he2x antara benar dan pembenaran, emang beda tipis

mending gak punya apa2 daripada kenapa2
tapi lebih mending punya apa2 dan gak kenapa2 




________________________________
Dari: firman hanif <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: obrolan-bandar@yahoogroups.com
Terkirim: Sabtu, 6 Desember, 2008 18:04:00
Topik: [obrolan-bandar] Lapindo, Gincu Sangit Pemerintah


INILAH.COM, Jakarta – Bau sangit gincu pejabat ruang publik tercium dalam 
cara-cara pemerintahan SBY mengatasi bencana lumpur Lapindo Brantas. Padahal, 
Lapindo sudah menunjukkan itikad dan usaha baik. Bagaimana itikad pemerintah? 
Pemerintah saat ini seakan-akan menempatkan Grup Bakrie sebagai musuh mereka. 
Baru saja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sukses merontokkan saham PT 
Bumi Resources. Grup Bakrie pun terhuyung-huyung diempas krisis finansial 
global. Kini, giliran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyodok.
SBY memanggil dan memarahi Direktur Utama Lapindo Brantas, Nirwan Dermawan 
Bakrie. Presiden memaksanya menuntaskan pembayaran ganti rui bagi warga korban 
lumpur panas di Sidoarjo.
Perlakuan yang diterima Grup Bakrie, sungguh berbanding terbalik dengan 
korporasi nasional di luar negeri. Di Amerika Serikat, Malaysia, Singapura dan 
Eropa, pemerintah masing-masing bekerja keras melindungi dan memperkuat dunia 
usaha nasional. Di Indonesia yang para pengusahanya sedang dihantam krisis 
global, harus pula menanggung biaya sosial.
Menkeu Sri Mulyani sangat mungkin puas melihat Grup Bakrie terempas. Karena, 
seperti dikatakan para ekonom nasionalis, Sri Mulyani tak memiliki visi 
nasionalisme ekonomi. Tabiatnya adalah melepas dunia usaha nasional ke pasar 
bebas. Jelas, Grup Bakrie dan pengusaha nasional lainnya pasti terempas 
diterkam kapitalisme global yang ganas.
"Siapapun tahu Menkeu/Plt Menko Ekuin Sri Mulyani adalah kepanjangan tangan IMF 
dan Bank Dunia. Baginya, nasionalisme ekonomi sama sekali tidak penting. Dia 
tak ingin ada kelas menengah dan pengusaha nasional yang kuat di Indonesia," 
kata Rizal Ramli, mantan Menko Ekuin.
Yang disesalkan banyak pihak, kenapa Presiden SBY tidak membiarkan atau 
mengiinkan Sri Mulyani mengundurkan diri? Barangkali dilemanya, kalau Sri 
Mulyani boleh mundur, dia lepas dari tanggung jawab yang membuat ekonomi 
nasional terjungkal. 
"Sri Mulyani tak boleh lari dari tanggung jawab atas kegagalan pembangunan 
ekonomi nasional," kata Hariman Siregar, mantan tokoh Malari.
Dalam konteks Lapindo Brantas, dari 12 ribu korban lumpur Porong, 8 ribu orang 
sudah dibayar dengan resettlement dan solusi tuntas sesuai Perpres 14/2007, 
yakni 20% uang muka dan sisanya 80%. Sejumlah 4 ribu korban lumpur lainnya yang 
tak memenuhi syarat dan dokumen yang absah, tetap diselesaikan sesuai Perpres 
14/2007. 
Sedangkan sekitar 400 kepala keluarga yang menolak negosiasi apapun, tiba-tiba 
berdemo. Kemudian terjadi politisasi atas para korban semburan lumpur itu dan 
berbagai elemen politik maupun LSM yang menggerakkan demonstran ke Istana 
Negara dan rumah Menko Kesra. Jumlah demonstran mencapai seribu orang dan 
mengalami kapitalisasi politik yang tinggi. 
Pertanyaannya: haruskah Lapindo disalahkan terus dalam soal ini? Lapindo 
melakukan eksplorasi sesuai UU Migas. Jika terjadi apa-apa, tanggung jawab ada 
pada pihak negara dan swasta (Lapindo). Sejauh ini, Lapindo sudah menunaikan 
beban dan tanggung jawab itu melebihi kapasitasnya. Mereka sudah menghabiskan 
sekitar Rp 5 trilyun untuk itu. 
Toh, Lapindo tetap dipojokkan dan dipersalahkan Presiden SBY. Lalu, dimana 
keadilan bagi semua? Haruskah Grup Bakrie menanggung semuanya? Sementara 
menurut UU Migas, beban tanggung jawab itu ada pada negara dan swasta. 
Apalagi Grup Bakrie sedang dililit krisis keuangan global yang melanda ekonomi 
nasional. Bisa saja Grup Bakrie yang 'serba salah' itu kemudian kolaps, rontok, 
para pimpinannya pergi ke luar negeri, dan pemerintah membiarkan semuanya 
hancur seperti nasi jadi bubur. Tapi itu jelas tidak kita kehendaki.
Presiden SBY jangan berpura-pura membela rakyat kecil. Presiden sadar, jika 
Grup Bakrie hancur dan melakukan PHK ribuan karyawannya, persoalan sosial bakal 
bertambah besar dan menggumpal. "Presiden SBY harus adil dan tepat mengambil 
langkah. Membantu mengatasi ganti rugi korban lumpur sekaligus menolong dunia 
usaha, harus dijalankan bersama dan simultan. Jika Lapindo hancur, maka rugilah 
semua pihak dan solusinya makin tidak rasional," kata seorang ekonom senior. 
Maka orang pun curiga, jangan-jangan Sri Mulyani yang ingin Grup Bakrie hancur. 
Atau, jangan-jangan kebijakan Presiden SBY tanpa disadari justru bisa membuat 
Grup Bakrie hancur. Sungguh diperlukan rasionalitas dan akal sehat serta hati 
nurani dalam melihat duduk perkaranya secara jernih dan sabar. 


      Mulai chatting dengan teman di Yahoo! Pingbox baru sekarang!! Membuat 
tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Kirim email ke