Neoliberalisme

Penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara mencolok dimotori oleh 
Inggris melalui pelaksanaan privatisasi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 
mereka. Penyebarluasan agenda-agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru 
dunia, menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa 
Negara Amerika Latin pada penghujung 1980-an. Sebagaimana dikemukakan Stiglitz, 
dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara 
Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bank Dunia, IMF 
sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket 
kebijakan Konsensus Washington.

Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar 
program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) 
pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam 
berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) 
pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi 
BUMN.

[sunting] di Indonesia

Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal 
telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan 
deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan 
momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.

Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi 
mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk 
mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib 
melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan 
Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan 
subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya 
perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan 
privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah 
dan Aneka Tambang.

Konsensus Washington

Ketika negara-negara Amerika Latin— terutama tiga negara paling berpengaruh, 
yaitu Meksiko, Brasil, dan Argentina— bangkrut pada pertengahan 1980-an dan 
paruh pertama 1990-an, IMF, Bank Dunia, dan para ekonom Amerika Serikat yang 
bermarkas di Washington lalu meracik resep obat generik untuk mengatasinya.

Oleh ekonom John Williamson, resep generik ini diberi nama Konsensus 
Washington, yang praktis dihasilkan oleh para ekonom beraliran liberal dan 
konservatif. Semula, resep ini didesain untuk menangani Amerika Latin, tetapi 
kemudian terpikir, negara-negara berkembang lainnya pun bisa mengaplikasikannya 
(Gerber 2002:379).

Konsensus ini terdiri atas 10 elemen, yang bisa dirangkum menjadi tiga pilar, 
yakni (1) disiplin anggaran pemerintah (fiscal austerity atau fiscal 
disipline), (2) liberalisasi pasar (market liberalization), dan (3) privatisasi 
BUMN (Stiglitz 2002:53).

Secara singkat, isi Konsensus Washington—yang sering juga disebut sebagai 
pendekatan Neoliberal—adalah (Williamson 1994:26-7; Burki dan Perry 1998:7, 
serta Lynn 2003:63-4).

Pertama, disiplin fiskal. Pemerintah diminta menjaga agar anggarannya mengalami 
surplus. Kalaupun terpaksa defisit, tidak boleh melampaui dua persen terhadap 
produk domestik bruto (PDB).

Kedua, memberikan prioritas kepada belanja sektor publik, terutama di sektor 
pendidikan dan kesehatan, sebagai upaya memperbaiki distribusi pendapatan.

Ketiga, memperluas basis pemungutan pajak agar dapat dibangun struktur 
penerimaan anggaran yang sehat.

Keempat, liberalisasi finansial. Suku bunga harus dijaga positif secara riil 
(lebih tinggi daripada laju inflasi) dan hindari kebijakan suku bunga yang 
mengistimewakan debitor tertentu (preferential interest rates for favored 
borrowers).

Kelima, kurs mata uang harus diusahakan kompetitif (tidak terlalu kuat), tetapi 
kredibel (tidak terlalu lemah).

Keenam, mendorong liberalisasi perdagangan melalui upaya menghapus restriksi 
kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tarif, kuota, dan 
larangan-larangan lainnya).

Ketujuh, menerapkan kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi 
domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi asing 
langsung.

Kedelapan, untuk mendorong kinerja badan usaha milik negara (BUMN), seyogianya 
dilakukan privatisasi (penjualan saham ke sektor privat).

Kesembilan, pasar harus didorong agar lebih kompetitif melalui serangkaian 
kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku 
ekonomi baru.

Kesepuluh, harus ada perlindungan terhadap property rights, baik di sektor 
formal maupun sektor informal.

Keunikan tiap negara

Sepintas, semua butir konsensus itu tampak menjanjikan dan sebagian besar 
memenuhi kebutuhan "diet" bagi negara- negara berkembang secara umum. Namun 
masalahnya, tetap saja negara-negara yang terkena krisis mempunyai keunikan 
(uniqueness) masing-masing, yang harus diakomodasi.

Program "diet" Konsensus Washington ini dulu didesain untuk mengobati Amerika 
Latin, sebuah kawasan yang kental pergolakan politik sering gonta-ganti 
pemerintahan sehingga disebut "republik pisang" (banana republic). 
Konsekuensinya timbul ketidakpastian (uncertainty) amat besar. Akibatnya, 
terjadilah hyperinflation, yakni inflasi besar yang bahkan mencapai 50 persen 
per bulan atau ekuivalen 500- 600 persen per tahun.

Kondisi ini pasti berbeda dengan Indonesia, yang meski menghadapi uncertainty 
dan distrust (ketidakpercayaan), tetapi inflasi tertinggi saat krisis tahun 
1998, "hanya" 78 persen. Kita memang pernah mengalami hyperinflation 650 
persen, tetapi itu terjadi pada tahun 1965. Jadi, karakteristik krisis Amerika 
Latin 1980-an tentu berbeda dengan Indonesia 1998. Obatnya tentunya harus 
dimofidifikasi.

Kelemahan terbesar program IMF di Indonesia—sebagaimana sering didiskusikan, 
terutama oleh Stigltz (2002)—adalah saat mereka memaksakan penutupan 16 bank 
pada 1 November 1997, tanpa lebih dulu menyiapkan jaring pengaman finansial 
(financial safety net).

Akibatnya, terjadi kekalutan luar biasa, nasabah menarik dananya dan bank-bank 
kolaps. Jaring pengaman berupa skema penjaminan dana nasabah 100 persen 
(blanket guarantee) baru dilakukan 27 Januari 1998 ketika segala sesuatu sudah 
terlambat. Sektor finansial nasional telanjur ambruk dan memerlukan 
rekapitalisasi lebih dari Rp 600 triliun. Sebuah harga yang teramat mahal. 



      

Kirim email ke