REFLEKSI: Kalau parpol baru tanduk politisi kekuakasaan, apakah berarti parpol 
lama adalah buntut kekuasaan?

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/21/wacana.htm



Parpol Baru Tanduk Politisi Kekuasaan
Oleh Dr. PANDJI SANTOSA, M.Si.  


MUNCULNYA partai politik baru (parpol) mulai mewarnai kancah politik bangsa, 
walau pesta rakyat itu masih tiga tahun lagi digelar, yakni Pemilihan Umum 
(Pemilu) 2009. Seperti halnya parpol lama, kemunculan mereka disambut dingin 
masyarakat, sebagian kalangan skeptis menilai bahwa parpol baru dapat membawa 
perbaikan atau perubahan segnifikan terhadap aspirasi publik. Pada sisi lain 
dapat dipahami bahwa hal itu merupakan transisi politik bangsa menuju perubahan 
besar dalam berdemokrasi. 

Dalam sistem pemerintahan demokratis, parpol idealnya berfungsi sebagai 
representasi kepentingan warga negara dalam menyalurkan kepentingan dan 
aspirasi politik menuju kursi legislatif dan eksekutif dalam pemilu. Selain itu 
parpol juga berfungsi mewariskan nilai-nilai demokrasi dan menyiapkan 
pemimpin-pemimpin masa depan dengan visi yang lebih demokratis. Namun, tidak 
sedikit parpol baru yang terus bermunculan itu menunjukkan nafsu politisi yang 
sedemikian besar untuk berebut tanduk kursi kekuasaan.

Sampai saat ini, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menerima 
pendaftaran 27 parpol, antara lain; Partai Generasi, Partai Republikku, Partai 
Murba Indonesia, Partai Orde Baru, Partai Satria Piningit, Partai Demokrasi 
Pembaruan, Partai Bintang Bulan, Partai Kristiani Indonesia, Partai Nasional, 
Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Pembaharuan Damai 
Sejahtera, Partai Rakyat Merdeka, Partai Demokrat Sejahtera, dan Partai 
Kemerdekaan Rakyat. 

Kalau dicermati, sebenarnya tidak ada negara demokratis kuat yang partainya 
banyak. Di Amerika Serikat saja hanya ada dua partai, Republik dan Demokrat. Di 
Inggris pun demikian. Rasanya sulit disangkal, dengan sistem multipartai hanya 
efektif untuk negara yang baru lahir atau baru keluar dari sistem otoriter, 
tapi menjadi tidak efektif untuk negara yang pemerintahnya relatif stabil. 
Seperti di Indonesia relatif stabil, maka tidak relevan lagi sistem multipartai 
eksesif yang mencapai puluhan partai. Sistem bipartai juga tentu belum layak, 
karena partai politik sampai sekarang belum bisa dipercaya sepenuhnya. 

William Liddle (1998), pernal berkata idealnya Indonesia memiliki kurang dari 
10 partai, bahkan di bawah lima. 

Dalam realitasnya banyaknya parpol di Indonesia setelah masa reformasi hingga 
sekarang tidaklah kondusif bagi kehidupan politik nasional. Pasalnya, hampir 
semua parpol, baik yang besar maupun yang kecil, tidak pernah sepi dari konflik 
yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Kondisi seperti itu menyebabkan energi 
parpol habis terkuras hanya untuk soal-soal yang tidak substansial. 
Konflik-konflik selalu muncul menjelang atau sesudah kongres atau muktamar 
partai. Nyaris tidak ada diskusi atau perdebatan yang signifikan dalam partai 
mengenai soal-soal yang lebih mendasar daripada sekadar menyodorkan wacana 
ribut-ribut bagi kekuasaan untuk mendapatkan posisi tertinggi dalam partai.

Satu pertanyaan yang mesti dikaji yakni, mengapa parpol-parpol baru itu terus 
bermunculan? Ada beberapa alasan politis yang dapat dipahami. Pertama, adanya 
kebangkitan pretorianisme politik. Masa peralihan dari habitus lama ke habitus 
baru, sejak keruntuhan Soehartoisme pada 1998. Di koridor logika inilah 
kemunculan berbagai parpol baru tumbuh. Ketika tidak ada organisasi politik 
yang cukup berwibawa, setiap kekuatan sosial dalam masyarakat akan menjelma 
menjadi kekuatan politik yang dengan agresif berupaya memengaruhi proses 
politik. Kedua, adanya kekecewaan terhadap kinerja pemerintah. Dengan lahirnya 
parpol-parpol baru ini merupakan pertanda bahwa legitimasi pemerintah yang 
diproduksi oleh parpol-parpol lama sudah lapuk sehingga perlu ada pemerintah 
baru yang dihasilkan oleh parpol-parpol baru. Hal ini bermakna ganda. Positif 
sebagai salah satu kondisi penting untuk menghasilkan suatu "pemerintah yang 
bertanggung jawab" (Lively, 1975), sekaligus negatif sebagai bukti 
ketidakstabilan politik. 

Ketiga, mencari jalan untuk merebut kekuasaan. Boleh jadi, agresivisme 
mendirikan parpol baru di kalangan segelintir pelaku politik ini mencerminkan 
mentalitas "haus kekuasaan". Bahwa dengan mendirikan partai otomatis ada jalan 
untuk meraih jabatan. Umumnya, paradigma ini ada pada para pemain politik baru 
yang kesulitan bergabung dengan partai lama atau bisa juga para pemain lama 
yang tidak lagi diperhitungkan oleh partainya. Apa pun alasan dasar di balik 
pendirian partai-partai ini, yang pasti demokrasi bukan sistem sekali jadi. 

Dalam proses pendidikan politik, munculnya fenomena parpol baru ini mengandung 
implikasi kontradiktif. Pertama, memperluas ruang partisipasi bagi masyarakat 
untuk terlibat dalam proses politik karena substansi demokrasi adalah 
kesetaraan politik. Lebih jelasnya, ada dua bentuk kesetaraan, yakni kesetaraan 
retrospektif dan kesetaraan prospektif. Kesetaraan retrospektif artinya setiap 
orang memiliki peluang yang sama dan setara untuk terlibat dalam proses 
politik, sedangkan kesetaraan prospektif artinya setiap orang tidak boleh 
dicegah atau dihambat untuk terlibat dalam proses politik (Jack Lively, 1975: 
30-52). Maka, dalam konteks kesetaraan politik (political equality), kehadiran 
partai-partai baru tersebut merupakan manifestasi hak politik untuk terlibat 
dalam politik.

Kedua, melemahkan "suara rakyat" yang menjadi sumber kekuasaan politik karena 
banyaknya partai membuat suara rakyat terpecah-pecah dan ujung-ujungnya, yang 
menang dalam pemilihan umum hanyalah "mayoritas kecil" yang tidak mencerminkan 
kehendak seluruh rakyat. Konsekuensinya, suara rakyat tidak tercecer ke 
mana-mana dan menjadi tidak berharga karena mengalir ke partai-partai kecil 
yang kalah. Akibatnya, yang duduk dalam sistem politik, mewakili seluruh 
rakyat, adalah para wakil yang hanya memperoleh dukungan tidak lebih dari 20 
persen suara dalam pemilu, seperti banyak anggota DPR hasil Pemilu 2004.

Harapan adanya pembaharuan akan selalu muncul, bukanlah nama partainya, namun 
dapat diukur kinerjanya. Kalau setiap partai yang sudah ada memperbarui 
kinerjanya maka kepercayaan rakyat akan tumbuh. Dampaknya partai tersebut akan 
mendapat dukungan yang luas dari masyarakat. Buat apa membuat partai baru kalau 
kinerjanya sama saja dengan partai lama yang sudah ada? Hal ini justru akan 
memperburuk iklim demokrasi. Sebab partai yang ada dan terus bermunculan tanpa 
disertai kinerja yang baik akan menimbulkan antipati dari masyarakat. 
Masyarakat akan "trauma" dengan yang namanya parpol. Kalau saja sindrome 
parpolnus barunus tidak segera diobati, maka bersiap-siaplah untuk melihat 
kekecewaan rakyat yang lebih besar lagi. *** 

Penulis, pemerhati masalah sosial poltik dan tenaga pengajar Fisip dan Program 
Pascasarjana Universitas Langlangbuana (Unla) Bandung

Kirim email ke