N Jaganathan , analis dari Eficorp Sekuritas mengatakan, potensi penguatan saham PT Bumi Resources (BUMI) hari ini seiring kenaikan harga komoditas minyak yang sudah berada di atas US$80 per barel . Namun, sikap pasar masih menunggu kejelasan kisruh pajak perseroan memicu terhambatnya laju penguatan saham sejuta umat ini.
Karena itu, penguatannya pun terbatas. "BUMI akan mengarah ke level resistance Rp2.700-2.800 dan Rp2.300-2.400 sebagai level support-nya," katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, kemarin. Pada perdagangan Senin (15/3) saham BUMI ditutup melemah Rp25 (0,99%) menjadi Rp2.500 dibandingkan sebelumnya di level Rp2.525. Harga tertingginya mencapai Rp2.525 dan terendah Rp2.475. Volume transaksi mencapai 57,4 juta unit saham senilai Rp143,1 miliar dan frekuensi 1.806 kali. Menurutnya, seharusnya ketika kisruh pajak diklarifikasi dan harga minyak di level US$80 ini, harga BUMI sudah melesat tajam. Sebab, substitusi minyak adalah batubara yang banyak dicari. Namun persoalan pajak ternyata masih membayang sehingga beberapa hari terakhir saham BUMI bergerak terbatas. "Investor saat ini masih menunggu dan ingin tahu kepastian soal pajak itu," paparnya. Ia melihat, jika saham BUMI turun ke angka support, otomatis pelaku pasar pun akan mengoleksinya. Pada saat saham BUMI stagnan, posisi investor masih sideways. "Mereka bingung mau tambah (koleksi), atau menunggu berita pajak tersebut selesai," timpalnya. Maret ini ini merupakan bulan terakhir batas pembayaran pajak. Otomatis, sebelum BUMI melaporkan pajak berikutnya, Dijen Pajak akan mengklarifikasi apakah emiten itu kelebihan bayar atau justru kekurangan bayar. Jika klarifikasi dari pihak manajemen sudah jelas, investor sebenarnya bisa lebih yakin untuk investasi di saham BUMI. Sebab, dari sisi harga komoditas, saham ini sangat menarik seiring harga minyak yang sudah di atas US$80 per barel. "Karena itu, batubara pun bisa terkerek naik," imbuhnya. Sebelumnya, harga batubara hanya di level US$30-40-an. Sekarang di Newcastle, harga batubara sudah berada di atas US$93 per metrik ton. Pada saat yang sama, perusahaan batubara sebenarnya masih sedikit sementara kebutuhan semakin meningkat. "Sebab, sebagian negara seperti China dan India membutuhkan batubara yang banyak," ucapnya. Pembangkit listri kedua negara tersebut menggunakan batubara. Otomatis, batubara Indonesia `berduyun-duyun' diekspor ke dua negara tesebut. Akibatnya, demand dan harganya naik. "Apalagi, seperti China yang mengalami musim dingin, sangat signifikan mengerek naik harga batubara," tuturnya. Belum lagi, kebutuhan batubara dalam negeri seiring proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt. Jika tidak ada sentimen pajak, seharusnya saham BUMI bisa naik lebih tinggi. Sebab, sebelum krisis 2008 lalu, harga BUMI berada di atas Rp7.000 per lembar saham. "Menurut saya, harga BUMI yang seharusnya di level Rp3.000-3.500." tandasnya. Jaganathan meyakini jika level Rp2.750 bisa ditembus, saham produsen batubara thermal ini bisa mencapai angka Rp3.000-3.500. Namun, menjelang level-level itu, BUMI akan dilanda aksi profit taking terlebih dahulu. Di sisi lain, penguatan BUMI juga sebenarnya mendapat dukungan dari masih besarnya net buy asing di pasar domestik. Hal ini dapat dilihat dari pelemahan dolar AS ke level 9.160. "Saya melihat dana itu masuk ke pasar modal, langsung ke emiten-emiten bluechips dan lapis kedua," urainya. Jaganathan memastikan saham pertambangan pilihan asing jatuh pada BUMI. Setelah itu, PT Adaro Energy (ADRO). Selebihnya di sektor telekomunikasi dan perkebunan. Dari sisi market, hari ini berpotensi menguat terbatas sebagaimana terjadi pada Senin (15/3) lalu. Ia menargetkan level 2.700 dalam pekan ini. Karena itu, BUMI pun jadi terbatas. "Saya rekomendasikan buy on support untuk BUMI," pungkasnya.