MEMAHAMI MAKNA MAHABBAH
(CINTA)
Mahabbah atau cinta, demikianlah Kaum sufi menyebut
tradisi bercinta mereka.
Adalah Imam al Qusyairi, pengarang Risâlah al
Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak
untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan
umum untuk semua hambaNyamenurut Qusyairidinamakan Rahmat; kemudian jika
irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab).
Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al
Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka
mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya
sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa
seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam
lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun
sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka mereka
menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang
demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka
(baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang
bersifat ilâhiyah.
Kaum Sufi menganggap mahabbah sebagai modal utama
sekaligus mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih
tinggi.
Imam al Ghazâli memposisikan cinta ini sederajat
dengan taubat dalam maqâmât. Beliau berpendapat: bagaimana seorang sufi
bisa merasakan imanensi ataupun fana tanpa didahului oleh rasa cinta, suatu hal
yang mustahil tentunya; bagaimana mungkin qois rela mengakhiri hidupnya demi
seorang Laila tanpa ada cinta antar keduanya?, sungguh skenario itu tak akan
pernah terjadi.
Fakta ini pun diamini oleh sebagian besar para
sarjana muslim; Dr.Faishal badîr aun misalnya, mengatakan bahwa kaum sufi akan
sulit menyelesaikan petualangan spiritualnya tanpa dibekali mahabbah yang
merupakan anugerah Allah semata; jika tangga awal cinta ini bisa dilalui maka
tangga ahwâl selanjutnyapun akan mudah terlewati.
Nah, dalam konteks cinta ilahi ini kaum sufi
memakai dalil-dalil dari Al-Quran dan As- Sunnah. Dua ayat al Quran yang
sering dijadikan landasan ialah ayat ke 31 dari surat ali imran dan ayat ke 54
surat al Maidah.
Kedua ayat ini menempati posisi penting dalam
budaya bercinta seorang sufi; karena secara tersirat atupun tersurat, keduanya
mengisyaratkan bahwa cinta yang terjadi antara Tuhan dan mahluk-Nya adalah
sebuah keniscayaan, pasti terjadi.
Namun bukan berarti cinta itu terjalin begitu saja
melainkan buah hasil dari mujâhadah yang kontinyu dan berkualitas.
Al Wâsithî mengkomentari ayat kedua di atas
terutama pada lafadz "yuhibbuhum wa yuhibbûnahu" bahwa Allah Swt dengan dzat-Nya
akan mencintai mereka (hamba-hambanya-Nya) seperti halnya mereka mencintai
sang Khâliq dengan dzat-Nya yang suci.
Dengan demikian huruf ha yang terdapat di situ
kembali kepada dzat bukan sekedar sifat-sifat, dalam artian secara hakiki cinta
tersebut memang benar adanya.
Berangkat dari sini maka kaum sufi melegitimasikan
budaya cinta mereka serta meniscayakan hal tersebut. Apabila sebuah tradisi itu
terlegalisasi dalam Al-Quran, mengapa tidak mencoba untuk
diterapkan?.
Tradisi ini diperkuat lagi dengan beberapa
Hadits Rosululloh Saw yang terjamin keabsahannya. Salah satu contohnya
hadist Qudsi yang diriwayatkan Anas bin Mâlik;
Dalam matan hadist ini Allah Swt berfirman :
"....Hatta uhibbuhu... "
yang berlanjut dengan sebuah statemen yang lebih
konkret;
"...waman ahbabtuhu kuntu lahu
sama....,"
yang jelas merupakan manifestasi dari cinta Dzat
Abadi ini.
Masih banyak dalil apologik yang melandasi salah
satu tradisi suci kaum sufi, seperti dua hadits riwayat Abu Hurairah dengan rawi
pertama Naîm abd al Mâlik dalam hadist pertama, sedangkan Alî bin Ahmad bin
Abdân sebagai perawi pertama dari hadist kedua.
Nah, dalil dalil di atasbaik Al-Quran maupun
As-Sunahmereka sinergikan sedemikian rupa menjadikalau boleh disebut
"landasan hukum" yang memang absah dan terjamin legalitasnya, ya, tentunya
bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui.
Kemudian mengenai konteks cinta secara garis linier
seorang hamba kepada Khaliqnyamenurut penulissangatlah relatif, tidak bisa
digeneralasikan pengertiannya. Hal demikian disinyalir oleh deveritas pemahaman
tentang cinta itu sendiri.
Al Qusyairi menyebutkan ada banyak definisi tentang
mahabbah;dari sekian pentafsiran tersebutjika kita lihatsangatlah berkaitan
dengan pengalaman (tajribah) pribadi seorang sufi yang mungkin berbeda satu sama
lain.
Abû Yazîd al Basthâmî mendefinisikan Mahabbah
sebagai sikap menganggap sedikit sesuatu yang banyak yang berasal dari diri kita
dan menilai hal sedikit yang bersumber dari kekasih kita sebagai sesuatu yang
besar.
Berbeda dengan al Junaid, guru al Hallâj yang akrab
dengan julukan sayyid al Thâifah mengartikan kata yang bernilai sufistik ini
dengan masuknya sifat-sifat Dzat yang dicintai mengganti apa yang ada di jiwa
sang Pecinta; mendorong seorang pecinta untuk tidak mengingat selain Dzat
tersebut serta melupakan dan mencampakkan secara total sifat-sifat yang dulunya
melekat di dirinya. Namun bagaimanapun persepsi orang, pentafsiran tersebut
tidak boleh keluar dari landasan hukum di atas.
Mengenai kapankah budaya cinta ini mulai
mentradisi; Abd al Rahmân Badawî menyebutkan bahwa Rabiah al Adawiyyah
(beliau terkenal dengan julukannya Syahîdat alIsyq al Ilâhî, hidup pada masa
khalifah Harun al Râsyîd) adalah sufi pertama yang mengumandangkan syiar
bercinta ini.
Berangkat dari siniseperti yang dipaparkan Abd al
Rahmân Badawî , ada sebuah polemik yang menarik; tentang dialektika yang
terjadi antara tiga istilah yang berbeda, namun sering kita salah artikan
yaitu :al Isyq, Mahabbah dan al Khullah.
Dialektika ini terjadi karena ada persamaan
diantara ketiga istilah tersebut, meskipun pada akhirnya kesemuanya tidak bisa
bertemu di satu titik kesepakatan. Mengenai hal ini massignion mengatakan bahwa
Abd al wâhid bin Zaid berpendapat bahwa kalimat isyq lebih diakui dalam
perbincangan mengenai Allah, karena lanjutnya kalimat mahabbah tidak sesuai
dengan Al-Quran dan merupakan warisan yahudi dan kristiani. Namun
bagaimanapun, kata Mahabbah yang dipilih Abân bin Abî Ayyâsy dan diamini
beberapa tokoh lain seperti Rabîah sendirilah yang akhirnya lebih mendominasi
sampai sekarang.
Abd al Rahmân Badawî menegaskan Mahabbah merupakan
satu-satunya lafadz yang tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunnah; Sedangkan
termasuk Isyq sendiri adalah sebuah ibarat tentang cinta yang berlebihan,
tentunya Islam tidak mengajarkan itu apalagi secara legal formal seperti apa
yang Abd Al Wahîd usulkan, bagaiamana mungkin seorang hamba bisa mendapatkan
takaran cinta lebih dari apa yang telah ditakdirkan?.
Mengenai al Khullah, pengarang kitab Jâmi al ushûl
mengatakan asal mula kata ini adalah Khalla al Syai fî al syaii (menyatunya dua
hal yang berbeda); kondisi inilah yang sering diartikan sebagai kondisi gugur
kewajiban, karena kedekatan antara seorang hamba dan Khaliqnya makamenurut
pemahaman sufi tersebutia pun terbebas dari syariat, tak ada perintah dan
larangan apalagi sekedar halal dan haram.
Untuk hal yang satu ini (gugurnya kewajiban, karena
kedekatan antara seorang hamba dan Khaliqnya) jelas berseberangan dengan
koridor agama, karena bagaimanapun Ibrahim as adalah Khâlilullâh namun ia
sendiri tidak begitu saja meninggalkan kewajiban terlebih melanggar halal haram
seperti yang disebutkan.
Terakhir kali, jika Râbiah dalam Syairnya pernah
berkata bahwa ia mencinta Tuhannya dengan dua cinta; cinta hasrat dengan
melupakan segala sesuatu selain-Nya dan cinta karena Dialah Pemilik cinta itu,
agar ia pun bisa melihatNya tanpa ada hijab yang menghalangi.
jika cinta sejati itu benar adanya; cinta abadi
yang tak bertendensikan duniawi, maka inilah cinta sejati.
Kawan... Mudah-mudahan kita termasuk golongan
orang-orang yang Cinta kepada Sang Kholiq dan utusan-Nya.... Amien Allohumma Ya
Robbal a'lamien....
Wallohu a'lam bish-shawab,-
========================
by arland
from : El Faqir M.Nashih Nasrullah "Maka
Inilah Cinta Sejati"
Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu. YAHOO! GROUPS LINKS
|