Re: [mediacare] cerita dari kawan SINDO di Bandung (lagi lagi PHK)
Sindo memang rasa Jawa Pos. saya jadi bertanya-tanya, jangan-jangan Sindo Jateng, Sindo Jatim juga seperti itu ya keloyalan yang tidak setimpal... mengerikan kalau kondisinya seperti itu, wartawan tidak merasa aman dalam bekerja dan selalu digantung nasibnya oleh pemilik modal besar. sementara kita hanya bisa bertanta-tanya tanpa tahu jawaban sebenarnya... menyedihkan... tabik, ali --- [EMAIL PROTECTED] wrote: > Memang masih banyak pelaku industri yang belum > menerapkan ketentuan ketenaga-kerjaan di instansinya > sesuai arahan dari Depnaker, misalnya perihal : > > 1. Karyawan harus memiliki kontrak kerja (kkb ) > (kasus mas Teguh: secara hukum tdk ada bukti > otentik > dokumen yg menerangkan ke-karyawanan-nya) > 2. Karyawan yang lebih dari 10 orang harus dijamin > asuransi > minimal Jamsostek. > 3. Melaporkan komposisi karyawannya setiap periode > (bulanan, triwulanan, dlsb,.) > > apakah karena alasan kapitalis : Efisiensi? > atau karena hukum rimba : yang kuat akan menang2an? > atau karena biaya2 lain sudah terlalu berat? > (buat preman resmi + preman illegal + preman OTB?) > sehingga untuk biaya karyawan, cari yang > 'entheng-enthengan' > > > wallahualam bissowab. > > > Salam, > > > > > "sengat_cantang" <[EMAIL PROTECTED]> > Sent by: mediacare@yahoogroups.com > 01/27/2007 05:14 PM > Please respond to > mediacare@yahoogroups.com > > > To > mediacare@yahoogroups.com > cc > > Subject > [mediacare] cerita dari kawan SINDO di Bandung (lagi > lagi PHK) > > > > > > > Cerita di bawah ini adalah tulisan dari sdr. Teguh > R. Dia adalah salah > satu dari empat orang wartawan Sindo yang dipecat > pada awal tahun ini. > > Testimoni Teguh Tentang Sindo > > Menjadi wartawan atau terjun didunia media bagi saya > adalah sebuah > pilihan bukan datang karena kebetulan semata. Ketika > saya terjun > didunia media (jurnalisme) saya semakin tahu dan > memantapkan diri > untuk semakin serius menggelutinya, meski banyak > juga keadaan yang > mengecewakan namun itu adalah resiko dari sebuah > pilihan. > > Aku menulis ini mungkin tidak objektif karena > didasari oleh rasa > kecewa dan amarah. Tapi saya kira perasaan yang sama > akan dialami oleh > kawan-kawan jurnalis yang dalam kesehariannya selalu > berjuang untuk > keadilan melalui tulisan-tulisannya namun keadilan > itu sepertinya > malahan jauh dari kita sendiri. > > Seberapa sering kita menulis tentang kesejahteraan > kaum buruh, namun > jurnalis (karena sebenarnya adalah buruh, bukan > profesional seperti > anggapan dari sebagian kita) sendiri lupa kita > perjuangkan nasibnya. > Maaf mungkin lupa, atau memang tidak berdaya. Kita > memang sulit > berjuang kalau hanya kita saja yang berbuat tanpa > dukungan dari pihak > lain. > > Perjuangan kaum buruh, guru honorer atau mereka yang > ter-PHK sebagian > besar menggema dan berhasil karena didukung oleh > pemberitaan kita. > Pertanyaannya, perjuangan kita siapa yang akan > mendukung?. Jurnalis > adalah buruh juga, namun kita sepertinya malu > mengakui itu. Padahal > posisinya dalam sebuah perusahaan sama riskanya. > Ancaman PHK setiap > detik selalu mengintai tanpa disadari. > > Saya bekerja di Koran Sindo, Seputar Indonesia edisi > Jawa Barat. > Bekerja disini karena saya merasa setiap harinya > sejak tanggal 29 > Agustus 2005 sebagai seorang jurnalis membuat berita > untuk kemudian > berita yang saya buat nongol di koran milik grup > Media Nusantara Citra > (MNC). > > MNC ini sedang menggurita dengan tentakelnya yang > jumlahnya semakin > banyak. Kalau gurita tentakelnya tetap, tetapi yang > satu ini terus > tumbuh jumlahnya. Maaf sekali lagi saya menulis ini > memang tidak > objektif, sulit rasanya untukberlaku objektif > terhadap sesuatu yang > tidak kita sukai, he...he... > > (( Oh ya, sebelum bekerja di Sindo, saya bekerja > sebagai reporter > Radio Mara FM, Bandung sejak tahun 2002 (waktu itu > saya masih kuliah > di FIKOM-UNPAD, angkatan 1996) dan pindah ke Sindo > karena ada tawaran > rekan saya yang sebelumnya juga reporter Mara, Army > Dian. Karena saya > percaya dengan teman saya ini maka saya memutuskan > untuk bergabung > dengan Sindo Agustus 2005. Saya merasa empat tahun > sebagai reporter > radio sudah cukup sehingga saya pindah ke media > cetak. Saat ke Sindo > usia saya 30 th, sudah beristri dan berputra. Pindah > ke media baru ini > sempat ditentang oleh nyonya rumah karena ia dan > saya juga yakin akan > banyak butuh pengorbanan baik materi maupun imateri, > sebagai modal > awal kerja. Dan i
Re: [mediacare] cerita dari kawan SINDO di Bandung (lagi lagi PHK)
Say cuma pengin menambahi cerita SDr Teguh tentang Sindo. Karena say punya sedikit pengalaman yang hampir sama.Terutama tentang kegegabhn Sindo dalm hal administrasi perekrutan tenaga kerja. Pada tahun 2005-an, saya masih bekerja di Suar Merdeka Group POsisi saya sebagi Genral Manger Tabloid tren, ank cabng SM Group di Semarang. Beberapa orang di kantor pun tahu, waktu itu sikap saya sudah gerah dan ingin keluar, tapi keluar pun tidak mudah karena bean utang yang masih ditanggung kepad perusahaan. Tiba-tiba ada seorang teman manajer di kantor saya yang menelepon, bahwa Sindo butuh tenaga madya (senior) dari beberapa media besar di daerah. Saya diorekomendasikan oleh teman tadi untuk dites. Kemudian, ada seorang staf marketing RCTI di Semarang minta ketemu dan merekomendasi saya untuk dites langsung di Menara Kebun Sirih (Bimantara)berapa hari kemudian.Tidak main-main, saya dihubungi langsung oleh Dofy, sekretaris Stephen K Sulistyo (tangan kann Harry Tanoe)untuk tes. Saya pun datang, karena posisi yang saya perebutkan adalah Kepal Biro.(Bayngin, dari GM mau jadi Kepa Biro, kalo memang niatnya pengin suasana baru, nggak mungkin senekat itu). Wawncara ngak ada setngah jam, Pak Stephen dipangil Pak Hary Tanoe, tapi dia bilang, dari beberapa kndidat, saya termasuk yang paling menjanjikan, karena dinilai tahu jaringan distribusi. Nah, soal pengisan form berap gji yang diminta jika nanti diterima, enteng saj saya menulis Rp 8 juta plus mobil dinas plus asuransi kesehatn keluarga. Say siap ditempatkan di Solo. Logika saya jelas, mereka mau membajak SDM yang telah jadi. Gaji di kantor lama, sekitar Rp 5 jutaan dan mobil masih say pegang. Say tunggu seminggu, hingga 2 minggu. Eh, iklan Sindo edisi Jateng sudah muncul di RCTI. Berarti kru mereka telah siap, dong. Sampi koran itu nongol, pemberitahuan saya diterima atau tidak, tak pernah ada. Membaca daftar gaji dari saudr Teguh di testimoni ini aku jadi tertawa. Berarti kecele dong permintan gaji saya dulu. Mestinya, saya tulis Rp., 2.500.000,- aja supaya mereka mempertimbangkan untuk menerima he he he Handry TM] [EMAIL PROTECTED] --- sengat_cantang <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Cerita di bawah ini adalah tulisan dari sdr. Teguh > R. Dia adalah salah > satu dari empat orang wartawan Sindo yang dipecat > pada awal tahun ini. > > Testimoni Teguh Tentang Sindo > > Menjadi wartawan atau terjun didunia media bagi saya > adalah sebuah > pilihan bukan datang karena kebetulan semata. Ketika > saya terjun > didunia media (jurnalisme) saya semakin tahu dan > memantapkan diri > untuk semakin serius menggelutinya, meski banyak > juga keadaan yang > mengecewakan namun itu adalah resiko dari sebuah > pilihan. > > Aku menulis ini mungkin tidak objektif karena > didasari oleh rasa > kecewa dan amarah. Tapi saya kira perasaan yang sama > akan dialami oleh > kawan-kawan jurnalis yang dalam kesehariannya selalu > berjuang untuk > keadilan melalui tulisan-tulisannya namun keadilan > itu sepertinya > malahan jauh dari kita sendiri. > > Seberapa sering kita menulis tentang kesejahteraan > kaum buruh, namun > jurnalis (karena sebenarnya adalah buruh, bukan > profesional seperti > anggapan dari sebagian kita) sendiri lupa kita > perjuangkan nasibnya. > Maaf mungkin lupa, atau memang tidak berdaya. Kita > memang sulit > berjuang kalau hanya kita saja yang berbuat tanpa > dukungan dari pihak > lain. > > Perjuangan kaum buruh, guru honorer atau mereka yang > ter-PHK sebagian > besar menggema dan berhasil karena didukung oleh > pemberitaan kita. > Pertanyaannya, perjuangan kita siapa yang akan > mendukung?. Jurnalis > adalah buruh juga, namun kita sepertinya malu > mengakui itu. Padahal > posisinya dalam sebuah perusahaan sama riskanya. > Ancaman PHK setiap > detik selalu mengintai tanpa disadari. > > Saya bekerja di Koran Sindo, Seputar Indonesia edisi > Jawa Barat. > Bekerja disini karena saya merasa setiap harinya > sejak tanggal 29 > Agustus 2005 sebagai seorang jurnalis membuat berita > untuk kemudian > berita yang saya buat nongol di koran milik grup > Media Nusantara Citra > (MNC). > > MNC ini sedang menggurita dengan tentakelnya yang > jumlahnya semakin > banyak. Kalau gurita tentakelnya tetap, tetapi yang > satu ini terus > tumbuh jumlahnya. Maaf sekali lagi saya menulis ini > memang tidak > objektif, sulit rasanya untukberlaku objektif > terhadap sesuatu yang > tidak kita sukai, he...he... > > (( Oh ya, sebelum bekerja di Sindo, saya bekerja > sebagai reporter > Radio Mara FM, Bandung sejak tahun 2002 (waktu itu > saya masih kuliah > di FIKOM-UNPAD, angkatan 1996) dan pindah ke Sindo > karena ada tawaran > rekan saya yang sebelumnya juga reporter Mara, Army > Dian. Karena saya > percaya dengan teman saya ini maka saya memutuskan > untuk bergabung > dengan Sindo Agustus 2005. Saya merasa empat tahun > sebagai reporter > radio sudah cukup sehingga saya pindah ke media > cetak. Saat ke Sindo > usia saya 30 th, sudah beristri dan berputra. Pindah > ke medi
[mediacare] cerita dari kawan SINDO di Bandung (lagi lagi PHK)
Cerita di bawah ini adalah tulisan dari sdr. Teguh R. Dia adalah salah satu dari empat orang wartawan Sindo yang dipecat pada awal tahun ini. Testimoni Teguh Tentang Sindo Menjadi wartawan atau terjun didunia media bagi saya adalah sebuah pilihan bukan datang karena kebetulan semata. Ketika saya terjun didunia media (jurnalisme) saya semakin tahu dan memantapkan diri untuk semakin serius menggelutinya, meski banyak juga keadaan yang mengecewakan namun itu adalah resiko dari sebuah pilihan. Aku menulis ini mungkin tidak objektif karena didasari oleh rasa kecewa dan amarah. Tapi saya kira perasaan yang sama akan dialami oleh kawan-kawan jurnalis yang dalam kesehariannya selalu berjuang untuk keadilan melalui tulisan-tulisannya namun keadilan itu sepertinya malahan jauh dari kita sendiri. Seberapa sering kita menulis tentang kesejahteraan kaum buruh, namun jurnalis (karena sebenarnya adalah buruh, bukan profesional seperti anggapan dari sebagian kita) sendiri lupa kita perjuangkan nasibnya. Maaf mungkin lupa, atau memang tidak berdaya. Kita memang sulit berjuang kalau hanya kita saja yang berbuat tanpa dukungan dari pihak lain. Perjuangan kaum buruh, guru honorer atau mereka yang ter-PHK sebagian besar menggema dan berhasil karena didukung oleh pemberitaan kita. Pertanyaannya, perjuangan kita siapa yang akan mendukung?. Jurnalis adalah buruh juga, namun kita sepertinya malu mengakui itu. Padahal posisinya dalam sebuah perusahaan sama riskanya. Ancaman PHK setiap detik selalu mengintai tanpa disadari. Saya bekerja di Koran Sindo, Seputar Indonesia edisi Jawa Barat. Bekerja disini karena saya merasa setiap harinya sejak tanggal 29 Agustus 2005 sebagai seorang jurnalis membuat berita untuk kemudian berita yang saya buat nongol di koran milik grup Media Nusantara Citra (MNC). MNC ini sedang menggurita dengan tentakelnya yang jumlahnya semakin banyak. Kalau gurita tentakelnya tetap, tetapi yang satu ini terus tumbuh jumlahnya. Maaf sekali lagi saya menulis ini memang tidak objektif, sulit rasanya untukberlaku objektif terhadap sesuatu yang tidak kita sukai, he...he... (( Oh ya, sebelum bekerja di Sindo, saya bekerja sebagai reporter Radio Mara FM, Bandung sejak tahun 2002 (waktu itu saya masih kuliah di FIKOM-UNPAD, angkatan 1996) dan pindah ke Sindo karena ada tawaran rekan saya yang sebelumnya juga reporter Mara, Army Dian. Karena saya percaya dengan teman saya ini maka saya memutuskan untuk bergabung dengan Sindo Agustus 2005. Saya merasa empat tahun sebagai reporter radio sudah cukup sehingga saya pindah ke media cetak. Saat ke Sindo usia saya 30 th, sudah beristri dan berputra. Pindah ke media baru ini sempat ditentang oleh nyonya rumah karena ia dan saya juga yakin akan banyak butuh pengorbanan baik materi maupun imateri, sebagai modal awal kerja. Dan itu terbukti karena untuk bekerja di Sindo memang harus punya modal sendiri, kamera sendiri, alat rekam sendiri, note book sendiri, bensin sendiri, namun penghasilannya sama saja dengan saat bekerja di Mara, bedanya lebih capek. Tapi ini adalah sebuah pilihan dan saya konsisten dengan pilihan saya. Tahun 1994-1996, dua tahun saya bekerja sebagai penyiar radio di salah satu radio swasta di Tegal-Jateng. )) Saya aktif menulis hingga akhirnya pada tanggal 1 Januari 2007 (Artinya satu tahun empat bulan saya menjadi wartawan Sindo) saya diwajibkan menghentikan kegiatan menulis saya karena masa uji coba tidak diperpanjang. Pertanyaan saya dan mungkin teman-teman adalah "masa uji coba" yang ternyata masih di sematkan kepada saya yang sudah bekerja satu tahun empat bulan. Mungkin ini masa uji coba terpanjang yang pernah saya alami selama bekerja. Saya juga baru tahu status saya adalah pekerja percobaan, macam kelinci. Dan mungkin karena memang Sindo adalah koran percobaan. Coba-coba melawan koran yang sudah ada terlebih dulu, khususnya grup kompas dan Pikiran Rakyat (eh, maaf jadi buka rahasia negara nih. Maaf juga kalau banyak rahasia negara Sindo yang aku ketahui sebagian akan nongol di testimoni ini) Selama bekerja ini saya tidak pernah mendapatkan kejelasan status. Hitam diatas putihnya tidak pernah ada yang saya tandatangani. Bukti saya bekerja di Sindo adalah adanya nama saya tercantum dalam box kru wtwn Sindo di koran, saya terima gaji dan adanya kartu pers. Tapi saya bangga (saat itu) menjadi bagian dari sebuah media baru yang kehadirannya cukup membakar jenggot media lama yang sudah mapan. Kapan saya bekerja di Sindo? Periode Agustus 2005, saya Teguh Rahardjo (radio Mara), Agus Warsudi ( mantan Tribun Jabar), Ari (Republika) berangkat dari Bandung dengan kereta api pagi-pagi ke Jakarta untuk bertemu dengan pimpinan redaksi Sindo di Gedung Bimantara Jakarta. Disana kami bertemu dengan Eka Permana (mantan Surabaya Post). Kami datang karena dipanggil melalui telepon oleh Army. Ini adalah cara perekrutan yang sampai saat ini terus dilakukan oleh Sindo. Tanpa adanya proses seleksi tertulis. Wartawan mana saja bisa diajak bergabung dan jik