Kolom IBRAHIM ISA Senin, 18 Desember 2006. MENGENANG HARDOYO Dan Fikirannya Senja hari ini, kuterima berita duka lewat tilpun dari Suranto (adik ipar Hardoyo), bahwa HARDOYO sore hari ini tanggal 18 Desember, jam 17.45 WIB telah meninggal dunia dengan tenang di Jakarta. Segera kunyatakan kepada Suranto:
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJIUN Mbak Yuyud, Harni, Suranto dan seluruh keluarga yang ditinggalkan Hardoyo terimalah rasa sedih kami sekeluarga serta pernyataan belasungkawa kami sedalam-dalamnya atas kepergian kawan tercinta Hardoyo. Semoga musibah ini dihadapi dengan tabah * * * Kawanku Hardoyo, telah lama kukenal sebagai seorang pejuang yang konsisten demi demokrasi dan keadilan bagi rakyat, bangsa dan tanah air Indonesia. Dalam keadaan sulit yang bagaimanapun kepeduliannya terhadap nasib bangsa dan negeri tak pernah luput. Hanyalah keadaan kesehatannya, terutama setelah diseramg stroke beberapa tahun yang lalu, yang menghambat keaktifan Hardoyo dalam kegiatan memperjuangkan cita-citanya. Aku ingat pertemuan bersama Hardoyo, beberapa tahun yang lalu di Taman Amir Hamzah, Matraman, di rumah Amin Aryoso SH, mantan pimpinan fraksi (kalau tidak salah) PDI-P di DPR ketika itu. Hadir juga antara lain, Jusuf Isak, dan banyak teman-teman lainnya. Kuketahui kemudian bahwa ide untuk mengadakan pertemuan itu datang dari Hardoyo. Kami membicarakan situasi Indonesia ketika itu. Bagaimana usaha bangsa ini bisa memulihkan persatuan nasional dan bisa kiprah maju menyongsong hari depan. Umumnya kami menekankan betapa pentingnya usaha meneruskan pembangunan nasion, 'nation building', termasuk yang terpenting yaitu 'character building'. Bahwa landasan, atau fikiran pemersatu dalam nation-building, antara lain yang fundamental adalah ajaran-ajaran Bung Karno dalam 'nation building'. Yang terpenting dari ide-ide Bung Karno itu ialah yang dituangkan dalam Lahirnya PANCASILA, sebagai satu-satunya prakarsa yang punya syarat historis, untuk bisa menggalakkan kembali usaha meneruskan 'nation building'. * * * Selanjutnya, kita ingat kembali, betapa kerasnya usaha Hardoyo dan kawan-kawan untuk membangun media informasi yang benar dan obyektif mengenai Indonesia, melalui media internet WAHANA, yang sampai sekarang masih terus dengan kegiatannya. * * * Kiranya salah satu cara yang baik dalam mengenangkan HARDOYO, dan merenungkan kembali ide-idenya yang dituangkannya melalui banyak tulisan dan wawancara, ialah dengan menyiarkan kembali sebagian dari fikirannya mengenai peristiwa-peristiwa dan masalah penting di Indonesia, antaranya mengenai penialaian terhadap G30S dan usaha Rekonsiliasi Nasional. Adalah dalam rangka ini disiarkan kembali di bawah ini bagian penting dari wawancara HARDOYO mengenai G30S dan mengenai usaha Rekonsiliasi Nasional, sbb: TULISAN DAN WAWANCARA HARDOYO, MANTAN KETUA UMUM CGMI PERIODE 1960-1963. <ELSAM 2002> Berikut penuturan Hardoyo seputar peristiwa G30S dan soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang ditulis dalam dua bagian. * * * MISTERI 30 SEPTEMBER PERLU DIKUAK Peristiwa G30S sebuah misteri, bagi saya. Tiba-tiba terjadi penangkapan masal dan tuduhan-tuduhan tanpa sumber hukum yang jelas, tanpa pembuktian, tanpa apapun. Itulah yang terjadi. Jadi memahami peristiwa G30S itu harus dibagi dua. Pertama, penculikan para jenderal. Itu harus dibuka secara tuntas siapa yang terlibat. Andaikata ada beberapa orang PKI yang terlibat juga harus dibuka. Kedua, peristiwa setelah 1 Oktober, saat terjadi penangkapan dan pembunuhan massal dan pengucilan secara turun-temurun. Itu kan kejahatan kemanusiaan. Itu yang harus dibongkar, diselesaikan. Kalau bisa melalui KKR ini. Mungkin kita sekarang agak terbantu dengan adanya dokumen CIA yang menghebohkan itu. Saya cenderung sependapat dengan Bung Karno bahwa G30S terjadi karena tiga sebab. Pertama, keblinger-nya pimpinan PKI. Kedua, adanya pimpinan tentara yang tidak bener. Ketiga, kelihaian CIA. Penjelasan ini ada di Nawaksara. Memang ada oknum-oknum PKI yang terlibat. Tapi partai secara institusional tidak terlibat. Banyak orang dari CC PKI tidak tahu menahu kejadian itu. Soal kekerasan kasus tanah di Jawa Timur oleh PKI sebelum 1 Oktober adalah masalah lama. Masalah UU Pokok Agraria dan Bagi Hasil. Di sana BTI meminta agar itu dilaksanakan. Maka lahirlah aksi sepihak untuk melaksanakan UU. Terjadilah banyak ekses di lapangan. Jadi itu sesuatu hal yang terjadi akibat sesuatu. Ini mesti diteliti lebih jauh. Kalau Anda mengambil contoh itu, kini syarikat sebuah badan di bawah NU telah membuat pernyataan maaf kepada para korban PKI. Malah seorang sejarawan, Candra, menulis dalam Kongres Sejarah menyatakan bahwa aksi tanah sebagai puncak radikalisme. Candra memprediksi, jika dari pihak PKI tidak berlebihan, maka tidak akan terjadi seperti itu. Lain lagi soal penculikan para jenderal. Ini pun, bagi saya, suatu misteri. Ini harus dibuka. Siapa yang menculik? Kan antara tentara dan tentara. Bagaimana itu? Saya tidak bisa mengatakan bagaimana pandangan mayoritas kami mengenai peristiwa-peristiwa itu. Dulu banyak orang dalam tahanan merasa bahwa PKI kalau mau melewati pemilu pasti menang. Pada tahun 1965 PKI kan sangat kuat. Jadi kalau melalui Pemilu demokrasi parlementer, pasti menang. Ngapain membunuhi para jenderal? Di sinilah tidak masuk akalnya PKI kalau mengerjakan G30S. Berarti ada orang lain yang ngerjain. Kalau toh ada satu dua orang PKI kejebak, bisa saja. Tapi kok bodoh banget. Ini harus dibuka. Ini soal pembuktian dan sejarah. Mungkin untuk membuktikan secara hukum tidak mudah. Karena telah terjadi sesuatu hal yang terputus-putus pada 1965. Bandrio menduga ini pekerjaan Soeharto. Tapi kan tidak mudah untuk membuktikan itu. Tapi secara historis-sosiologis untuk mengatakan Soeharto tidak terlibat, itu juga sulit. Mengapa? Dialah yang bertanggungjawab atas terbunuhnya jutaan manusia tanpa proses itu. Ini yang menjadi bukti. Kemudian dihilangkannya saksi-saksi kunci. Misalnya, Aidit dibunuh. Semuanya habis kan? Mengapa tidak diadili? Kalau memang betul PKI, diadili saja kan? Makanya, saat Ben Anderson mampir ke rumah sini dia menyatakan, peristiwa besar yang terjadi di Indonesia selalu oleh karena dua hal. Pertama, karena operasi intelijen. Kedua, karena disinformasi. Aidit bisa saja terjebak. Tapi faktanya pimpinan lain tidak tahu menahu. Hanya Aidit dan Biro Khususnya yang tahu. Sedangkan Biro Khusus itu dalam konstitusi PKI tidak dikenal. Ini badan ilegal. Setelah di dalam tahanan kita baru tahu lho itu toh yang namanya Syam. Wajahnya saja kita tidak pernah tahu. Sehingga, saat mereka mengumumkan Dewan Revolusi dan mendemisionerkan kabinet pada 1 Oktober 1965 semua pimpinan dan kader partai dari atas sampai ke bawah terperangah, terkejut, dan nyaris menjadi limbung. Dibunuhnya Aidit, ya, untuk menghilangkan saksi. Kalau Aidit sampai berbicara di pengadilan, akan terbuka semua. Saat peristiwa itu pun sebenarnya ada dua orang saksi kunci lain yang hilang. Pertama Lettu Dul Arif dan Letnan Jahuro kan hilang. Padahal mereka saksi kunci juga. Dua orang itulah yang paling tahu kenapa Cakrabirawa sempat dikerahkan. Dia hilang sampai sekarang. Mengenai kesaksian ALatief yang dekat dengan Soeharto harus di-klir-kan. Sekarang susah Soeharto sendiri, sudah sulit diadili. MEMAAFKAN TAPI TAK MELUPAKAN Bagaimana pandangan Anda terhadap rencana pembentukan KKR? Semula kita tahu sendiri, bagaimana ragu-ragunya Gus Dur mencari format KKR yang tepat untuk Indonesia. Kita tidak bisa begitu saja mengadopsi Nelson Mandela. Dia didukung kuat sekali oleh massa. Kedua, soal budaya. Budaya Indonesia itu susah. Ide dasarnya 'kan bagus? Ya, memang bagus. Karena itu saya setuju perjuangan itu harus diteruskan. Saya tahu teman-teman ELSAM setengah mati bekerja untuk itu. Tapi realitas yang ada, untuk menghapuskan peraturan-peraturan yang diskriminatif sampai sekarang belum terjadi. KTP saya hanya berlaku tiga tahun, mestinya seumur hidup. Susah. Mereka bertindak masih sama persis dengan Orde Baru. Apa kendala KKR untuk menyelesaikan kasus G30S? Kalau UU ini berhasil disahkan, tentu akan baik. Dan, ini merupakan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Tapi, menurut saya, ini butuh perjuangan yang berat --terutama para politisi di DPR itu. Apa mereka punya kepedulian soal ini? Kan jauh sekali. Kenapa? Bagaimana ya, di sini sepertinya untuk mengembangkan pikiran ke arah demokratisasi dan HAM berat sekali. Menurut Anda, apa kendala terbesar penerapan KKR untuk kasus G30S? Kendala terbesarnya adalah kekuatan riil masyarakat sekarang. Sampai sekarang kekuatan Orba masih berkuasa. Kalau masyarakat memandang KKR itu terbaik. Jadi kekuatan Orba akan menghambat penerapan KKR. Pemimpin yang berani ya Gus Dur itu. Kita sempat berharap banyak saat itu. Tapi sekarang Mega hanya diam-diam saja. Apa arti sikap itu, ya kami tidak tahu. Meski begitu saya tetap optimis. Meski saya menyadari itu perlu jalan yang panjang dan harus sabar. Di komunitas korban Orba, bagaimana persepsi soal KKR? Mereka tidak mikir soal KKR. Menurut mereka di luar jangkauannya. Apa benar di kalangan elit mau KKR? Juga di kalangan pemimpin spiritual dan pendidikan. Apa ada komitmen itu? Ini yang menyebabkan mereka tidak pernah berpikir jauh soal KKR. Mereka menganggap terlalu jauh soal ini. Di Korsel semua orang ngomong. Di Korea juga semua politisi dan intelektual bicara juga. Penyelesaian seperti apa yang mereka harapkan? Ini jawabannya sulit. Gampangannya mereka hanya minta agar tidak lagi ada diskriminasi. Ini yang pokok. Saat kami dibebaskan kami harus menandatangani tidak akan menuntut ganti rugi atas perlakuan pemerintah selama dipenjara. Ini kan aturan tahanan politik terbaik di dunia. Lalu, bagaimana sebaiknya KKR diterapkan? Menurut saya, perlu ada proses dulu sebelum menerapkan soal itu. Pertama harus ada pencerahan. Bentuknya, terbitkan banyak buku yang lebih obyektif soal G30S. Kedua, ada proses hilangkan trauma sejarah itu. Sekarang ini masalah trauma besar sekali. Di Jawa Timur ada 460.000 eks Tapol/Napol. Tapi saat nasib mereka akan diperjuangkan, yang mau hanya 10.000 orang. Mereka takut. Jangan-jangan Orba menang lagi. Ada juga yang menyatakan cucu saya sudah tenang dan tidak mau mengingat-ingat masa lalu. Jerman, akibat Nazi mengalami hal yang sama. Begitu juga dengan AS saat di Vietnam. Tapi semuanya diselesaikan dulu. Setelah itu harus ada proses saling maaf-memaafkan. Meski begitu proses keadilan harus juga ditegakkan. Kesimpulannya? Setelah semua tahapan itu dilalui, baru kita bicara soal KKR. KKR memang cara yang terbaik. Tapi intinya kami memang ingin memaafkan, tapi kami tidak akan melupakan. Ada kemungkinan meminta ganti rugi? Ada. Tapi tidak harus dalam bentuk materi. Bisa saja dalam bentuk fasilitas sekolah. Apa sebenarnya yang diminta para korban Orba? Sebenarnya kami hanya meminta pemerintah mengeluarkan deklarasi untuk memulihkan semua nama baik korban Orba. Saya kira setelah itu terjadi kita bisa membangun kembali Indonesia yang baru. Tapi yang terjadi sekarang, perjuangan kami masih dilempar-lempar oleh pemerintah. DPR juga melakukan hal yang sama. Di Mendagri dan Menkopolkam juga tidak ada sambutan. Bambang Yudhoyono memang pernah menjanjikan ini, tapi sampai sekarang tidak jelas perkembangannya. Saat zamannya Gus Dur kami sudah dialog. Tapi zamannya Mega belum. Ada suara-suara Mbak Mega ingin menyelesaikannya setelah 2004. ***