http://www.studiohp.com/news_detail.php?id=10319&sub=all

 

Tarif Murah Ponsel Itu Indah 

08 Maret 2009

 
 
Kalau harus membuat daftar urutan kebutuhan pokok manusia, apakah
kebutuhan pokok keempat setelah sandang, pangan, dan papan? Jawabannya
adalah telepon seluler alias ponsel! Betapa tidak, populasi pelanggan
ponsel di Tanah Air saat ini-menurut catatan Kamar Dagang & Industri
Indonesia (Kadin)-mencapai sekitar 133 juta nomor. 

Artinya 58,3% dari total 228 juta penduduk berlangganan telepon seluler
atau dengan kata lain satu dari dua orang Indonesia memiliki ponsel.
Kalau satu rumah tangga diasumsikan beranggotakan empat orang, berarti
setiap rumah tangga memiliki dua nomor ponsel. 

Itulah sebabnya, bisnis layanan telepon seluler di Tanah Air sangat
menggiurkan, apalagi masih terbuka ceruk pasar untuk sekitar 95 juta
penduduk yang belum tersentuh layanan telepon. 

Untuk menjaring pelanggan baru, para operator berlomba-lomba menawarkan
tarif percakapan murah. Masih ingat genderang perang diskon tarif yang
dimulai oleh PT Excelcomindo Pratama (XL) pada pertengahan Januari 2008?
Waktu itu XL mematok tarif percakapan Rp0,1 per detik ke semua operator.
Tentu saja, tarif yang sangat menggiurkan itu ada embel-embelnya: baru
berlaku setelah melakukan percakapan 2,5 menit. 

Namun, inovasi XL tersebut akhirnya memancing perang tarif. Rupanya, PT
Indosat tersulut oleh provokasi XL dengan menawarkan tarif Rp0,01 bagi
pelanggan IM3 untuk percakapan setelah 90 detik. Perang pun kian
memanas, karena XL kembali mematok tarif fantastis, yaitu
Rp0,000001. 

Perang tarif pun menjadi adu berani menawarkan besaran tarif dengan nol
di belakang koma paling panjang. IM3, misalnya, tak mau kalah dengan
menawarkan tarif gila-gilaan: Rp0,00000000001 per detik. 

Masyarakat pun mulai bertanya-tanya, mampukah operator bertahan hidup
dengan jor-joran tarif murah tersebut? Bukankah penghasilan utama
operator seluler adalah jualan pulsa? 

Rupanya, operator punya alasan tersendiri dalam merumuskan tarif diskon
gila-gilaan tersebut. Alasannya cukup sederhana: dengan tarif murah,
peluang menggaet pelanggan baru jauh lebih besar, sehingga tetap mampu
memperoleh pundi-pundi pulsa. 

 

Dongkrak Omzet 

Dinamika perang tarif seluler dapat dilihat dari kinerja tiga operator
besar atau the big three. Selain Indosat dan XL, satu lagi operator yang
masuk kelompok ini adalah PT Telkomsel. Anak perusahaan PT Telkom ini
bahkan menjadi penguasa dengan jumlah pelanggan per 30 September
sebanyak 60,5 juta atau sekitar 45% dari total pelanggan seluler. 

Yang jelas the big three sangat dominan karena menguasai 92% pelanggan,
jika menggunakan asumsi total populasi pelanggan versi Kadin sebesar 133
juta nomor. 

Di antara kelompok ini, Telkomsel adalah operator yang agak konservatif
untuk tidak terlibat perang tarif secara frontal. Diskon tarif lebih
banyak dilakukan terhadap sesama pelanggan Telkomsel, terutama untuk
pelanggan prabayar, yaitu simPATI dan KartuAS. 

Namun, dampaknya tetap sama seperti juga dialami XL dan Indosat, yaitu
penurunan ARPU (average revenue per user) atau belanja pulsa bulanan
pelanggan. 

Laporan keuangan Telkomsel per 31 September 2008 menunjukkan ARPU
pelanggan anak perusahaan PT Telkom Tbk ini turun 24%. Namun hal itu
terbayar oleh kenaikan pelanggan sebesar 36% dan omzet pulsa sebesar
5,1%. 

Yang paling fantastis justru XL. Laporan keuangan 2008 menunjukkan
besaran tarif seluler XL tahun lalu sudah diturunkan sebesar 77,8%
menjadi rata-rata Rp120, sehingga ARPU-nya anjlok 21,3% menjadi Rp37.000
per bulan. 

Namun, XL berhasil meraih lonjakan pelanggan tertinggi dibandingkan
dengan Indosat dan Telkomsel, yaitu 68,2%. Kenaikan omzet selulernya pun
sangat fantastis, yaitu Rp3,3 triliun atau 51,2%. 

Jadi, bagi XL tarif murah bukanlah sebuah 'kesengsaraan', karena
sengsara itu justru membawa nikmat. 

Meminjam ungkapan ekonom kondang dari Inggris E. F. Schumacher berbunyi
Kecil itu Indah, maka dalam konteks ini yang berlaku adalah Murah itu
Indah. 

Bayangkan, dari total omzet XL 2008 sebesar Rp12,16 triliun, sekitar 80%
atau Rp9,77 triliun adalah omzet pulsa. Artinya, strategi tarif murah
menjadi senjata ampuh bagi anak perusahaan Telekom Malaysia itu dalam
mendongrak pendapatan. 

Sayangnya, XL tidak dapat menikmati 'keindahan' tersebut karena,
omzetnya tergerus pengeluaran untuk bunga, rugi kurs, dan pengeluaran
lain, sehingga operator itu menderita kerugian Rp15 miliar. Padahal,
dari pendapatan Rp12,16 triliun itu, XL mampu membukukan EBITDA Rp5,13
triliun atau naik 46% dibandingkan dengan 2007. 

Berbeda dengan Indosat, operator itu benar-benar dapat menikmati
keindahan tarif murah, karena tahun lalu berhasil meraup laba
bersih-kendati turun 8% dari 2007- sebesar Rp1,88 triliun. 

Melihat kondisi ini, rasanya jor-joran tarif masih akan terus
berlangsung, karena dapat mengikat pelanggan lama dan menjaring
pelanggan baru tanpa mengorbankan peluang mendulang omzet pulsa.
Terlepas dari tersebut, tarif murah itu memang indah bagi kita selaku
pelanggan seluler. 

 

Oleh Sutarno
Wartawan Bisnis Indonesia (www.bisnis.com)

Kirim email ke