Bangkitnya Kapitalisme Negara

Masih ingat dengan gelombang penolakan di dalam negeri terhadap akuisisi
asing atas berbagai aset yang menjadi ikon nasional, seperti Telkomsel,
Indosat, Bank BCA, Bank Danamon, dan Semen Gresik beberapa tahun lalu?

Indonesia tidak sendiri dengan sentimen nasionalisme yang menolak dominasi
atau masuknya asing di sejumlah sektor strategis seperti telekomunikasi,
perbankan, semen, energi, dan pertambangan. Negara-negara maju seperti
Amerika Serikat dan Uni Eropa pun mulai gamang menghadapi manuver agresif
dan kolosal dari Temasek dan lembaga-lembaga investasi pemerintah (sovereign
wealth funds/SFWs) negara lainnya yang beberapa tahun terakhir terus
memborong berbagai aset penting di negara mereka.

Berlimpah uang dari surplus cadangan devisa, neraca perdagangan, tabungan
dan dana pensiun di dalam negeri mereka, atau banjir devisa dari minyak
(petrodollar) yang terus membengkak, SFW-SFW dari negara-negara yang
diuntungkan oleh booming perekonomian global seperti China dan Singapura
atau negara-negara pengekspor minyak Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Abu
Dhabi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait, seakan tak pernah kehabisan amunisi
untuk menimbun aset-aset global yang menguntungkan.

Dunia berbalik. Jika dulu lembaga investasi Barat seperti hedge fund dan
fund management memburu korban di negara-negara berkembang, kini
negara-negara berkembang ramai-ramai berlomba memperkuat lembaga investasi
mereka sendiri dan mencari target di negara lain, termasuk negara-negara
maju. BUMN yang wewenangnya semakin dipereteli dan pamornya semakin meredup
di Indonesia justru menjadi motor kemajuan ekonomi dalam negeri sekaligus
pionir dalam manuver globalisasi, internasionalisasi dan akumulasi kekayaan
sejumlah negara berkembang lain di pentas global.

Berbeda dengan sebelumnya, investasi BUMN-BUMN atau SFW sekarang ini tidak
lagi hanya di instrumen konvensional berpendapatan tetap seperti surat utang
yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan AS dan negara-negara maju lain
(Treasury-bills/T-bills). Daftar belanjaan mereka kini jauh lebih beragam
dan tidak memilih-milih. Mulai dari komoditas yang menawarkan keuntungan
tinggi hingga operator pelabuhan, Museum Lilin Madame Tussaud, real estat,
saham perusahaan otomotif, dan bank.

Dengan manajemen dan dana pemerintah di belakangnya, SFW sebenarnya lebih
cenderung merupakan investor strategis dengan investasi jangka panjang
ketimbang hedge fund yang hanya mengincar instrumen investasi portofolio
jangka pendek. Tetapi, tak sedikit kalangan yang menyamakan mereka dengan
burung nasar yang seperti kesetanan mencaplok perusahaan- perusahaan yang
tengah kesulitan keuangan atau kolaps karena krisis, baik krisis keuangan di
Asia, krisis kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) seperti terjadi
di AS baru-baru ini, maupun karena salah urus.

Tidak ada yang tahu persis berapa nilai dana dan aset yang mereka kelola.
Para analis dari Merrill Lynch, Morgan Stanley dan Peterson Institute
memperkirakan nilai aset SFW di seluruh dunia sekarang ini 1,5 triliun
dollar AS-2,5 triliun dollar AS.

Dengan tingkat keuntungan investasi hingga dua digit, akumulasi cadangan
devisa 5.600 triliun dollar AS di negara-negara asal SFW dan tambahan
surplus perdagangan hingga 25 persen dari produk domestik bruto (PDB) setiap
tahunnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan nilai aset yang
dikelola SFW-SFW dari negara-negara berkembang ini akan terus menggelembung
mencapai 15 triliun dollar AS dalam satu dekade ke depan. Ini kira-kira
seperlima sendiri dari total kekayaan finansial global.

Nilai transaksi yang mereka buat dalam dua tahun terakhir mencapai 138,9
miliar dollar AS. Dari 137 transaksi tersebut, 37 di antaranya masing-masing
bernilai 1 miliar dollar AS lebih. Dari 45 miliar dollar AS investasi yang
mereka kucurkan di berbagai perusahaan dan dalam bentuk berbagai aset pada
tahun ini, sekitar 37 miliar dollar AS di antaranya, menurut Morgan Stanley,
ditujukan pada perusahaan-perusahaan yang kolaps atau goyah di sektor jasa
keuangan.

Salah satu transaksi paling fenomenal adalah masuknya Abu Dhabi Investment
Authority (ADIA), SFW milik Pemerintah Abu Dhabi dengan suntikan dana 6,7
miliar dollar AS ke Citigroup, dalam rangka menyelamatkan bank raksasa
Amerika yang merugi miliaran dollar AS karena krisis subprime mortgage itu.
Karena injeksi dana ADIA ini, Citigroup tak harus mengobral murah sebagian
aset untuk menutup kewajiban ke nasabah.

Transaksi menonjol lainnya adalah akuisisi Temasek Holdings Pte Ltd dan
China Development Bank atas 3,1 persen dan 1,77 persen saham bank Inggris,
Barclays Capital, senilai masing-masing 18,5 miliar dollar AS dan 13,5
miliar dollar AS, untuk menopang ambisi Barclays mengakuisisi bank raksasa
dari Belanda, ABN Amro.

Namun, yang paling mengejutkan adalah pembelian saham operator pasar modal
di sejumlah negara maju oleh SFW dari Timur Tengah, yakni akuisisi 20 persen
saham operator London Stock Exchange dan hampir 10 persen saham operator
bursa saham Norwegia, OMX AB, oleh Qatar Investment Authority, SFW milik
Pemerintah Qatar. Tak berlebihan, harian Inggris The Telegraph menulis,
"Sepotong besar sistem finansial Barat rontok seperti buah masak jatuh ke
pangkuan para sheikh petrodollar dan pemerintah yang memiliki tancapan kaki
kuat di Asia".

*Agenda politik*

Sayangnya, SFW yang menjadi kendaraan pemerintah negara-negara berkembang
untuk memutar kelebihan cadangan devisa ini tampaknya tidak akan lagi bisa
seleluasa sebelumnya menikmati pesta pora aset. Ketika globalisasi yang
diharapkan menjadi kemenangan ekonomi pasar, ternyata justru melahirkan
pemain-pemain kuat yang bukan aktor swasta tetapi justru BUMN-BUMN,
negara-negara maju tampaknya tidak siap.

Di negara-negara maju ini, SFW mulai menghadapi sikap tak ramah dan sentimen
nasionalime dan proteksionisme dari mereka yang menolak lepasnya aset-aset
ikon nasional yang bisa mengganggu kedaulatan negara mereka kepada
pemerintah negara asing, terutama dari Timur Tengah, Rusia, dan China.

Kapitalisme negara (state capitalism) sendiri sebenarnya bukan konsep yang
baru ada sekarang ini. Fenomena kapitalisme negara sudah ada sejak tahun
1953. Namun, pihak yang skeptis di negara maju mencemaskan adanya agenda
politis dan penggunaan kekuasaan oleh asing untuk merebut keunggulan
kompetitif melalui investasi SFW ini.

Mereka tak yakin semua SFW bermotif komersial belaka dan dikelola secara
transparan. Mereka juga mencemaskan potensi destabilisasi pasar yang bisa
diakibatkan, dengan melihat strategi investasi yang sulit ditebak serta
masifnya skala dana yang bisa dimobilisasi SFW, yang besarnya dua kali lipat
lebih dari dana hedge fund yang disinyalir ada di belakang krisis Asia dan
beberapa kali membahayakan stabilitas finansial global itu.

Apalagi ini dana milik pemerintah-pemerintah asing. Berbeda dengan SPF dari
Norwegia— yang kendati investasi di lebih dari 3.500 perusahaan di berbagai
negara, tetapi kepemilikan di masing-masing perusahaan tak sampai 1,5
persen—kalangan yang skeptis ini melihat beberapa SPF dari negara berkembang
mengincar kepemilikan strategis (dominan) di aset tertentu.

"China, Rusia, Arab Saudi, dan Venezuela yang anti-Amerika tidak dikelola
oleh investor yang netral secara politik, yang semata mengejar keuntungan
maksimal. Wen Jiabao, Vladimir Putin, keluarga kerajaan Arab Saudi, dan Hugo
Chavez bukanlah Warren Buffet dengan aksen asingnya. Mereka aktor politik,
bukan aktor ekonomi. Karena itu, tak perlu meragukan apa yang akan terjadi
satu dekade ke depan. Kita tahu apa motif mereka. Itu harusnya cukup jadi
alasan bagi pemerintah negara- negara Barat untuk meninjau kembali kebijakan
mereka yang terlalu menyambut terbuka investasi SFW selama ini," ujar Irwin
Selzer, pimpinan NewsCorp, yang adalah orang kepercayaan konglomerat media
ternama, Rupert Murdoch.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-7 belum lama ini, isu SFW menjadi
salah satu tema sentral pembahasan para pemimpin negara maju itu. Di AS, tak
kurang dari Presiden W George Bush, Menteri Keuangan Henry Paulson, dan
calon kandidat presiden AS dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, juga ikut
bersuara mengenai potensi bahaya SFW. Retorika proteksionisme juga kencang
disuarakan kalangan anggota Kongres, terutama menjelang tahun pemilu seperti
sekarang.

AS sendiri sudah meminta IMF dan Bank Dunia untuk membuat aturan ketat
mengenai sepak terjang SFW, dan mendesak Jerman dan Perancis untuk
mengeluarkan sikap bersama Uni Eropa mengenai SFW. AS tidak sendiri.
Presiden Bank Sentral Eropa Jean Claude Trichet terang-terangan juga
mengingatkan, perekonomian global dalam bahaya jika SFW tidak dikelola
secara transparan.

Sikap proteksionis AS antara lain terlihat dari langkah mereka menjegal
upaya akuisisi oleh China Investment Corporation (CIC) terhadap perusahaan
energi California, Unocal. Sikap tak bersahabat (hostile) juga ditunjukkan
kepada Temasek Holdings Pte Ltd dan China Development Bank yang berniat
masuk ke Barclays Capital dengan investasi masing-masing 18,5 miliar dollar
AS dan 13,5 miliar dollar AS. Sebelumnya, Kongres juga menekan Dubai Ports
World untuk melepas kembali lima pelabuhan di AS yang diakuisisinya sebagai
bagian dari pengambilalihan (take over) P&O (operator pelabuhan di AS) oleh
BUMN dari Uni Emirat Arab itu.

Suatu ironi. Amerika, yang selama ini menggembar-gemborkan sistem pasar
bebas dan ngotot memaksa negara-negara lain untuk membuka pasarnya, tiba-
tiba kini seperti paranoid menghadapi serbuan dana asing. Padahal,
perputaran dana di pusat keuangannya di Wall Street yang mencapai sekitar 10
triliun dollar AS selama ini antara lain juga ditopang oleh investor dari
negara-negara pengekspor minyak Arab dengan banjir petrodollarnya dan juga
negara-negara Asia, termasuk China dan Singapura, yang sangat diuntungkan
dan panen devisa dari booming ekonomi global.

Kehadiran dana asing termasuk SFW itu, diakui oleh Wakil Menteri Keuangan AS
Urusan Internasional David McCormick, ikut membantu memperkuat dan
menggerakkan ekonomi AS, memperbaiki produktivitas, menciptakan lapangan
kerja baru, mendorong terjadinya kompetisi yang lebih sehat, serta membantu
AS mendapatkan dana murah untuk membiayai defisit transaksi berjalan skala
masifnya. Data Kementerian Keuangan AS mencatat peningkatan kepemilikan aset
oleh asing mencapai 1,9 triliun dollar AS pada tahun lalu saja. Investasi
asing ini membantu menciptakan hampir 10 juta lapangan kerja baru serta
menyumbang 13 persen belanja riset dan pengembangan (R&D).

Sikap negara-negara maju ini bukan tidak mungkin bisa memunculkan ketegangan
baru dan kesulitan bagi AS sendiri. Salah satu contoh, jika SFW dilarang
membeli aset-aset di AS, apakah AS juga boleh protes jika misalnya
perusahaan-perusahaan mereka nanti tidak boleh juga berpartisipasi di
proyek-proyek energi di Iran atau China, misalnya?

Ekonom senior Harvard University, Kenneth Rogoff, dalam testimoni di depan
Kongres mengatakan, dengan sumber dana yang begitu melimpah, bisa dipahami
SFW dari negara-negara berkembang berani bermain dengan risiko yang lebih
besar dan jauh lebih menguntungkan.

Selama ini surplus dana mereka lebih diparkir di bank sentral atau ditanam
di surat-surat utang negara-negara maju seperti AS, Uni Eropa, dan Inggris
sebagai instrumen yang dianggap paling aman. Tetapi, dengan nilai emisi
surat utang Pemerintah AS, Uni Eropa, dan Inggris yang hanya 461 miliar
dollar AS tahun ini, SFW dengan dana triliunan dollar ini pasti akan berburu
aset-aset lain untuk memutar kelebihan dana yang dimilikinya. Dengan mulai
berkobarnya sentimen nasionalisme dan proteksionisme di berbagai negara
tujuan investasi, mungkin kini mereka harus pilih-pilih target sasaran
tembak untuk memuaskan naluri baru petualangan mereka.

Kalau AS saja gerah, bagaimana dengan Indonesia? Karena mengadopsi sistem
dan berguru kepada Amerika, Indonesia harus merelakan kehilangan aset- aset
ikon seperti di telekomunikasi dan perbankan, atau semen. Di tiga sektor
strategis itu, praktis posisi asing dominan atau semakin kuat.

Belum lagi kalau kita bicara transaksi divestasi yang kalau dilihat serasa
tak masuk akal. Seperti bagaimana Bank BCA dijual hanya seharga Rp 10
triliun kepada asing, padahal di dalamnya ada tagihan ke pemerintah sebesar
Rp 60 triliun. Itu juga terjadi pada beberapa bank lain yang memiliki
obligasi rekap dalam portofolionya, yang dilepas ke asing. Berapa negara
dirugikan?

Benarkah masuknya asing yang katanya membawa serta pula keterbukaan, good
governance dan expertise itu benar- benar membawa kemaslahatan bagi bangsa?
Salah satu contoh saja, apakah intermediasi perbankan dan akses dunia usaha
ke pembiayaan menjadi lebih baik dengan masuknya asing di sektor ini? Apakah
rakyat miskin kebanyakan diuntungkan oleh masuknya asing ke industri
telekomunikasi, perbankan, semen, dan lainnya? Amerika dan para pengusung
faham neoliberalisme harusnya bisa menjelaskan ini.

Kirim email ke