  penjelas (mubayyin ) bagi ayat 185 Al-Baqarah (faman syahida minkum 
  
  al-syahra falyashumh). Kata syahida dalam ayat, yang dari akar kata 
  
  ini muncul kata syahadah sering diartikan dengan "menyaksikan" . 
  
  Dalam hadits di bayan kan dengan ru'yah (dengan melihat) di mana 
  
  istilah ru'yah sendiri bisa dipahami dengan melihat langsung dengan 
  
  mata kepala atau melihat dengan metode penalaran ilmiah (ilmu 
  
  pengetahuan terkait), dalam hal ini adalah ilmu hisab. 
  
  Menarik sekali untuk diperhatikan bahwa kata syahida/syahadah 
  
  seperti terdapat dalam ayat di atas, oleh mufassir sendiri (lihat 
  
  misalnya Muhammad Ali As Sayis: Tafsir Ayat al-Ahkam) tidak hanya 
  
  dipahami dengan menyaksikan/ melihat dengan mata, tetapi juga dengan 
  
  makna "syahida bi `aqlih wa bima'rifatih" (menyaksikan dengan 
  
  menggunakan penalaran ilmiah/akal atau dengan pengetahuan yang 
  
  dimilikinya) . Al- Ashfahani dalam al-Mufradat fiy Gharib al-Quran 
  
  juga menjelaskan makna syahida dengan makna bi al-bashar (melihat 
  
  dengan mata) dan dengan bi al-bashirah (melihat dengan penalaran 
  
  ilmu) Jadi dari ayat sendiri sebenarnya telah diisyaratkan bahwa 
  
  puasa wajib dimulai bila kita tahu dan yakin bahwa bulan (hilal) 
  
  telah ada (di atas ufuk) sebagai pertanda telah datangnya bulan 
  
  Ramadhan. 
  
  Demikian pula untuk beridul fitri, yakni bila telah tahu dan yakin 
  
  telah ada hilal di penghujung Ramadhan. Metode untuk mengetahuinya 
  
  bisa dengan ru'yah bil'ain (melihat dengan mata kepala) atau melalui 
  
  ru'yah bil `aql, binnazhar au bil `ilmi (melihat dengan menggunakan 
  
  metode penelitian ilmiah, dalam hal ini adalah melalui ilmu hisab). 
  
  Berkenaan dengan penetapan 1 Syawal tahun 1428 H sekarang, 
  
  Muhammadiyah dengan menggunakan metode hisab yang dilakukan dengan 
  
  sangat teliti berkesimpulan dan yakin bahwa ketika matahari terbenam 
  
  pada tanggal 29 Ramadhan/11 Oktober 2007 nanti hilal sudah wujud di 
  
  atas ufuk mar'i, hanya saja ketinggiannya tidak mencapai 1 derjat 
  
  (yang tentunya tidak akan terlihat dengan pandangan mata). 
  
  Oleh karena itulah besoknya (12 Oktober) ditetapkan sebagai tanggal 
  
  1 Syawal atau `Idul Fithri 1428 H. Selain penetapan awal bulan, 
  
  penetapan waktu-waktu shalat pun dalam hadits Rasulullah (pada 
  
  awalnya) didasarkan kepada fenomena alam. Waktu Zhuhur mulai dari 
  
  tergelincirnya matahari ke arah barat sampai bayang-bayang suatu 
  
  benda sama panjangnya dengan benda itu sendiri. Waktu Ashar mulai 
  
  bayang-bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri dan berakhir 
  
  dengan terbenamnya matahari yang sekaligus sebagai pertanda masuknya 
  
  waktu Maghrib. Waktu Maghrib berakhir dengan habisnya cahaya syafaq 
  
  merah di langit belahan barat, sekaligus menandakan pula masuknya 
  
  waktu shalat `Isya. 
  
  Untuk mengetahui awal dan akhir waktu-waktu shalat tersebut sekarang 
  
  kita tidak perlu bersusah payah mengamati fenomena alam tersebut 
  
  karena ilmu hisab telah membantu kita menetapkan kapan datangnya 
  
  awal-awal waktu shalat tersebut mulai dari jam, menit dan detiknya 
  
  sebagaimana yang sama-sama kita pedomani dari jadwal waktu shalat 
  
  setiap hari. Idealnya penetapan awal bulan melalui ilmu hisab juga 
  
  diterima oleh semua umat Islam sebagaimana mereka menerima penetapan 
  
  awal waktu shalat dengan perhitungan ilmu hisab. Demikianlah 
  
  penjelasan ini, mudah-mudahan dapat dipahami dengan baik, Wallahu 
  
  a'lam bishshawab.. . *** 
  
  
      
                                                    

       
---------------------------------
 Yahoo! Answers - Get better answers from someone who knows. Tryit now.

Kirim email ke