Tolong dibaca aturan di footer dibawah
--------------------------------------

MEMBANGUN KOTA HEMAT ENERGI - Bagian kedua

Oleh Bambang Setia Budi

Selain melakukan perencanaan dan pengelolaan secara
serius terkait transportasi publik/masal (di bagian
pertama sebelumnya), pada bagian ini akan dipaparkan
kembali langkah strategis lainnya yang perlu diambil
yang berkaitan dengan perencanaan transportasi dan
manajemen lalu lintas untuk penghematan energi di
kota.

2. Penyediaan jalur sepeda dan pejalan kaki
(pedestrian) yang aman dan nyaman

Bersepeda dan berjalan kaki adalah salah satu
alternatif moda perjalanan yang paling mungkin untuk
menghemat energi di kota. Keduanya sudah tentu
merupakan moda transportasi yang tidak bermotor
(non-motorized transportation atau NMT) sehingga tidak
membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) sama sekali, dan
oleh karenanya juga tidak menghasilkan polusi bagi
udara di kota (ramah lingkungan).

Lebih dari itu, bersepeda maupun berjalan kaki dapat
dilakukan oleh siapa saja dari semua golongan baik
kaya atau miskin, tua atau muda. Jika makin banyak
pengguna sepeda atau pejalan kaki, akan sangat mungkin
mengurangi masalah kemacetan di kota yang selama ini
seperti sulit terpecahkan. Untuk sepeda, tak salah
jika ia juga disebut-sebut termasuk sebagai alat
transportasi yang paling berkelanjutan (sustainable
transportation).

Untuk membangun kota yang hemat energi, sudah
semestinya setiap pemerintah daerah atau kota memberi
perhatian khusus pada moda transportasi ini. Yakni
dengan membangun jalur sepeda dan pejalan kaki yang
aman dan nyaman serta menyediakan berbagai fasilitas
pendukungnya. Namun sungguh disayangkan, di kota-kota
besar di Indonesia, justru hampir tidak ada sarana dan
fasilitas jalur bersepeda dan berjalan kaki yang aman
dan nyaman, apalagi sarana pendukung lainnya seperti
parkir sepeda.

Kalaupun di beberapa tempat ada jalur sepeda dan
berjalan kaki, seringkali kondisinya sangat
memprihatinkan misalnya jalan yang tidak menerus,
rusak, berlubang, berebut tempat dengan pohon dan
tiang reklame (karena tidak dirancang dengan baik),
serta dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, kondisinya tidak menjamin
keselamatan dan kenyamanan bagi pengguna sepeda maupun
pejalan kaki.

Kondisi seperti itu tidak lepas dari kekeliruan pada
kebijakan transportasi dari pemerintah daerah atau
kota, di mana selama ini mereka sering mengabaikan
eksistensi pengguna sepeda dan pejalan kaki sehingga
tidak menyediakan jalurnya sendiri dengan baik. Dan
sebaliknya, justru di negeri miskin dan banyak hutang
ini, pemerintah daerah atau kotanya sering memanjakan
pengguna mobil dengan membangun jalan raya, jalan
layang atau jalan tol. Kemacetan bukannya berkurang
tetapi malah semakin sulit diatasi, karena jalan-jalan
itu justru semakin mengundang banyaknya pengguna mobil
dan kendaraan bermotor. Karena banyaknya mobil dan
kendaraan motor di jalan, sehingga sering juga timbul
kemacetan, akhirnya kota pun menjadi semakin jauh dari
hemat energi.

Dalam soal mengatasi kemacetan, kesalahan para
pengambil kebijakan transportasi adalah mereka
seringkali hanya melihat dari segi ketidakseimbangan
angka pertumbuhan mobil atau kendaraan bermotor yang
mencapai rata-rata 7-12% pertahun dibanding dengan
ruas jalan yang ada. Sehingga membangun jalan-jalan
seperti di atas dianggap dapat mengurangi masalah
kemacetan itu. Sementara membangun dan mengelola jalur
sepeda bagi pengendara sepeda dan berjalan kaki masih
belum dianggap sebagai salah satu jalan alternatif
untuk mengurangi kemacetan di kota.

Selain kekeliruan-kekeliruan itu, berkembang pula
stigma yang kuat di masyarakat bahwa bersepeda identik
dengan kemiskinan sehingga hanya orang miskinlah yang
bersepeda. Budaya gengsi pun merebak kuat, karena apa
saja sering dilihat dari sudut pandang materi atau
harganya. Termasuk menilai seseorang sering pula
dilihat dari apa yang dinaiki/dikendarainya. Stigma
ini menambah kekeliruan lain, yakni kebijakan
diskriminatif, yang dianggap kaya (bermobil) semakin
dilayani dan dimanjakan, sementara yang dianggap
miskin (bersepeda) semakin terabaikan dan tak
terlindungi. Wajarlah jika akhirnya sangat sedikit
jumlah pengguna sepeda di kota-kota besar di
Indonesia.

Sebagai gambaran, menurut Darmaningtyas melalui survey
INSTRAN di akhir Juni 2005, dalam sehari jumlah sepeda
yang melewati Jalan Sudirman Jakarta dari arah Jalan
Thamrin hanya 52 unit, sedangkan yang menuju ke arah
Jalan Thamrin hanya mencapai 122 unit. Mereka itu
adalah para pedagang keliling, seperti siomay, bakso,
dan roti. Terlalu minim pelajar dan pekerja kantoran
yang bersepeda. (Darmaningtyas, Kompas, 4 Agustus
2005).

Hal ini sangat berbeda dengan kota-kota di banyak
negara maju maupun di beberapa negara berkembang
lainnya. Pemerintah kotanya secara serius menyediakan
jalur-jalur khusus sepeda dan pejalan kaki, hingga
prosentase pengguna sepedanya menempati jumlah yang
signifikan dibanding dengan pengguna jalan lainnya.

Kota-kota di Cina seperti Tianjin dan Shenyang
menempati prosentase terbesar yakni 77% dan 65%
penduduk yang mengendarai sepeda untuk perjalanan
mereka. Sepeda memang sangat penting di Cina sehingga
di banyak kotanya memiliki jalan sepeda hingga lima
atau enam jalur. Sebagai gambaran, dari pemantauan
lalu lintas di kota Tianjin, konon lebih dari 50.000
sepeda melintas di satu persimpangan jalan dalam waktu
satu jam.

Urutan ketiga terbesar adalah kota Groningen di negeri
Belanda dengan jumlah prosentase 50% penduduk yang
mengendarai sepeda untuk perjalanan keseharian mereka.
Kemudian berturut-turut Beijing di China (49%), Dhaka
di Bangladesh (40%), Erlangen di Jerman (26%), Odense
di Denmark (25%), Moscow di Rusia (24%), New Delhi di
India (22%), Copenhagen di Denmark dan Basel di
Switzerland (20%), Strasboug di Perancis (15%), dan
lain-lain.

Sekadar catatan, jumlah pengguna sepeda di Erlangen,
Jerman tersebut meningkat tajam setelah jalur sepeda
sepanjang 160 km selesai dibangun. Tak ketinggalan,
menurut data itu, kota yang dikenal terpadat dan
termahal di dunia, Tokyo di Jepang, pengguna sepedanya
juga tercatat mencapai prosentase 25%, sama dengan
kota Odense di Denmark. (WALCYNG, Report 1. no.4,
1997).


Namun yang paling fenomenal dan menarik untuk
dicermati adalah upaya yang dilakukan pemerintah Kota
Bogota, ibukota Colombia di Amerika Tengah. Untuk
menghemat energi dan mengurangi polusi udara kota,
Enrique Penalosa – walikota Bogota tahun 1998-2001 –
membangun jalur sepeda sepanjang 350 km. Ini merupakan
kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di Amerika
Latin maupun di kota-kota negara berkembang lainnya.

Jalur-jalur sepeda dan pedestrian itu dibuat sangat
kompak, menerus, dan terintegrasi serta akses yang
sangat luas hingga menembus berbagai kawasan
pemukiman. Selain itu, pemerintah kota pun memanjakan
para pengguna sepeda dan pejalan kaki dengan berbagai
regulasi keistimewaan (privilege). Untuk mendukung
ini, tak segan-segan walikota sendiri dan pejabat
pemerintahnya memiliki jadwal tertentu untuk bersepeda
saat pergi ke kantor. Oleh karenanya dalam waktu lima
tahun, jumlah pengendara sepeda meningkat drastis,
yakni dari 8% pada tahun 1998 menjadi 16% pada 2003.
Bahkan hingga tahun 2005 ini, ditargetkan sekitar 30%
penduduk Bogota akan menjadikan sepeda sebagai salah
satu moda transportasinya. Semua itu tidak lepas dari
perhatian pemerintah kotanya yang menyediakan
fasilitas jalur sepeda yang aman dan nyaman tersebut.

Kalau dalam skala negara, di antara negara-negara maju
di Eropa, Amerika, dan Kanada, negeri Belanda-lah yang
menempati urutan teratas dalam jumlah prosentase
pengguna sepedanya. Di negeri ini, prosentase
rata-rata pengguna sepeda mencapai 30% dan pejalan
kaki 18% dari total moda perjalanan yang ada. (Lihat
tabel John Pucher, Transportation Quarterly,
1998-2001). Negeri ini memiliki jumlah penduduk 16
juta orang, namun menurut statistik jumlah sepeda di
Belanda ada 18 juta. Jadi lebih banyak jumlah sepeda
dibanding dengan populasi penduduknya.


Tabel 1-Tabel perbandingan prosentase moda perjalanan
untuk semua tujuan di antara negara-negara maju di
Eropa, Amerika dan Kanada. (sumber: John Pucher,
Transportation Quarterly, 1998-2001).


Pada tabel itu, negara Amerika menempati urutan
terendah dalam penggunaan sepeda. Maka dapat
dimengerti jika negeri paman sam ini juga terkenal
paling boros dalam penggunaan energi, khususnya BBM.
Dapat diduga, tampaknya ada korelasi antara kebutuhan
minyak mereka dengan jumlah pengguna sepeda dan
pejalan kaki dibanding dengan pengguna mobil di negara
itu. Dari tabel John Pucher tersebut, diperlihatkan
bahwa prosentase jumlah pengguna sepeda hanya 1% dan
pejalan kaki hanya 9% dari total moda perjalanan
lainnya. Sementara prosentase terbesarnya adalah
pengguna mobil yang mencapai 84%.

Meski demikian, negara Amerika juga melakukan usaha
penghematan energi ini dengan di antaranya memperbesar
proyek pembuatan jalur sepeda dan pejalan kaki.
Tercatat, sejak tahun 1998 hingga awal 2003, negeri
ini telah mengucurkan dana sebesar 3 milyar dollar AS
khusus untuk proyek pembuatan jalur sepeda dan pejalan
kaki melalui Transportation Equity Act untuk abad 21.
(Janet Larsen, Earth Policy Institute, 2002).

Demikianlah upaya kota-kota dan negara-negara itu
dalam membangun jalur sepeda dan pejalan kaki. Kalau
sudah jelas alasan dan argumentasi pentingnya
bersepeda dan berjalan kaki bagi penghematan energi di
kota dan bahkan negara, apalagi yang ditunggu-tunggu.
Membangun infrastrukturnya pun mudah dan murah. Ini
hanya membutuhkan kesadaran dan political will dari
pemerintah, untuk segera merumuskan langkah nyata dan
kebijakan yang memihak kepada pengguna sepeda dan
pejalan kaki tersebut. Ini agar prosentase pengguna
sepeda dan pejalan kaki meningkat, sehingga makin
menghemat energi dan mengurangi polusi udara di kota.

Memang prakteknya tidak semudah menggagasnya. Untuk
mensukseskan kebijakannya dan sekaligus sebagai
rangkuman bagian ini, paling tidak dapat dilakukan
beberapa hal, pertama, lakukan dengan cara konsep
“mengundang” yakni buat jalur khusus sepeda dan
pedestrian beserta penyeberangannya yang aman dan
nyaman. Kedua, lakukan kampanye dan contoh nyata dari
para pejabat, pada hari-hari tertentu mereka juga
bersepeda ke kantor seperti di Bogota tersebut.

Ketiga, buat undang-undang perlindungan, khususnya
undang-undang keistimewaan (privilege) bagi pengguna
sepeda dan pejalan kaki. Sudah semestinya pemihakan
lebih diberikan kepada moda transportasi yang hemat
energi dan ramah lingkungan seperti ini. Keempat, buat
aturan untuk kelancaran, keamanan dan kenyamanannya.
Khusus untuk pedagang kaki lima (PKL) yang berpeluang
mengambil tempat di jalur sepeda dan pedestrian, perlu
pendekatan tersendiri dalam penanganannya. Dan kelima,
lakukan ketegasan penegakan aturan, hukum dan
Undang-Undang. Wallahu alam bishawwab. (bersambung).

***

Bambang Setia Budi

Peneliti ISTECS bidang Kajian Tata Kota, Staf
Departemen Arsitektur ITB dan Kandidat Doktor
Arsitektur di Toyohashi University of Technology,
Jepang.
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

published @ www.beritaiptek.com
Rabu, 9 November 2005 22:56:01



__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Kirim email ke