http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/17/08090066/Lengkap..Aturan.Hadapi.Krisis



Kompas.com, Jumat, 17 Oktober 2008 | 08:09 WIB
JAKARTA, JUMAT - Indonesia kini memiliki aturan lengkap untuk
menghadapi krisis keuangan yang bersifat sistemik menyusul
diterbitkannya Perpu Nomor 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan.

Melalui aturan ini, Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan
(Depkeu) bisa mengambil alih rapat umum pemegang saham bank atau
lembaga keuangan nasional yang mengalami kegagalan dalam menjalankan
fungsinya. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) ini
ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Oktober 2008
dan dinyatakan berlaku mulai 16 Oktober 2008.

Penerbitan perpu tersebut disampaikan Menteri Keuangan sekaligus
Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dalam
sebuah konferensi pers di Jakarta, Kamis (16/10). Hadir dalam paparan
perpu ini Gubernur BI Boediono, Menneg BUMN Sofyan A Djalil, Ketua
Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) Raden Pardede, Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal- Lembaga Keuangan (Bapepam- LK) Ahmad Fuad
Rahmany, dan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani.

Beberapa pokok aturan yang mengemuka dalam perpu tersebut adalah
adanya kemungkinan bagi pemerintah menerbitkan instrumen pembiayaan
yang khusus untuk BI. Lalu, dananya disuntikkan kepada lembaga
keuangan yang mengalami krisis sistemik. Namun, jika krisis yang
terjadi pada lembaga keuangan belum terlalu parah, pemerintah bisa
menalangi dengan dana tunai dari APBN.

Menurut Sri Mulyani, perpu ini mengatur tindakan pencegahan dan
penanganan krisis, yang meliputi penanganan kesulitan likuiditas atau
masalah solvabilitas perbankan atau lembaga keuangan lain. Instrumen
yang bisa digunakan adalah pemberian fasilitas pembiayaan darurat
(FPD) dan penambahan modal melalui penyertaan modal sementara.

Jika ada bank yang mendapatkan FPD, BI berwenang mengganti pengurus
dan menempatkan suatu bank dalam status pengawasan khusus. Adapun jika
bank tersebut mendapatkan modal sementara, bank itu diambil alih LPS
atau badan khusus yang dibentuk pemerintah.

"Perpu ini diterbitkan bukan untuk menunjukkan bahwa Indonesia sedang
dalam tekanan krisis. Perpu ini akan melengkapi Indonesia agar
memiliki aturan yang lengkap pada saat menghadapi krisis," ujar Sri
Mulyani.

Aturan ini ditetapkan agar masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) yang disalurkan pada tahun 1998 tidak terulang. BLBI kini masih
tercatat sebagai beban APBN dalam bentuk surat utang yang tidak
diperdagangkan di Depkeu sejumlah Rp 258,8 triliun.

Insentif sektor swasta

Raden Pardede menyebutkan, untuk mengurangi biaya krisis yang akan
ditanggung negara, pemerintah juga dapat memberikan insentif atau
fasilitas dalam rangka penyelesaian kesulitan likuiditas atau
solvabilitas kepada sektor privat. Insentif dan fasilitas dimaksud,
antara lain, dalam bentuk pemberian insentif fiskal dan relaksasi
peraturan perundangan.

"Misalkan, ada bank sakit, lalu kami meminta bank yang sehat mengambil
alih. Agar pengambilalihan itu tidak menimbulkan biaya, bisa saja kami
membebaskan pajak mergernya. Itu jauh lebih murah ketimbang pemerintah
harus mengambil alih bank yang sakit itu," ujar Raden.

Pemerintah membagi tiga kondisi dalam sistem keuangan, yakni kondisi
normal, kondisi transisi menuju krisis, dan kondisi krisis. Perpu
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) hanya berlaku saat krisis sudah
terjadi.

Salah satu kriteria krisis, antara lain, ditandai adanya bank atau
lembaga keuangan yang gagal melakukan fungsinya dan berdampak
sistemik. Sistemik bisa saja terjadi saat hanya ada satu bank yang
gagal, tetapi nasabahnya banyak atau ada lebih dari satu bank yang
gagal.

Penetapan suatu keadaan dikategorikan krisis atau belum diputuskan
oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang terdiri atas
Menteri Keuangan dan Gubernur BI, serta LPS pada kasus tertentu. Pada
saat penanganannya sudah sampai ke KSSK, komite ini harus memutuskan
langkah-langkah pemulihan krisis dalam waktu maksimal satu hari.

Diadopsi APBN 2009

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 sudah mengadopsi
sebagian dari mekanisme penanganan krisis keuangan yang diatur dalam
Perpu JPSK ini. Tahun 2009, DPR memberikan wewenang kepada pemerintah
untuk menerbitkan instrumen pembiayaan kepada BI yang secara tersirat
akan sama dengan BLBI bagi perbankan nasional yang tertekan apabila
krisis keuangan global memburuk.

"Uangnya sebenarnya berasal dari perbankan sendiri, nanti akan
langsung digunakan," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen
Keuangan Anggito Abimanyu.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad
Wibowo, mengingatkan agar program bantuan likuiditas (bail out) dan
pembiayaan darurat dilakukan dengan hati-hati.

Alasannya, di negara seperti Indonesia yang tingkat korupsi politisi
dan birokrasinya tinggi, program bantuan likuiditas sangat rawan
dikorupsi. Hal itu terbukti pada kasus BLBI saat krisis 1997-1998.

Karena itu, kata Dradjad, kriteria pemberian bantuan likuiditas harus
sangat ketat.

"Bank atau perusahaan yang mengalami kesulitan karena kejahatan
korporasi atau kegagalan mengimplementasikan tata kelola yang baik
tidak boleh diberi bantuan likuiditas," katanya.

Menurut Dradjad, kalaupun terpaksa harus diberi bantuan likuiditas
karena risiko sistemiknya tinggi, pemilik dan pimpinan bank atau
perusahaan bersangkutan harus dimintai pertanggungjawaban.

"Mereka bisa dipenjara kalau ada unsur pidananya. Secara perdata,
hartanya bisa disita jika ternyata perusahaan tersebut bangkrut karena
tidak mengimplementasikan tata kelola yang baik," kata Dradjad.
(OIN/FAJ)


OIN,FAJ
Sumber : Kompas Cetak

Kirim email ke