http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/17/07341799/Saat.Sawit.Bukan.Lagi.Primadona




Kompas.com, Jumat, 17 Oktober 2008 | 07:34 WIB
Laporan Wartawan Kompas, Syahnan Rangkuti

Bahori (23) masih bisa tersenyum. Walau  kecut. Sesekali ia juga
tertawa, tetapi ketawa itu pun sumbang. Ketika dijumpai di areal kebun
kelapa sawit miliknya, ia baru saja menjual hasil panen tandan buah
segar sawit sebanyak 1 ton.

Selasa, menjelang senja, ia sendiri saja di tengah kebunnya seluas 2
hektar di Desa Sialang Jaya, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu,
Riau—sekitar 200 kilometer dari Pekanbaru.

Dengan harga tandan buah segar (TBS) sekarang ini yang hanya Rp 300
per kilogram, ayah seorang bayi itu tentunya mendapat penghasilan Rp
300.000. Tetapi, tunggu dulu. Hitungan matematis itu belum putus.
Bahori harus mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk upah melangsir (membawa
TBS dari kebunnya ke pinggir jalan besar dengan menggunakan kendaraan
berpenggerak empat roda). Dia juga harus mengeluarkan uang Rp 300.000
untuk membayar upah tiga pekerja harian masing-masing Rp 100.000 untuk
memanen selama dua hari. "Saya nombok Rp 50.000. Namun, apa boleh
buat. Saya memilih untuk tetap memanen karena kata orang, kalau tidak
dipanen, nanti pohon sawit rusak dan tidak mau berbuah lagi," kata
Bahori.

Untuk menutup utang, Bahori kembali ke profesi lama, yaitu menjadi
buruh di kebun orang lain. Sepanjang Selasa itu dia bekerja di kebun
orang. Upahnya Rp 60.000 sehari. Alhasil, setelah membayar utang Rp
50.000, penghasilan bersihnya hari itu hanya Rp 10.000.

Syaifudin yang memiliki kebun seluas 5 hektar juga senasib dengan
Bahori. Hari itu ia mempekerjakan enam orang untuk panen sebanyak 2
ton. Padahal, masih ada 2 ton lagi TBS siap panen.

"Biarlah 2 ton lagi itu tetap dipohonnya sampai panen dua minggu lagi.
Mana tau harga bisa membaik. Kalau pohonnya mau rusak, biarlah. Asal
jangan seluruhnya," kata Syaifudin.

Syaifudin mengatakan, ia mendapat uang Rp 600.000 dari panen sebanyak
2 ton. Namun uang itu langsung dipotong Rp 240.000 untuk upah empat
buruh angkut TBS ke tempat penumpukan dan Rp 140.000 lagi untuk upah
dua pendodos (pemetik buah dari pohon). Pendapatannya masih berkurang
lagi karena harus membayar upah melangsir dengan mobil Rp 100.000.
Artinya, penghasilan bersih hari itu sebesar Rp 120.000 untuk hasil
panen sebanyak 2 ton.

"Sebelum harga anjlok, biasanya saya mendapat uang minimal Rp 4 juta
dari sekali panen. Dalam satu bulan panen dua kali atau Rp 8 juta
sebulan. Sekarang ini hitung saja pendapatan saya," kata Syaifudin.

Tentang upah melangsir yang mahal lebih disebabkan buruknya kondisi
jalan ke perkebunan petani.

Tidak mengherankan bila biaya untuk mengangkut satu ton TBS dari kebun
ke pinggir jalan yang berjarak sekitar 1 kilometer, petani harus
membayar Rp 50.000 atau Rp 50 per kilogram.

Di sebuah desa eks transmigrasi, biaya transportasi bahkan mencapai Rp
200 per kilogram atau Rp 200.000 per ton. Hal itu disebabkan jalan
hancur dan jaraknya lebih dari 5 kilometer.

Namun tidak semua jalan ke perkebunan petani di Rokan Hulu, begitu
buruk. Di sebuah tempat tidak jauh dari kota Pasirpengarayan, ibu kota
Kabupaten Rokan Hulu, jalan menuju perkebunan seorang kuat di Rokan
Hulu ternyata diaspal hotmiks dengan lebar 12 meter.

Cerita manis pemilik kebun sawit di Riau tersebut saat ini sudah
berubah menjadi cerita duka. Harga TBS Rp 300 per kilogram, menurut
Ardiman Daulay, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia
(Apkasindo) Cabang Rokan Hulu, sama seperti kondisi 12 tahun lalu saat
menjelang krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997. "Dulu sebelum
krismon, harga sawit memang Rp 300 per kilogram, tetapi harga-harga
barang masih jauh lebih murah dibandingkan sekarang. Waktu itu harga
beras masih ada yang Rp 1.000 per kilogram. Pada saat krismon dahulu,
petani kami justru menikmati hasil karena harga sawit naik menjadi Rp
800 sampai Rp 1.000 per kilogram. Sekarang ini petani sawit yang
mengalami krisis," kata Daulay yang memiliki 2.500 anggota dengan
lahan 118.000 hektar.

Menurut Daulay, bukan hanya petani yang mengalami krisis. Pedagang
pengumpul mengalami nasib sama. Kusno, seorang tauke sawit (sebutan
untuk pedagang pengumpul), sudah meminta keringanan kepada Bank BRI
setempat untuk menunda pembayaran cicilan utangnya.

Sebelum harga anjlok, Kusno meminjamkan uang kepada petani, nilainya
Rp 200 juta. Ini biasa dilakukan toke sawit agar petani mau menjual
buah kepada mereka. Seluruh uang berasal dari pinjaman di Bank BRI.
Sekarang ini seluruh piutang Kusno tidak dapat ditagih, karena petani
peminjam tidak mampu membayar. "Kalau BRI tidak bersedia menunda
cicilan, rumah Kusno akan segera disita bank," ujar Daulay.

Menurut Daulay, petani dari Desa Tandun sampai mencoba bunuh diri,
meminum obat serangga, karena dililit utang Rp 200 juta di bank dan
tidak dapat membayar. Untungnya, niat bunuh diri cepat ketahuan
keluarganya dan si petani dapat diselamatkan.

Krisis sawit seperti musim kemarau yang merontokkan segala sesuatu.
Empat hari lalu, empat sepeda motor ditarik dealer karena petani
menunggak cicilan. Lalu, dua pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu, yaitu
di Desa I, Ujung Batu, dan Petapahan, terpaksa pula ditutup karena
cadangan CPO pabrik belum terjual.

Krisis keuangan global kali ini, eksesnya ternyata menjalar tanpa
ampun kepada petani kecil. Sayangnya, 80 persen dari 2.500 anggota
Apkasindo Rokan Hulu merupakan petani kecil dengan lahan rata-rata 2
hektar.

"Yang kami harapkan, pemerintah mau minta perbankan menunda pembayaran
cicilan petani. Kalau tidak, akan lebih banyak petani sawit yang stres
atau gila," kata Daulay.



Sumber : KOMPAS

------------------------------------

+ +
+ + + + +
Mohon saat meREPLY posting, text dari posting lama dihapus 
kecuali diperlukan agar CONTEXTnya jelas.
+ + + + +
+ +Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/obrolan-bandar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/obrolan-bandar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke