[ Selasa, 16 Desember 2008 ]
        
        
                

        Dahlan Iskan : Demi Mutu Saham, Korbankan Mutu Koran            
        
        
        
                

Koran memang diramalkan akan mati. Tidak lama lagi. Bangkrutnya perusahaan 
koran terkemuka Chicago Tribune pekan lalu seolah memperkuat ramalan itu. 
Apalagi, koran besar lainnya seperti Washington Post dan New York Times juga 
disebut-sebut punya persoalan yang mirip.

Apakah harian Chicago Tribune sudah tidak terbit lagi?

Bukan begitu.

Koran itu masih tetap jaya. Perkiraan saya, Chicago Tribune, sebagai koran, 
masih sangat menguntungkan. Los Angeles Times pun, anak perusahaan yang lebih 
besar dari Chicago Tribune,
masih hebat. Berbagai koran lainnya yang juga dimilikinya masih
baik-baik saja. Demikian juga anak-anak perusahaan yang berupa stasiun
TV lokal. 

Yang bangkrut itu adalah perusahaan induknya (holding).
Kebangkrutan tersebut dikarenakan utang perusahaan induk itu mencapai
(tarik napas dulu!): USD 13 miliar. Atau sekitar Rp 140 triliun.
Sembilan kali dari nilai asetnya. Parah.

Mengapa
sebuah perusahaan koran sampai punya utang sebesar gajah bengkak yang
ditiup? Jawabnya agak rumit. Intinya adalah: gara-gara koran itu masuk
bursa. Setidaknya semangat bursa itulah yang mendorongnya ke sana.

Jelekkah koran go public?
Saya pernah merenungkannya lama. Yakni, sejak oplah koran-koran di AS
secara konstan terus menurun sejak 10 tahun lalu. Sebuah data yang
kemudian mendukung ramalan bahwa koran tersebut segera mati. 

Saya
pun berkesimpulan bahwa sebaiknya perusahaan tertentu seperti koran,
universitas, dan rumah sakit jangan masuk pasar modal. (Itulah
sebabnya, Jawa Pos yang sudah siap go public sejak 10 tahun lalu menunda terus 
pelaksanaannya. Lalu, memilih obligasi yang saya anggap sudah setengah go 
public. Obligasi Jawa Pos yang jatuh tempo tanggal 10 Desember kemarin sudah 
dilunasi sepenuhnya tanpa cacat sedikit pun. Dari pengalaman obligasi itu, Jawa 
Pos memperoleh banyak pelajaran sebagai perusahaan ''setengah'' publik).

Saya memperhatikan, dengan go public, terjadilah pertentangan dua arus yang 
berlawanan keras: idealisme dan komersialisme. Kalau mau tetap idealis, 
performance
korannya di pasar modal tidak sukses. Harga sahamnya tidak akan bisa
segemilang perusahaan yang bisa jungkir balik sebebas-bebasnya. 

Tapi,
kalau hanya ingin mengejar kecemerlangan di pasar modal, bisa jadi
koran itu jadi korban. Langsung atau tidak langsung. Korannya hanya
akan dipakai sebagai alat dongkrak harga saham. 

Tentu saya tidak menuduh harian Chicago Tribune tidak punya idealisme. Atau 
idealisme Chicago Tribune dinomorduakan. Saya melihat profesionalisme Chicago 
Tribune terpuji di panggung dunia. Demikian juga Los Angeles Times. Luar biasa 
hebatnya. 

Tapi, karena induk perusahaan koran itu go public, bisa jadi kehebatan Chicago 
Tribune justru dipakai alat untuk terus memompa performance perusahaan induknya 
tersebut. Chicago Tribune, juga Los Angeles Times, tampil sebagai ''bintang'' 
yang bisa ''dijual'' oleh induk perusahaan tersebut.

Itulah
yang umumnya terjadi di perusahaan publik. Anak perusahaan yang
mengkilap selalu jadi tumpuan. Contohnya, anggap saja, seandainya Jawa Pos itu 
perusahaan publik:

Sebagai perusahaan publik, Jawa Pos
tentu harus menjaga agar harga sahamnya terus naik. Tidak boleh
berhenti, apalagi turun. Kalau bisa, tiap tahun naiknya minimal harus
20 persen.

Kalau ada kalanya harga sahamnya tidak
bisa naik, omzetnya harus terus naik. Juga asetnya. Pokoknya, di dunia
ini, tidak boleh ada yang turun. 

Bagaimana kalau suatu saat oplah Jawa Pos turun dan pendapatan iklannya juga 
turun? Bukankah penghasilannya akan turun dan labanya juga turun?

Iklim
di pasar modal tidak mau tahu itu. Pokoknya harus naik. Direksi koran
itu sendiri tidak mau terjadi penurunan: bonusnya bisa turun. Bahkan,
bisa jadi, direksi koran itu sendiri yang ngotot untuk naik karena tergiur oleh 
bonus yang gila-gilaan.

Maka,
kalau suatu saat terjadi penurunan kinerja perusahaan, jalan yang
dipakai untuk mengatasinya adalah ''jalan pasar modal'': lebih cepat
dan lebih mudah. Bukan jalan ''tradisional'' yang sulit dan lama.

Kalau
masih jalan tradisional yang ditempuh, untuk mengatasi menurunnya
kinerja koran, langkah yang diambil adalah memarahi wartawan: mengapa
bikin berita tidak menarik. Atau memarahi bagian pemasaran: mengapa
penjualan korannya turun. Atau memarahi bagian iklan: tidak becus cari
iklan. Atau menyalahkan Tuhan: mengapa menurunkan hujan pagi-pagi yang
hanya akan mengganggu peredaran koran. Setidaknya memaki gubernur
Jakarta: setiap Jakarta banjir, oplah koran turun drastis! 

Membina wartawan, mendidik orang-orang marketing,
dan seterusnya adalah pekerjaan yang sulit serta memerlukan waktu lama.
Apalagi kalau direksi perusahaan koran tersebut tidak mengerti berita
yang baik itu yang bagaimana.

Maka, untuk mengatasi stagnannya performance
perusahaan, sang direksi akan cenderung mengambil jalan pintas.
Apalagi, jalan itu disediakan oleh sistem kapitalisme pasar modal.

Kalau (seandainya) Jawa Pos
sebagai (seandainya) perusahaan publik mengalami situasi (seandainya)
kesulitan seperti itu, bisa jadi direksinya mengambil ''jalan
kapitalisme'' normal berikut ini:

Untuk menaikkan omzet dan aset, langsung saja beli perusahaan lain. Katakanlah 
beli saja Rakyat Merdeka. Tiga bulan lagi beli Riau Pos. Lalu beli Sumut Pos. 
Beli lagi Radar Lampung. Beli lagi Pontianak Post dan seterusnya. 

Perusahaan
yang dibeli tidak harus yang sudah untung. Yang penting, menurut
perkiraan, akan bisa untung. Bahwa kenyataannya nanti tidak untung,
jangan dipikirkan benar. Akan ada jalan yang lain lagi.

Untuk membeli-membeli itu juga tidak perlu punya uang. Cukup dengan utang. 
Jaminannya saham Jawa Pos. Bagaimana kalau nilai saham Jawa Pos tidak cukup 
besar untuk menjamin utang itu? Jangan takut. Meski kekayaan Jawa Pos Rp 4 
triliun, berani saja utang sampai Rp 16 triliun.

Dengan membeli-membeli tadi, kekayaan Jawa Pos
yang Rp 4 triliun itu bisa jadi langsung naik menjadi lebih dari Rp 16
triliun. Bukan karena koran-koran yang dibeli tersebut memang hebat,
melainkan dengan membeli-membeli tadi, harga saham Jawa Pos
sendiri naik drastis. Dengan kenaikan harga saham tersebut, kekayaannya
berarti juga naik. Bahwa omzet dan labanya sebenarnya tidak terlalu
naik, tidak ada hubungannya. 

Yang penting,
angka-angkanya sudah naik. Bahwa mutu berita yang dimuat koran-koran
tersebut sebenarnya tetap tidak menarik, tidak akan pernah
dipersoalkan. Untuk apa mempersoalkan yang kecil-kecil begitu, kalau
sudah bisa diatasi dengan cara mudah.

Memperbaiki
mutu redaksi adalah cara yang sulit: harus memperhatikan sampai soal
titik, koma, detik, menit. Hasilnya juga tidak bisa segera diketahui.
Memperbaiki pemasaran juga sulit: tiap pukul 03.00 harus sudah keliling
agen-agen. Tidak ada alasan hujan atau banjir. Intinya bagaimana agar
koran bisa benar-benar terjual dan tidak sekadar jadi tempat duduk agen.

Sedangkan
menaikkan kekayaan lewat pasar modal jauh lebih gampang. Bisa dilakukan
di depan komputer di sebuah kafe atau lobi hotel atau ruang rapat yang
ber-AC.

Kalau tahun depan harga saham harus naik
lagi, tempuh saja cara yang sama: beli lagi koran lain. Atau beli
stasiun TV milik orang lain. Atau beli stasiun radio
sebanyak-banyaknya. Utang lagi. Lebih kaya lagi. 

Kalau
ada perusahaan koran yang tidak dijual, paksa saja agar dijual:
iming-imingilah ahli warisnya dengan harga yang mahalnya tidak
terbayangkan. Mengapa mau membeli kelewat mahal? Lho, mengapa tidak? Toh, uang 
tersedia dengan mudah untuk dipinjam?

Bahkan, kalau yang mau dibeli itu perusahaan koran yang juga sudah go public, 
lebih mudah lagi: lakukan hostile take over
(pengambilalihan secara kasar di bursa saham). Ini sah. Tidak melanggar
hukum. Beberapa tahun lalu, sebuah koran yang sangat hebat di Amerika, Los 
Angeles Times, merasakan itu. 

Waktu
terjadinya pun akhir Desember seperti sekarang ini. Waktu itu, semua
orang sudah tidak terlalu mikir perusahaan. Sudah sibuk mempersiapkan
liburan Natal dan Tahun Baru. Hanya satu orang yang terus sibuk:
direktur keuangan. Dia seperti tidak mau libur. 

Ternyata, dia punya misi rahasia: mengatur agar dalam waktu sekejap Los Angeles 
Times di-hostile take over oleh seseorang. Tentu semua transaksi nakal tersebut 
harus terjadi dalam waktu sangat cepat: selama orang-orang liburan Natal. 

Maka,
dipikirkanlah caranya. Dokumen apa saja yang harus disiapkan. Bagaimana
model transaksinya. Bagaimana menentukan harga belinya. Di mana tanda
tangan harus dilakukan. Luar biasa banyaknya pekerjaan yang harus
disiapkan. Maklum, yang mau diambil alih ini perusahaan raksasa.
Apalagi, semua itu harus dilakukan secara diam-diam, rahasia, dan
teliti. Tidak boleh menimbulkan gugatan di belakang hari.

Tibalah
hari libur. Semua orang berlibur. Termasuk pemilik koran itu. Tidak ada
tanda-tanda apa pun. Begitu perayaan tahun baru selesai, pada hari
kerja pertama tahun baru tersebut, keluarlah pengumuman di pasar modal:
Los Angeles Times sudah dibeli Chicago Tribune! Pemilik aslinya sendiri baru 
tahu dari pengumuman itu!

Lalu, bagaimana nasib pemilik Los Angeles Times
yang sudah memiliki koran itu sejak didirikan kakeknya lebih dari
seratus tahun lalu? Tentu tidak bisa apa-apa. Pulang liburan, tiba-tiba
saja dirinya sudah bukan pemilik koran itu lagi! Tiba-tiba saja di pagi
hari di tahun baru itu dia kehilangan perusahaannya! 

Memang,
dia masih mendapat uang banyak. Sahamnya yang masih tersisa dihargai
sangat mahal. Tapi, dia sangat marah. Apalagi ketika dia tahu bahwa
otak pengambilalihan secara kasar tersebut adalah direktur keuangannya
sendiri. Tapi, sang pemilik tidak bisa apa-apa. Semua transaksi itu sah
adanya.

Sejak saat itu, banyak orang yang tidak
bisa tenang ketika menjalani liburan Natal. Jangan-jangan ketika
ditinggal libur, perusahaannya hilang.

Tapi, zaman berputar lagi. Kini, pemilik Chicago Tribune pun menyerah. Minta 
dibangkrutkan. Utangnya Rp 140 triliun. Tidak mampu membayar lagi.

Meski begitu, saya yakin harian Chicago Tribune dan Los Angeles Times sebagai 
anak-anak perusahaan masih sangat menguntungkan.

Saya khawatir, perusahaan koran yang go public, atau yang induknya go public,
hanya akan mengandalkan mutu sahamnya, bukan mutu korannya. Saya
menduga, mulai dari sinilah mengapa mutu koran tidak bisa mengimbangi
mutu kehidupan manusia. Dari sini pula bermula mengapa oplah koran
terus menurun.

Lalu, apakah Jawa Pos (bukan seandainya) tetap akan go public? Mungkin... ya! 
Tapi, untuk tujuan yang berbeda.


      Berbagi video sambil chatting dengan teman di Messenger. Sekarang bisa 
dengan Yahoo! Messenger baru. http://id.messenger.yahoo.com

Kirim email ke