SENJAKALA PARA PEMUJA BERHALA 
  (Sebuah Renungan dari Seorang Pemberhala)
   
   
  Oleh:
  AUDIFAX
  (Peneliti dan Penulis buku “Imagining Lara Croft”, Jalasutra 2006)
   
   
  Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia 
berlari-lari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak: ‘Aku 
mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!. Ketika orang banyak yang tidak percaya pada 
Tuhan datang mengerumuninya, orang gila itu mengundangbanyak gelak tawa. 
‘Apakah dia ini orang yanghilang?’, tanya seseorang. Apakah dia tersesat 
seperti anak kecil? Apakah dia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah dia 
seorang perantau? Demikianlah, mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
   
  Orang gila itu lalumelompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan 
menatap mereka dengan pandangan yang tajam ‘Mana Tuhan?’ serunya. ‘Aku hendak 
berkata pada kalian. Kita telah membunuh Tuhan—kalian dan aku. Kita semua 
adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin Kita telah melakukan perbuatan semacam 
ini? bagaimana mungkin Kita meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan 
penghapus kepada Kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang Kita 
lakukan jikalau Kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Lalu kemana bumi ini 
akan bergerak? Ke mana Kita bergerak? Menjauhi seluruh matahari? Tidakkah Kita 
jatuh terus menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih 
adakah atas dan bawah? Tidakkah Kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak 
terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari 
sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam terus-menerus semakin meliputi 
Kita? Bukankah pada siang hari lentera pun Kita nyalakan? Tidakkah Kita
 mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? 
Tidakkah Kita mencium bau busuk tuhan? Ya, para Tuhan juga membusuk! Tuhan 
telah mati! Tuhan tetap mati! Dan Kita telah membunuhnya!
   
  Bagaimanakah Kita—pembunuh para pembunuh—merasa terhibur? Dia yang mahakudus 
dan mahakuasa yang dimiliki dunia kini telah mati kehabisan darah karena 
pisau-pisau Kita—siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari Kita? Dengan 
air apakah Kita dapat membersihkan diri Kita? Perayaan tobat apa, pertunjukan 
kudus apa, yang harus kita adakan? Bukankah kedahsyatan tindakan ini terlalu 
dahsyat bagi Kita?Tidakkah Kita harus menjadikan diri Kita sendiri sebagai 
Tuhan supaya tindakan itu kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang 
lebih besar, dan siapa saja yang lahir setelah Kita—demi tindakan ini—akan 
termasuk ke dalam sejarah yang lebih besar daripada seluruh sejarah sampai 
sekarang ini!
   
  Sampai di sini, orang gila itu lalu diam dan kembali memandang para 
pendengarnya; dan mereka pun diam dan dengan keheran-heranan memelototinya. 
Akhirnya, orang gila membuang pelitanya ke tanah dan pelita itu hancur, 
kemudian padam. “Aku datang terlalu awal”, katanya kemudian. “Waktuku belum 
tiba. Peristiwa dahsyat ini masih terus berjalan, masih terus berkeliaran dan 
belum sampai pada telinga orang-orang. Kilat dan guntur memerlukan waktu, 
cahaya bintang-bintang memerlukan waktu; tindakan, meskipun sudah dilakukan 
masih memerlukan waktu untuk dapat dilihat dan didengar. Tindakan ini masih 
lebih jauh dari mereka daripada bintang-bintang yang paling jauh—namun mereka 
sudah melakukan untuk diri mereka sendiri.
   
  Masih diceritakan lagi bahwa pada hari yang sama orang gila itu nekat masuk 
ke dalam berbagai gereja dan di sana menyanyikan lagu Requiem aeternam Deo 
[Istirahat kekal bagi Tuhan]. Setelah keluar dan diminta pertanggungjawaban, 
dia hanya selalu menangkis dan berkata, “Apalagi gereja-gereja ini kalau bukan 
makam-makam dan nisan-nisan bagi Tuhan?”.
   
  Friedrich Nietzche
  (“Also Sprach Zarahustra”)
  Begitulah Friedrich Nietzche berkisah layaknya guru-guru kebijaksanaan yang 
menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang sulit dipahami melalui perumpamaan 
berbentuk kisah. Layaknya kisah-kisah perumpamaan, ia menghentak telinga 
pendengarnya. Kisah Zarathustra ini, sama dengan kisah perumpamaan yang lain, 
yang tak pernah menyingkapkan “isi atau maksud” secara eksplisit, namun mampu 
mengajak pendengarnya untuk merenung. Renungan inilah yang muncul ketika saat 
ini pemberhala-pemberhala kecewa karena berhalanya tak sesuai dengan apa yang 
selama ini diberhalakannya. Inilah saat-saat yang bukan hanya senjakala bagi 
para berhala, tetapi juga senjakala bagi para pemberhala.
   
  Kisah Zarathustra ini pantas menjadi renungan di jaman ketika muncul 
peristiwa-peristiwa yang membuat “bumi gonjang-ganjing, langit gondal-gandul…” 
seperti kontroversi kartun Nabi, Da Vinci Code atau yang terbaru: Poligami Aa 
Gym. Orang begitu mudah kecewa ketika Idol-nya tak sesuai dengan apa yang 
diidolakan, entah ketaksesuaian itu karena dibuat oleh orang lain seperti 
Kartun Nabi dan Da Vinci Code atau justru karena keputusan Idol itu sendiri, 
seperti Aa Gym. Entah bagaimana penjelasan persisnya, tetapi banyak orang yang 
memang masih membutuhkan figur “Idol” yang lebih banyak tampil dalam style 
“Ayah” yang bisa menjadi panutan. Figur ini bisa diambil dari masa lalu, dari 
dunia-di-luar-sana ataupun figur-figur yang memang masih hidup di jaman ini.
   
  Figur-figur ini dihadirkan untuk membuat para peng-idola-nya memiliki sebuah 
logos atau semacam “wakil Tuhan” di dunia, sesuatu yang bisa dipanutnya. Tetapi 
tragedi juga selalu terjadi, tak selalu panutan ini memang bisa “dituhankan” 
atau “diidolakan sedemikian rupa”. Justru ketika seseorang mulai merasa mapan 
dalam moralitas kawanan yang mengidolakan sosok tertentu, maka orang akan 
cenderung menolak hadirnya kemajemukan. Dan jangan kira ini hanya terjadi pada 
mereka yang “bertuhan”, bagi mereka yang “tak bertuhan” pun juga muncul 
Idol-idol yang meski tak berbentuk figur tuhan, tetapi sama-sama diletakkan 
dalam azas “kepercayaan”. Ilmu pengetahuan pun bisa menjadi idol atau berhala 
ketika orang-orang memperlakukannya sama dengan sosok-sosok idol dalam agama. 
Di milis Psikologi Transformatif, saat ini saya juga bertemu dengan orang 
(kesekian) yang memberhalakan “ilmu psikologi”-nya hingga memaksa orang –yang 
mencoba mempertanyakannya logika sebuah interpretasi psikologis
 yang dilakukannya—untuk  tak perlu mempertanyakan logika penjelasannya tetapi 
harus mempercayainya lebih dulu jika ingin memahaminya. Inilah sebuah ilmu yang 
dibawa pada tataran kepercayaan.
   
  Secara umum berhala atau idol dalam konteks di atas, berkaitan erat dengan 
apa yang disebut “kepercayaan”. Entah itu “kepercayaan” pada Aa Gym, pada ilmu 
pengetahuan, pada tidak adanya Tuhan, atau apa saja yang diletakkan sebagai 
kepercayaan. Kenapa poligami Aa Gym lebih jadi persoalan daripada 
perselingkuhan Yahya Zaini? Karena Aa Gym lebih punya “kepercayaan” dari 
masyarakat, sehingga ketika apa yang dipercayai tak sesuai, maka itu menjadi 
masalah besar. Sedangkan Yahya Zaini (seperti anggota DPRD lain, apalagi yang 
menyandang label Golkar) memang pada dasarnya tidak sudah tidak memiliki 
kepercayaan dari masyarakat. Jadi make sense ketika “seolah tak ada yang salah” 
dari Yahya Zaini jika dibandingkan Aa Gym, jadi ya memang tak salah jika 
seseorang yang memang termasuk “spesies yang tak bisa dipercaya” lantas 
melakukan sesuatu yang “sulit dipercaya” atau menyalahgunakan kepercayaan.
   
  Lalu, bagaimana sebuah kepercayaan bisa muncul dan eksis? Kepercayaan 
ternyata membutuhkan ‘sesuatu’ yaitu kebutuhan untuk percaya itu sendiri. 
Kebutuhan inilah yang memberi elemen-penstabilan, memberi rasa bersandar pada 
seseorang. Lalu bagaimana kepercayaan bisa mengakar kuat dalam diri seseorang? 
Itu karena ada investasi psikologis dalam diri seseorang atas apa yang ia 
percayai. Inilah juga yang menentukan bagaimana orang lantas bisa begitu 
fanatik pada apa yang dipercayai. Jadi, kepercayaan secara psikologis terkait 
dengan intensitas-kebutuhan untuk percaya.
   
  Pekat-cairnya intensitas kebutuhan untuk percaya mencerminkan kualitas 
Will-to-Power atau kehendak-untuk-berkekuatan (kehendak-untuk-menjadi-kuat). 
Semakin kualitas Will-to-Power seseorang lemah atau cacat, semakin besar pula 
kebutuhannya untuk percaya. Kepercayaan melingkupi semua segi kehidupan: dalam 
agama, ilmu pengetahuan, filsafat, patriotisme, bahkan ateisme!. Apa yang 
penting bukan “isi kepercayaan” atau benar-salahnya sebuah isi kepercayaan, 
karena itu semua bersifat eksternal, bisa digonta-ganti. Orang fanatik bisa 
ditemukan dalam kaitan dengan apa saja, entah di kalangan agama atau di 
kalangan ateis, entah di kalangan feminis atau para pelaku poligami, entah di 
kalangan ilmuwan atau pemeluk kepercayaan UFO.
   
  Permasalahannya di sini bukan “isi kepercayaan” tapi pada “si pemeluk 
kepercayaan” itu sendiri”. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat ia butuh 
untuk percaya secara fanatik mati-matian. Bila ada individu yang memiliki 
kebutuhan untuk percaya begitu besar, maka “isi kepercayaan” yang akan dia 
peluk bisa apa saja, tergantung isi apa yang pertama hinggap di kepalanya dan 
dianggap pas olehnya.  
   
  “Isi kepercayaan” ini bisa berbentuk apa saja. Bisa percaya pada Tuhan 
(Teisme), atau percaya tidak adanya Tuhan (Ateisme), atau percaya pada tidak 
adanya kepercayaan akan Tuhan (Anti-teisme). Bisa juga percaya pada ustad, 
ramalan bintang, percaya ilmu pengetahuan itu netral, percaya menikah mesti 
seagama dan berbagai kepercayaan lain. Tetapi sekali lagi, letak penjelasannya 
bukan pada “isi kepercayaan” melainkan investasi sesuatu dalam diri individu 
tersebut agar dirinya memiliki tempat bersandar.
   
  Jika para pengkhotbah dalam agama masih dibutuhkan, itu juga karena ada 
orang-orang yang masih memiliki kebutuhan untuk percaya. Jika ada orang-orang 
yang dulunya dipermasalahkan sebagai pecandu narkoba, preman, dukun atau 
bintang film panas; lalu sekarang kita mengubahnya menjadi ‘pewarta janji 
surgawi’, itu juga karena kepercayaan. Jika ada guru besar psikologi yang 
ngomong apa saja pasti dipercaya, itu juga bukan karena omongannya pasti benar, 
karena ada kepercayaan bahwa seolah yang menyandang gelar guru besar itu pasti 
benar. Jika ada alat-alat psikotes yang validitasnya jelas meragukan tetapi 
tetap digunakan menentukan nasib orang hingga sekarang, itu juga karena 
kepercayaan.
   
  Semua itu adalah saksi akan adanya kebutuhan sebuah pegangan, kebutuhan akan 
sandaran. Itu juga merupakan saksi adanya orang-orang lemah, dekaden yang 
karena begitu lemah mereka tidak meng-kreasi tapi meng-konservasi agama-agama, 
ilmu pengetahuan, dan apapun bentuk keyakinan yang bisa dipercayainya. 
Orang-orang ini adalah orang-orang yang pesimis dan diliputi ketakutan serta 
kekecewaan. Orang-orang ini tak punya daya kehidupan untuk berhadapan dengan 
ketakpastian hidupnya, melainkan menyamarkan dirinya dengan selubung sesuatu 
yang dipercayai (kepercayaan) untuk menampilkan kewibawaan diri yang sejatinya 
loyo. Orang-orang ini tak berkata “Ya” pada ketakpastian hidupnya melainkan 
memilih memusuhi ketakpastian itu dengan “menjinakkannya” di balik kerangkeng 
kepercayaan. 
   
  Dan permusuhan terhadap kehidupan itu menjadi semakin menjadi ketika 
kerangkeng-kerangkeng itu ternyata tak mampu meringkus ketakpastian dalam 
kehidupan. Ketika kerangkeng itu tak bisa merubah hidup ini menjadi “biasa” dan 
menjadi “kebiasaan” tetapi selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup itu 
meloloskan diri untuk menjadi “luar biasa”. Lalu, muncullah parade kekecewaan 
karena seolah hidup ini mengkhianati mereka yang mencintainya. Inilah gambaran 
orang yang tak bisa melihat bahwa keindahan hidup justru terletak pada setiap 
kemungkinan yang terselip di sayap-sayap ketakpastian yang berkepak membawa 
hidup melampaui hidup itu sendiri. Kemungkinan yang membuat 
ketakpastian-hidup-yang-menggetarkan-manusia memiliki keindahan setara dengan 
keindahan mawar di dinginnya pagi, yang gemetar menanggung tetes embun di 
atasnya. Keindahan yang ada pada mereka yang mencintai kehidupan bukan karena 
terbiasa hidup, melainkan karena terbiasa mencintai.
   
   
  INSPIRED READINGS
  Friedrich Nietzche; (2001); Zarathustra; saduran HB Jassin, Ari Wijaya, 
Hartono Hadikusumo; Yogyakarta: Bentang.
   
  St Sunardi; (2005) Nietzche, Yogyakarta: LKIS.
   
  Setyo Wibowo; [2004]; Gaya Filsafat Nietzche; Yogyakarta: Galangpress.
   
   
  © Audifax – 17 Desember 2006
   
  NB: Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif, Forum Pembaca 
Kompas, BeCeKa, Mediacare, Vincent Liong, R-Mania, Pasar Buku, Alumni St. 
Louis, Club Tarot, Ruang Baca dan Forum Studi Kebudayaan. Mungkin akan ada 
rekan-rekan dari milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke 
sejumlah milis lain. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi 
diskusi di milis Psikologi Transformatif. MELALUI ESEI INI PULA SAYA MENGUNDANG 
SIAPAPUN YANG TERTARIK UNTUK BERDISKUSI DENGAN SAYA UNTUK BERGABUNG DI MILIS 
PSIKOLOGI TRANSFORMATIF (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)
   
   
  Mailing List Psikologi Transformatif
  Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang berminat 
mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk 
mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini yang tekstual 
menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari kalangan 
disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam mailing list ini. 
Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium psikologi 
transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan gagasan 
mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah 
terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari simposium 
Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul 
Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang aktif dalam 
milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Vincent Liong, Mang Ucup, Prof 
Soehartono Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia “Lia” Ramananda, Himawijaya, Rudi 
Murtomo, Felix
 Lengkong, Kartono Muhammad, Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, Jo 
Rumeser, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar 
Holid, Elisa Koorag, Kidyoti, Priatna Ahmad,  J. Sumardianta, Jusuf Sutanto, 
Stephanie Iriana, Yunis Kartika.
   
  Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi Transformatif, klik:
   
  www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke