Media Release, 18 Desember 2006 Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Website. http://www.fspi.or.id Email. [EMAIL PROTECTED]
Jangan Serahkan Perdagangan Beras pada Mekanisme Pasar Menyikapi masalah kenaikan harga beras dan penelitian Bank Dunia berjudul "Making The New Indonesia Work for The Poor" ada beberapa hal kritis yang ingin disampaikan oleh Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) sebagai organisasi petani. Pertama, mengenai masalah kenaikan harga beras—secara ekonomi—adalah masalah penawaran dan permintaan. Pertanyaan yang muncul adalah, (1) apakah stok beras ada, tapi harga naik? Atau (2) stok beras tidak ada, dan harga naik? FSPI melihat fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan ingin menyorotinya dari segi historis dan dari berbagai perspektif. Secara historis, sudah jamak bahwa menuju hari-hari besar agama, terutama di akhir tahun, harga beras cenderung naik. Hal ini juga yang menjadi legitimasi impor beras tahun lalu—diwujudkan pada Januari 2006 sebesar 110 ribu ton. Henry Saragih, Sekretaris Jenderal FSPI mengatakan, "Secara ekonomi, tentunya akhir tahun menjadi momentum yang penting bagi pasar untuk mencari rente dari rantai perdagangan beras". Hal inilah yang mendasari bahwa stok beras yang ada di masyarakat sangat berbeda dengan perhitungan yang ada di Departemen Pertanian, BPS dan departemen terkait lainnya. Hal ini karena rantai perdagangan beras di Indonesia sudah terlalu dikontrol oleh mekanisme pasar. "Akibatnya, peran negara sebagai pelindung dan pemenuh hak rakyat berkurang. Demikian juga dengan petani—yang sesungguhnya harus memiliki salah satu fasilitas pascaproduksi, yakni pasar beras yang sehat tersebut," demikian lanjut Henry. Yang harus dipenuhi pemerintah adalah, mengembalikan peran aparatus negara dalam rantai perdagangan beras. "Bulog harus dikembalikan perannya yang powerful dalam masalah stok dan harga seperti era 1973-1997," tandas Henry lagi. Masalahnya, peran Bulog dikebiri oleh Letter of Intent IMF sejak tahun 1998. Sehingga Bulog tidak lagi aktif mengayomi petani dan pasar domestik dengan public service obligation (PSO)-nya. Kedua, Mekanisme pasar ini pula yang menjadi basis pernyataan Bank Dunia dalam risetnya. "Kesimpulan untuk membuka impor beras untuk menekan harga adalah sangat menyederhanakan dan reduksionis," tegas Henry. Dilanjutkannya, hal ini karena Bank Dunia seringkali menyoroti fenomena di Indonesia dari segi ekonomi saja, melupakan dimensi sosial, politik, bahkan kultural. "Secara sosial dan politik, impor beras adalah pilihan paling terakhir. Sebab pilihan ini konsekuensinya bisa menghancurkan rakyat Indonesia yang mayoritas tinggal di pedesaan, terutama petani beras." Henry menerangkan pula bahwa pemerintah seharusnya menjalankan double-track insentif kepada petani, yang pertama petani sebagai produsen harus memiliki input pertanian yang rendah. Ini bisa diwujudkan dengan insentif pada produsen padi, dengan bibit dan pupuk murah. Bisa juga dengan mencanangkan pertanian berkelanjutan dengan melakukan pertanian organik yang berinput rendah. Insentif berupa pajak tanah yang murah juga harus diberikan kepada petani yang konsisten memenuhi kedaulatan pangan Indonesia. Dari segi produksi juga, pemerintah harus siap untuk memenuhi kedaulatan pangan dengan menyiapkan lahan abadi sekitar 15 juta hektar untuk tanaman padi. "Lahan yang kurang tentunya harus diambil rakyat dengan reforma agraria, yang selama ini diperjuangkan organisasi tani seperti FSPI," tandas dia. Kedua, sebagai konsumen, pemerintah harus menjaga harga yang berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan menjamin keuntungan petani. "Hal ini bisa diwujudkan bila Bulog berperan aktif membeli gabah langsung dari petani," kata Henry lagi. Hal ini bisa diwujudkan juga dengan membuat mekanisme pasar yang berpihak pada petani dengan prinsip direct selling-direct buying. "Jadi tidak ada lagi terjadi sampai lebih dari tiga tangan dalam rantai perdagangan beras itu," ujar dia. Rantai perdagangan beras yang panjang inilah yang berpotensi besar menaikkan harga, karena negara kurang memegang kendali. Padahal dengan kendali negara, ada mekanisme yang bisa menjamin pendapatan petani dan di lain pihak dapat menstabilkan harga.sementara dengan diletakkannya perdagangan bebas pada mekanisme pasar, alih-alih petani beruntung. Sebaliknya, pedagang dan spekulan beras adalah pihak yang menang seperti pemain internasional beras—yakni perusahaan Vietnam (Vinafood), Thailand (Charoen Poekphand), dan Amerika Serikat (Cargill). Sistem inilah yang disupport oleh Bank Dunia, dan melalui rekomendasinya dia menutupi kemungkinan yang mungkin lebih pahit lagi. Menurut risetnya, 3.1juta orang berpotensi miskin karena kenaikan harga beras ini. Menurut organisasi tani, 13.7 juta keluarga petani gurem Indonesia yang mayoritasnya petani padi bisa terancam jika kita terus-terusan impor beras. "Lagipula, harga beras tidak bisa dijadikan kambing hitam kemiskinan—dan inflasi. Harga beras bukan penyebab inflasi dan kemiskinan, melainkan hanya komponennya. Penyebabnya adalah yang langsung mempengaruhi produksi, seperti kenaikan BBM tahun lalu yang menyebabkan harga barang naik hampir bersamaan," tandas Henry. Henry menyatakan, "Harus pula diperhatikan, bahwa kenaikan harga beras tidak selalu menguntungkan petani. Harga beras tidak berkorelasi langsung dengan harga gabah, namun sebaliknya—harga gabah selalu berkorelasi langsung dengan harga beras". Contohnya Desember ini, harga beras dengan kenaikan sampai lebih Rp 1000 per kilogram ternyata tidak diikuti oleh kenaikan harga gabah (tetap stabil dari Mei 2006 di kisaran Rp 2300). Petani padi Indonesia hampir seluruhnya menjual gabah, karena tidak memiliki modal dan sumber daya untuk memproduksi beras melalui penggilingan padi. ----------------------------------------------------- Kontak lebih lanjut: Henry Saragih (Sekretaris Jenderal FSPI); 08163144441, Achmad Ya'kub (Deputi Pengkajian Kebijakan dan Kampanye); 0817712347, Muhammad Ikhwan (Staf Pengkajian Kebijakan dan Kampanye); 081932099596 Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Jl. Mampang Prapatan XIV No. 5 Jakarta – Indonesia 12790 Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426 Email. [EMAIL PROTECTED] Website. www.fspi.or.id -- Mohammed Ikhwan Staff of Policy Studies and Campaign Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) http://www.fspi.or.id Mobile. +6281932099596