Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 12 Desember 2006

MAU KEMANA "Harian KOMPAS"
<Menggembosi Serikatburuh Jurnalis Setempat?>

Tulisan ini dibuat atas dasar asumsi bahwa, benarlah adanya yang
diberitakan oleh AJI, Aliansi Jurnalis Indonesia, mengenai pemecatan
atas wartawan senior 'Harian Kompas', Bambang Wisudo. Seperti yang
diberitakan (lihat lampiran berita dalam bahasa Inggris), menurut AJI
Bambang Wisudo dipecat karena menolak dipindahkan ke Ambon. AJI
menjelaskan lebih lanjut bahwa 'pemindahan' tsb dilakukan dengan
tujuan untuk menggembosi serikatburuh di 'Harian Kompas' yang
kebetulan dipimpin oleh Bambang Wisudo.

*  *  *

Bulan Desember ini, sering dikatakan sebagai bulan HAK-HAK AZASI
MANUSIA, bulan 'THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS' – U.N.O.
Supaya orang jangan lupa bahwa pada tanggal 10 Desember 1948, PBB
mengeluarkan pernyataan tentang HAK-HAK AZASI Manusia, bahwa
prinsip-prinsp HAM dan Demokrasi, seharusnya dipraktekkan oleh semua
anggota PBB, oleh sesama manusia di dunia ini. 

Secara internasional maupun nasional hari 10 Desember diperingati
dengan pelbagai kegiatan untuk mendorong maju terus perjuangan untuk
HAM, untuk Hak-Hak Demokrasi, hak untuk dengan bebas menyatakan
pendapat, menulis, dan menyiarkannya. Untuk diberlakukannya dengan
konsisten KEBEBASAN PERS. Supaya orang jangan lupa bahwa pelanggaran
terhadap HAM sudah tidak bisa ditolerir lagi, di saat dunia (ketika
pernyataan PBB itu dikeluarkan) baru saja dengan gemilang merebut
kemenangan atas aliansi kekuatan militer-fasis internasional Nazi
Jerman, fasisme Itali dan militer-fasis Jepang. Suatu kekuatan politik
dan militer yang melanggar HAM dan membungkam kebebasan berfikir dan
menyatakan pendapat. Universal Declaration of Human Rights adalah
tekad khidmat PBB, adalah suatu 'political will' yang historis dari
organisasi keduniaan satu-satunya, dimana mayoritas mutlak negara di
dunia ini adalah anggotanya.

*   *   * 

Kebebasan pers adalah salah satu prinsip yang diutarakan dan dibela
oleh HAM internasional. Di sini peranan jurnalis merupakan  salah satu
faktor menentukan. Salah satu syarat penting agar bisanya terlaksana
kebebasan pers. Jurnalis-jurnalis dianggap sebagai penyangga kebebasan
pers, penyanggap demokrasi. Suatu jurnalisme yang didasarkan atas
pemahaman bersama bahwa, pertama-tama merupakan tuntutan terhadap diri
sendiri, bahwa kaum jurnalis adalah insan-insan yang berpegang teguh
pada prinsip HAM dan kebebasan demokratis. Bukan semata-mata sebagai
'kuli tinta' <seperti sering dungkapkan dalam kehidupan sehari-hari>.
Yang mencari nafkah sebagai wartawan di suatu perusahaan yang
bersangkutan dengan dunia media. 

Tentu lebih jelek lagi, bila sang wartawan, menulis atau membuat suatu
liputan atas perintah 'amplop berisi' yang baru diterimanya dari
jurusan tertentu yang berkepentingan. Jelas yang paling jelek dan
teramat hina adalah menjadi 'wartawan bayaran'. Wartawan atau editor
bayaran bisa juga, adalah jurnalis-jurnalis, editor-editor bayaran
yang dipasang disitu. Tugasnya adalah agar tulisan-tulisan kritis,
teristimea terhadap penguasa, tidak dimuat. Mereka-mereka itu adalah
jurnalis 'palang pintu', atau jadi 'redaktur palang-pintu'. Hal ini
terjadi di dalam suatu negeri yang mentrapkan sistim otoriter dan
totaliter, ataupun didalam masyarakat kapitalis dimana raja-raja uang
menguasai media cetak dan eletronik.

Secara umum, fungsi wartawan yang punya visi dan misi perjuangan
kemerdekaan bangsa dan negeri, --- hal yang kita alami pada periode
penjajahan kolonialisme Belanda, adalah tidak mudah. Jadi wartawan
yang ikut memperjuangan kemerdekaan bangsa dan keadilan, terancam
kehilangan pekerjaan dan sumber pencariannya. Bahkan bisa masuk
penjara atau dibuang ke Boven Digul (Papua). Di zaman pendudukan
militer Jepang, jangan coba-coba untuk jadi wartawan yang bebas dan
punya cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial. Pada periode
kekuasaan asing di Indonesia, tak ada kebebasan pers, tak ada
kebebasan menulis. Wartawan menulis hanya atas persetujuan dan
pengendalian penguasa. Wartawan kawakan dan senior Rosihan Anwar, yang
pernah hidup sebagai wartawan pada zaman pendudukan Jepang, bisa
cerita banyak tentang hal itu.

Periode rezim ORBA, adalah saat ketika hak-hak azasi manusia, hak-hak
demokrasi dicabut samasekali dari kehidupan masyarakat. Seluruh media
pers diawasi dikontrol oleh penguasa militer. 'Pelanggaran'  yang
sekecil-kecilnyapun terhadap politik dan beleid penguasa akan berakhir
dengan pemberangusan. Syukur-syukur jika hanya surat kabarnya yang
ditutup, dan para wartawannya menjadi penganggur tanpa batas waktu.
Lebih celaka lagi, dan ini sering terjadi, sang wartawanpun masuk
penjara. Bahkan ada yang 'hilang' tak tahu rimbanya.

Sesudah Suharto digulingkan dan Reformasi dan Demokratisasi menjadi
program umum gerakan, pada tempatnya kebebasan pers mulai diberlakukan. 

Tindakan pimpinan 'Harian Kompas' dengan memecat jurnalis senior
Bambang Wirosudo, adalah suatu kebijaksanaan yang hendak kembali ke
periode tanpa kebebasan pers dan kebebasan berserikat seperti ketika
di bawah rezim Orba. Mudah-mudahan kasus ini tidak menyebar kemana-mana.

*  *  *

Bulan Desemer yang ditandai oleh kegiatan-kegiatan untuk hak-hak
demokrasi dan  kebebasan pers, oleh pimpinan  'Harian Kompas' malah
digunakan untuk memecat wartawan seniornya, dengan dalih yang
dibuat-buat. Kalau benar seperti yang dijelaskan oleh AJI, bahwa
tujuan 'Harian Kompas' adalah untuk menggembosi organisasi wartawan di
situ, seharusnya tindakan pimpinan 'Harian Kompas' itu dikecam dan
diprotes. Karena hal itu jelas merupakan pelanggaran terhadap
kebebasan berorganisai bagi setiap buruh atau yang sekarang sering
disebut 'karyawan'.

Pantaslah tuntutan AJI berkenaan dengan pemecatan terhadap Bambang
Wisudo, mendapat dukungan seluruh masyarakat peduli-demokrasi. 

*   *   *

Untuk jelasnya, baik dikutip  di bawah ini terjemahan sebagaian 
berita berbahasa Inggris, yang disiarkan di Mailist AMBON,  sbb:

Intimidasi, penahanan, dan pemecatan terhadap Bambang Wisudo adalah
sangat tercela, tak berperikemanusiaan dan ilegal.
Usaha pimpinan 'Harian Kompas' untuk membatasi hak-hak manusia dan
mengebiri usaha kolektif untuk memajukan komunikasi dilarang oleh
Undang Undang Perburhan dan bisa mengarah ke sanksi kriminil. AJI
menuntut agar pimpinan 'Harian Kompas' mengambil langkah-langkah sbb:

- Merehabilitasi Bambang pada kedudukannya semula di PT Kompas Media
Nusantara.
- Mengakui hak-hak kaum buruh untuk memilih perwakilan mereka serta
peranan Bambang sebagai sekretaris serikat buruh disitu.
- Membatalkan keputusan untuk mengirimkan Bambang ke Ambon dan
meninggalkan politik mereka memindah-mindahkan anggota-anggota serikat
buruh.
Menghormati hak-hak kaum buruh untuk berkumpul dan membentuk serikat
buruh mereka tanpa intimidasi.
Meninjau kembali budaya intimidasi yang ada pada pimpinan, dimulai
dengan suatu penyelidikan yang menyeluruh dan transparan terhadap
peristiwa di belakang pemecatan terhadap Bambang, dan diambilnya
tindakan korektif terhadap personil-personil keamanan perusahaan.
(Sumber AJI, seperti yg disiarkan oleh Mailist Ambon)

*   *   *

Lampiran berita berbahasa Inggris:

"Kompas Daily" fires journalist-cum-union-leader for refusing
reassignment; AJI calls it a move to undermine union.
12 December 2006

Source: Alliance of Independent Journalists (AJI), Indonesia 

The Alliance of Independent Journalists (AJI) protests the dismissal
of senior journalist Bambang Wisudo from "Kompas Daily" on 8 December
2006 and the intimidating manner in which it was done. 
Bambang, who is also secretary of the Kompas Trade Union, has worked
for the Jakarta-based newspaper for 15 years.
He was purportedly dismissed for refusing to be reassigned to Ambon,
in the Maluku Province, 2,300km east of Jakarta.
However, AJI said that Wisudo's reassignment was prompted by his
efforts to improve the union's reportage standards and address
policies instituted by the newspaper's management seen to be
disruptive to workforce productivity and the readers. 
AJI strongly condemns the atmosphere of intimidation created by the
"Kompas Daily" management when the company's security personnel
forcefully removed Bambang from the office and detained him against
his will for several hours in a holding cell. 
Bambang was only released upon being delivered a dismissal letter
signed by Editor-in-Chief Suryopra tom o.
AJI said Kompas Daily's "intimidation, detention, and dismissal of
(Bambang) are reprehensible, inhumane, and illegal." 
It continued, "The 'Kompas Daily' management's efforts to restrict
human rights and curtail collective efforts to improve communications
are prohibited by the Constitution and labour law, and could result in
criminal sanctions." 
AJI demands that "Kompas Daily" take the following actions:
- Reinstate Bambang to his former position at PT Kompas Media Nusantara. 
- Recognise the workers' right to elected representation and Bambang's
role as the union secretary.
- Rescind the decision to send Bambang to Ambon and abandon its policy
of relocating union members.
- Respect the workers' right to assemble and form trade unions without
intimidation.
- Review the management's culture of intimidation, starting with a
thorough, transparent investigation of the events behind Bambang's
dismissal and a decisive, corrective action against the company's
security personnel.


*   *   *


Kirim email ke