Dari milis sahabat,
bdg

----- Original Message ----- 
From: Gadsim 
To: Pepicek Post 
Sent: Tuesday, May 22, 2007 6:15 AM
Subject: [pepicek-post] Re.: Budiman Sudjatmiko - Lalu Apa? (fwd)


---------- Forwarded message ----------
Message-ID: <[EMAIL PROTECTED]>
From: "B.DORPI P." <[EMAIL PROTECTED]>
To: "!B.DORPI P." <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re.: Budiman Sudjatmiko - Lalu Apa?
Date: Tue, 22 May 2007 08:01:02 +0700 

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=286284 



 


--------------------------------------------------------------------------------


http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=286284

Selasa, 22 Mei 2007,

Lalu Apa?

Oleh Budiman Sudjatmiko

Setelah 9 Tahun Soeharto Dijatuhkan 
?Sejarah telah menunjukkan bahwa politisi-politisi yang membusuk tidak dapat 
mengobati dirinya sendiri dengan obat peringan rasa sakit.?
Simon Bolivar

Kemarin bangsa Indonesia memperingati sembilan tahun jatuhnya diktator Soeharto 
yang, setelah berkuasa secara represif selama 32 tahun, dipaksa turun. Seorang 
diktator dijatuhkan sembilan tahun yang lalu. Pertanyaannya setelah itu apa? 
Apakah itu jaminan bahwa keadaan menjadi lebih baik? Apa yang harus dilakukan 
untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih baik tersebut?

Konstitusional 

Jika penjatuhan Soeharto/reformasi sembilan tahun lalu dianggap sebagai obat 
atas krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia, pertanyaannya 
adalah apakah itu obat antibiotik yang harus diminum sampai tuntas (sebab jika 
setengah-setengah malah berbahaya) ataukah itu sekadar obat peringan rasa sakit 
yang berakar dari krisis multidimensional bangsa?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menyimak 
beberapa catatan awal di bawah ini, agar kita memiliki frame yang sama untuk 
mengukur keberhasilan atau kegagalan reformasi. 

Refleksi sembilan tahun reformasi ini seharusnya difokuskan pada tujuan utama 
reformasi, yaitu: 1. pemulihan demokrasi politik, berupa pemenuhan hak-hak 
politik dan sipil rakyat Indonesia, seperti kebebasan berpendapat dan 
berorganisasi sebagaimana dijamin oleh pasal 28 UUD 1945, yang selama 32 tahun 
ditindas Orde Baru, dan; 2. pemulihan demokrasi sosial dan ekonomi, berupa 
pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat sebagaimana dijamin oleh pasal 
33 UUD 1945, yang juga selama 32 tahun diingkari oleh Orde Baru. 

Artinya, tujuan reformasi pada hakikatnya untuk mengembalikan perjalanan bangsa 
sebagaimana diamanatkan konstitusi kita, UUD 1945. Karena itu, yang menjadi 
tujuan antara oleh gerakan demokrasi adalah menjatuhkan pemerintahan diktator 
Soeharto.

Mengapa? Kita menganggap Orde Baru dan Soeharto terbukti gagal mengemban amanat 
sebagai ?pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia 
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, 
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang 
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial? (Pembukaan UUD 
1945). 

Pembukaan UUD 1945, yang merupakan deklarasi kemerdekaan kita, jelas-jelas 
mengamanatkan sebuah perubahan yang fundamental, sebuah obat antibiotik yang 
mesti tuntas diminum (bukan sekadar obat peringan rasa sakit), mengingat 
kerusakan/sakit yang sedemikian parah yang diderita bangsa ini karena 
pemerintahan Orde Baru yang tidak amanah menjalankan konstitusi.

Dikhianati 

Dalam kenyataan sembilan tahun reformasi, yang berhasil dicapai hanyalah 
penjatuhan kediktatoran Soeharto (itu pun sampai sekarang belum diadili atas 
kejahatan ekonomi dan kejahatan kemanusiaannya), kebebasan pers, dan kebebasan 
berpartai -itu pun masih banyak didominasi politisi hasil didikan Orde Baru 
yang pragmatis dan korup. 

Kita tahu, era transisi di banyak negara berkembang merupakan sebuah respons 
atas kekuasaan otoriter yang berlangsung sekian lama. Menjadi perilaku penguasa 
otoriter, termasuk Orde Baru Soeharto, untuk menyingkirkan sektor-sektor rakyat 
dari ajang politik lengkap dengan aspirasi mereka yang (umumnya) berbasis, atau 
sekurangnya, berjargon kepentingan kelas bawah. 

Di pihak lain, penguasa Orde Baru justru merangkul dan mengooptasi sebagian 
kelas menengah Indonesia. Sebagian kelas menengah ini lalu dijadikan junior 
partners dalam sistem politik otoriter maupun ekonomi pasar (baik yang ortodoks 
maupun yang terkendali). Orang-orang semacam inilah yang pada hari ini banyak 
menjadi figur dominan kekuasaan politik dan ekonomi di Indonesia. 

Artinya, dalam reformasi demokratis yang prosesnya sekarang masih berlangsung 
di Indonesia, sebagian politisi dan pengusaha yang tadinya mendukung rezim Orde 
Baru yang ditumbangkan, akhirnya diikutsertakan dalam proses politik demokratis.

Apa yang kita dapati di masa transisi ini adalah tak kurang dari struktur 
kekuasaan yang beralih dari kelompok inti (core group) lama rezim otoriter Orde 
Baru ke core group baru rezim sipil demokratis pasca 1998. 

Ciri khas proses tersebut adalah: core group baru tersebut, kebanyakan 
merupakan mantan para pemagang (apprentice) di rezim Orde Baru. Yang terjadi 
kemudian adalah pelanjutan (bahkan intensifikasi di sana-sini) dari kebijakan 
ekonomi neoliberal, yang dasar-dasar pragmatisme dan kapitalismenya sudah 
disemai selama dan oleh rezim Orde Baru. Seiring dengan itu, sebagian besar 
massa rakyat Indonesia (wong cilik atau Marhaen) yang sekian lama 
terdepolitisasi tetap ditinggal.

Berangkat dari hal tersebut, segala bentuk pemerintahan yang lahir 
pascareformasi dituntut menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut. Jika 
tidak, tentu ia menjadi tidak berbeda dengan pemerintahan Orde Baru Soeharto 
yang sudah sama-sama kita tolak keberadaannya.

Namun, apa lacur? Setelah sembilan tahun reformasi, hak-hak sosial ekonomi 
rakyat justru makin dikhianati. Salah satunya adalah bertambahnya angka 
kemiskinan yang sekarang mencapai 49 persen (108 juta) dari rakyat Indonesia, 
menurut Laboran Bank Dunia yang dikeluarkan 2006. 

Terlebih lagi, kekuatan legislatif pascareformasi pun diwarnai keluarnya UU 
yang berdampak negatif terhadap hak kedaulatan rakyat atas sumber daya ekonomi 
kita sendiri. 

Contohnya, pada Maret mayoritas fraksi di DPR -kecuali Fraksi PDI Perjuangan 
dan fraksi PKB- meloloskan RUU yang sekarang sudah jadi UU Penanaman Modal. 

Perlu dicatat, UU itu malah membuat kaum tani kita terancam kehilangan 
kedaulatan atas tanah karena bisa dikuasai melalui hak guna usaha (HGU) oleh 
para investor asing selama 185 tahun, hak guna bangunan (HGB) selama 160 tahun, 
dan hak pakai 140 tahun. Itu cuma salah satu contoh. Ini jelas-jelas 
mengingkari kedaulatan bangsa.

Jadi, sudah terang benderang bagi kita sembilan tahun reformasi yang kita 
peringati (kemarin) terancam gagal jika gagal menegakkan: 1. Kedaulatan bangsa 
(terutama di bidang pangan, energi, keuangan dan pertahanan); 2. Keadilan 
sosial; dan 3. Kebhinekatunggalikaan kita berdasar Pancasila. Semua 
penyimpangan reformasi ini terjadi karena banyak elite politik kita telah 
mengganti semangat demokrasi, patriotisme, dan kerakyatan dengan semangat 
pragmatisme dan plutokrasi (kekuasaan politik berdasarkan uang). Inilah 
penyebab belum berhasilnya reformasi. 

Pertanyaan berikutnya ialah, bisakah sebuah proses perubahan, perbaikan, 
reformasi ataupun namanya itu berlangsung di tengah bangsa yang sedang 
kehilangan orientasi seperti Indonesia? Jawabnya adalah bisa, namun dengan 
syarat adanya kepemimpinan yang orientatif dan berani berbuat.


Budiman Sudjatmiko, direktur eksekutif ResPublica Institute, mantan ketua umum 
PRD, dan aktivis Mei 1998

Kirim email ke