Kompas,com, Rabu, 13 Agustus 2008 | 15:46 WIB
Oleh Yuni Ikawati

Keluar dari OPEC karena menjadi net importer minyak bumi, Indonesia
mulai beralih pada batu bara, yang jumlahnya tergolong masih melimpah.
Pemanfaatan batu bara itu tidak hanya dalam bentuk padat untuk
membangkitkan pembangkit listrik tenaga uap, tetapi juga dicairkan
menjadi minyak sintetis pengganti solar.

Pemanfaatan batu bara untuk otomotif sebenarnya telah dilakukan
beberapa abad lalu pada lokomotif, yaitu sejak ditemukannya mesin uap.
Namun, penggunaannya tidak berkembang karena bahan bakar ini
menimbulkan polusi dan kurang praktis.

Sementara itu, penggunaan minyak bumi lebih menjanjikan dan prospektif
kala itu. Namun, dengan melonjaknya harga minyak bumi belakangan ini,
penggunaan batu bara mulai ditengok lagi.

Potensi cadangan batu bara di Indonesia disebut-sebut mencapai 36,3
miliar ton, tetapi sebagian besar, yaitu 85,2 persen, berkualitas
rendah, disebut juga batu bara lignit. Sayangnya, batu bara yang
bernilai kalor rendah ini tidak ekonomis pengangkutannya. Karena itu,
dipikirkan untuk memanfaatkannya di mulut tambang sebagai pembangkit
atau dicairkan di lokasi tambang.

Dengan teknik pencairan tersebut, batu bara mudah digunakan sebagai
bahan bakar kendaraan bermotor dan dapat menekan polusi.

"Pencairan batu bara merupakan upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis
batu bara rendah sehingga dapat dipasarkan secara komersial sebagai
minyak sintetis," jelas Martin Djamin, staf ahli Menteri Negara Riset
dan Teknologi Bidang Energi Alternatif dan Terbarukan dalam Seminar
"Rusnas Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan", Senin (11/8) di
Jakarta.

Pencairan batu bara merupakan salah satu upaya men- capai sasaran
energi mix nasional tahun 2025 untuk menjamin tersediaan energi untuk
kepentingan nasional. Pada tahun itu, sebesar 2 persen kebutuhan
energi disuplai oleh batu bara cair.

Proses likuifikasi batu bara

Dibandingkan dengan minyak, berat molekul batu bara lebih besar
daripada minyak dan mengandung hidrogen lebih sedikit, tetapi lebih
banyak oksigen, sulfur, dan nitrogen daripada minyak. Karena itu, batu
bara memiliki densitas energi lebih sedikit daripada minyak.

Oleh karena itu, batu bara diubah menjadi bahan bakar bersih dengan
densitas energi lebih tinggi dengan memisahkan sulfur dan nitrogen dan
meningkatkan kandungan hidrogennya.

Likuifikasi batu bara dilakukan dengan mengubah wujud batu bara yang
telah bebas abu dengan dipanaskan sampai 450 derajat Celsius dan
tekanan 180 bar (satuan tekanan udara).

Produk cair dari otoklaf dipisahkan dengan alat destilasi vakum, urai
SD Sumbogo M, Ketua Tim Pencairan Batu Bara Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT).

Cairan fraksi berat hasil destilasi lalu diekstraksi dengan pelarut
untuk pemisahan fraksi lebih lanjut.

Bahan bakar yang padat itu dapat dikonversi menjadi minyak fraksi
berat, medium, dan ringan, untuk bahan bakar mobil dan pesawat
terbang.

Teknologi pencairan batu bara itu telah dilakukan lembaga pengembangan
energi Jepang (NEDO), beberapa dasawarsa lalu. Namun, teknologinya
sendiri pertama kali diperkenalkan oleh F Bergius, kimiawan Jerman
yang memperoleh paten produksi bahan bakar cair dari batu bara dengan
memakai tambahan hidrogen pada batu bara di tahun 1913.

Mengacu pada pengalamannya, NEDO kemudian bekerja sama dengan BPPT
untuk hal yang sama mulai tahun 1993. Penelitian difokuskan pada
pemanfaatan sampel batu bara Indonesia dari Tanjung Enim (Sumatera
Selatan), Cerenti (Riau), dan Kalimantan Timur.

Pengujian dan analisa dilakukan di laboratorium pencairan batu bara di
Laboratorium Sumber Daya Energi (LSDE), Pusppitek Serpong, dan di
Laboratorium Nippon Brown Coal Liquefaction (NBCL).

Pabrik percontohan

Evaluasi awal menunjukkan bahwa batu bara di Banko Selatan terbaik
untuk proses likuifikasi dengan hasil minyak lebih dari 70 persen
berat.

Adapun dari segi teknologinya, dijelaskan Martin, pencairan batu bara
tersebut sudah terbukti berhasil dalam skala laboratorium. Dari
pengembangan teknik pencairan batu bara itu telah dihasilkan paten
katalis untuk proses tersebut yang disebut limonit. Paten tersebut
dimiliki bersama BPPT dan NEDO.

Tahap berikutnya adalah pengembangan pabrik pencairan pada skala yang
lebih besar, sampai pada tingkat komersial. Dalam hal ini tengah
dipersiapkan desain dan rancang bangun pabrik percontohan berkapasitas
6.000 ton per hari.

Akan tetapi, karena biaya pembangunannya yang sangat tinggi, yaitu
mencapai 1,3 miliar dollar AS, BPPT pada tahun 2005 sudah mengusulkan
pembangunan pabrik kapasitas 3.000 ton per hari, dengan dana yang
dibutuhkan sekitar 800 juta dollar AS.

Menurut perhitungan, ujar Martin, meskipun menyerap dana yang relatif
besar, pabrik pencairan batu bara ini ini dapat menghasilkan minyak
sintetis yang harganya kompetitif dan menguntungkan.

Harga jual minyak sintetis batu bara untuk pabrik berkapasitas 3.000
ton per hari adalah 29,3 dollar AS-33,4 dollar AS per barel.

Pembangunan pabrik berkapasitas 3.000 ton per hari itu sebenarnya
sudah disepakati akan didanai oleh Bank Sentral Jepang, JEBIC. Namun,
rencana tersebut belum terealisasi karena pihak Jepang meminta jaminan
teknologi dari Pemerintah Indonesia.

Hal ini, menurut Martin, jelas memberatkan Indonesia karena apabila
pabrik tersebut mengalami kegagalan, sepenuhnya harus ditanggung pihak
Indonesia. Sebagai jalan tengahnya akan diusulkan jaminan teknologi
ditanggung kedua belah pihak.

Dengan terlaksananya pembangunan pabrik pencairan batu bara, Indonesia
akan menjadi salah satu perintis penerapan teknologi baru pencairan
batu bara langsung.

Selama ini, pencairan batu bara tidak langsung yang disebut Sasol
telah dikembangkan oleh Afrika Selatan. Untuk penerapan teknologi
Sasol, Indonesia juga menawarkan kerja sama dengan negara Afrika
tersebut.



Sumber : Kompas Cetak

Kirim email ke