Puisi Hamka untuk NATSIR 

Senin, 23 April 2007 

Hussein Umar berpulang. "Kita kehilangan seorang
pejuang yang istiqamah,"
kata Prof. Didin Hafidhudin. Baca Catatan Akhir Pekan
[CAP] Adian Husaini
ke-191 

[Pesan Terakhir Hussein Umar]

Oleh: Adian Husaini

Kamis, 19 April 2007, umat Islam Indonesia kehilangan
seorang pejuang Islam
yang tangguh, Hussein Umar. Dia adalah ketua umum
Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia. Sebuah SMS belasungkawa yang masuk ke HP
saya menyatakan, "singa
podium" itu telah pergi meninggalkan kita." Ya, memang
julukan itu sangat
tepat. Hussein Umar adalah seorang orator ulung. Tapi,
dia bukan 'dai
artis', yang hanya bicara dakwah dan perjuangan di
atas panggung. Seluruh
waktu, pikiran, dan hidupnya dicurahkan untuk dakwah. 

Bang Hussein - panggilan akrab Hussein Umar - memang
pengagum para tokoh
Masyumi. Salah satunya, Prof. Kasman Singodimedjo,
seorang yang jika
berpidato adalah laksana singa (Singo di Medjo).
Hussein Umar sering
mengungkap cerita kegigihan dan keberanian Kasman.
Ketika Kasman dalam
tahanan Orde Lama dan dipaksa untuk membuat pengakuan
yang tidak
dilakukannya, Kasman justru menantang petugas itu
untuk menembaknya. Ketika
dihadapkan padanya seorang perwira yang membuat cerita
palsu tentang
dirinya, Kasman justru membentak perwira itu dan
menyatakan, "Taubat kamu!"
Perwira itu pun gemetar dibentak Kasman dan mengaku
dia dipaksa untuk
membuat cerita palsu.

Cerita lain seputar Kasman, salah satu tokoh idola
Hussein Umar. Suatu saat
Kasman berkunjung ke daerah pedalaman. Ketika mobil
harus menyeberangi
sungai di atas satu jembatan yang rapuh, pengantarnya
meminta Kasman turun
dan membiarkan sopir itu membawa mobilnya sendiri.
Kasman marah dengan
tindakan yang mau selamat sendiri itu dan membiarkan
orang kecil celaka. Dia
meminta semua naik mobil bersama-sama, selamat
bersama, dan celaka pun harus
bersama-sama. Tidak pandang orang berpangkat atau
orang biasa. Sampai-sampai
Kasman membentak, "Syahadat ulang kamu!"

Hussein Umar menceritakan semua kisah itu dalam
berbagai kesempatan,
mengajak generasi berikutnya untuk meneladani
kisah-kisah teladan para
pejuang terdahulu. Maka, ketika saya berkunjung ke
rumahnya, Rabu
(18/4/2007) pagi - sekitar dua jam sebelum beliau di
bawa ke rumah sakit -
Bang Hussein juga menceritakan berbagai kisah teladan
para tokoh Masyumi
dalam dakwah. Salah satu yang saat itu ditekankan
kepada saya adalah puisi
Hamka yang ditulis untuk Natsir, saat berlangsungnya
Sidang Konstituante
tahun 1957. 

Ketika itu, Bang Hussein bertanya kepada saya,"Sudah
baca puisi Hamka yang
ditulis untuk Pak Natsir dalam sidang Konstituante? "
Saya jawab, "Belum!" Ia
lalu berdiri, masuk ke dalam kamar dan mengambil
sebuah buku berjudul "Islam
Sebagai Dasar Negara", karya Moh. Natsir, terbitan
Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia. Bang Hussein memang kami kenal sebagai
orang yang rajin dan
telaten dalam mengkoleksi data-data yang penting. 

"Ini bacalah!," ujarnya menunjuk pada puisi Hamka yang
tertera dalam bagian
depan buku "Islam sebagai Dasar Negara". Saya pun
terpana membaca puisi
tersebut, kata demi kata, baris demi baris. Inilah
puisi gubahan Hamka yang
diberi judul "Kepada Saudaraku M. Natsir". Puisi ini
ditulis Hamka di Ruang
Sidang Konstituante pada 13 November 1957, setelah
mendengar pidato Moh.
Natsir di Majlis Konstituante: 

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi 

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi 

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu .......!

Dalam kondisi tubuh yang lemah, tapi dengan suara yang
bergetar, Bang
Hussein mengucapkan dua baris terakhir puisi Hamka:
Dan aku pun masukkan,
dalam Daftarmu...! 

Pidato Natsir dalam Sidang Konstituante tersebut
memang luar biasa. Sebagai
seorang ulama dan sastrawan, Hamka pun terpana dengan
pidato Natsir itu,
sampai menuliskan sebuah puisi khusus untuk Natsir.
Ketika itulah, Natsir
mengupas tuntas kelemahan sekularisme, yang dia
katakan sebagai paham tanpa
agama, atau la diiniyah. Sekularisme, kata Natsir,
adalah suatu cara hidup
yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di
dalam batas keduniaan.
"Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai
salah satu sumber
kepercayaan dan pengatahuan. Ia menganggap bahwa
kepercayaan dan nilai-nilai
itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas
kehewanan manusia
semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia
dalam kehidupan
sekarang ini belaka," ujar Natsir. 

Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang
Konstituante agar menjadikan
Islam sebagai dasar negara RI. Kata Natsir, "Jika
dibandingkan dengan
sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama
masih lebih dalam dan
lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan
hidup bagi masyarakat
dan perseorangan yang dapat diberikan oleh
sekularisme, tidak melebihi
konsep dari apa yang disebut humanity
(perikemanusiaan) . Yang menjadi soal
adalah pertanyaan, "Dimana sumber perikemanusiaan
itu?" 

Tokoh-tokoh Masyumi - yang kemudian mendirikan Dewan
Da'wah Islamiyah
Indonesia - adalah para pejuang Islam yang gigih dalam
mengajukan
konsep-konsep Islam, secara ilmiah dan argumentatif.
Tetapi, mereka juga
konsisten dalam memegang teguh aturan main secara
konstitusional. Ketika
perjuangan melalui jalur partai politik terganjal,
para tokoh Masyumi pun
menempuh jalur dakwah di masyarakat, masjid,
pesantren, dan perguruan
tinggi. Istilah mereka, dakwah adalah laksana air yang
mengalir, tidak boleh
berhenti, dan tidak bisa dibendung.

Rabu (18/4/2007) sekitar pukul 06.00 hari itu saya
tidak bermaksud menjumpai
Bang Hussein Umar. Ketika itu, saya sedang meluncur
menuju satu tempat di
Tanah Abang, Jakarta, menemui seorang teman dari Kuala
Lumpur. Tapi, entah
kenapa, berulang kali HP-nya gagal saya hubungi. Maka,
di luar rencana
semula, saya segera mengalihkan tujuan. Saya menelepon
Bang Hussein Umar -
panggilan akrab Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia (DDII). Sudah
berbulan-bulan, sejak beliau menjalani operasi jantung
di Kuala Lumpur, saya
tidak berbincang dengan Bang Hussein. "Ya Adian, saya
sudah kangen juga,"
ujarnya dari ujung telepon, sangat hangat, menyambut
telepon saya. 

Ketika saya datang, Bang Hussein sudah siap menyambut.
Disiapkannya dua
potong roti bakar untuk saya. Menyusul kemudian
segelas minuman coklat
hangat. Tapi, ada yang tidak biasa dengan
pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Kondisinya terlihat lelah. Ia tampak sedikit
menggigil. Sebuah jaket hitam
dikenakannya. "Saya merasa dingin sekali, tidak
seperti biasanya," ujarnya.
Berulang kali ia harus keluar masuk, mengeluarkan
dahak batuknya. Akhirnya,
diambilnya sebuah plastik untuk menampung dahaknya.
Namun, semua itu tidak
mematahkan semangatnya untuk terus berbincang tentang
berbagai masalah
dakwah dan kenegaraan. 

Sosok Hussein Umar adalah sosok dai dan politisi
Muslim yang melanjutkan
tradisi perjuangan para pendahulunya. "Beliau bukan
manusia biasa. Kita
kehilangan seorang pejuang yang istiqamah. Kita semua
menjadi saksi," kata
Prof. Didin Hafidhudin, mengantar kepergian Bang
Hussein. Semua orang yang
mengenal dekat Hussein Umar akan memiliki pendapat
yang sama. Dua puluh
tahun lalu, ketika saya masih aktif di lembaga
kemahasiswaan Islam, Hussein
Umar sudah saya kenal dengan materi khasnya,
"problematika umat". Hingga
kini, apa yang diperjuangkannya pun tidak bergesar.
Hussein Umar tetap
istiqamah dalam rel dakwah yang sama. Dia tidak pindah
rel dan pindah jalur.
Meskipun aktif dalam belasan lembaga dakwah, sosial,
atau politik, Hussein
Umar tetap membawa program "tegakkan syariat Islam di
bumi Indonesia!" 

Selain mengingatkan perlunya istiqamah dalam dakwah,
dalam perbincangan Rabu
pagi di rumahnya itu, Bang Hussein juga mengingatkan
agar para aktivis
dakwah jangan sampai melupakan jasa-jasa para pejuang
Islam Indonesia masa
lalu. "Karena jasa-jasa mereka, kita bisa menikmati
situasi di Indonesia
saat ini," ujarnya. Ia pun berpesan, agar dalam dakwah
tidak muncul sikap
tergesa-gesa ingin menikmati hasil. "Semua perlu
proses dan kesabaran.
Jangan kita bisa dijebak lagi, karena ingin
cepat-cepat menuai hasil, lalu
masuk dalam skenario yang justru akan menghancurkan
gerakan dakwah,"
nasehatnya. 

Rabu pagi itu, saya sempat meminta Bang Hussein untuk
bersedia ditulis
biografinya. Judulnya pun sudah kami sepakati, yaitu
"Meluruskan Sejarah".
Beliau adalah seorang pelaku sejarah yang sangat
penting untuk kita gali
pengalamannya. Salah satu keprihatinan yang sempat
diungkapkannya adalah
adanya upaya pemutarbalikan sejarah G-30S/PKI yang
menghilangkan peran umat
Islam. Setelah itu, di Dewan Da'wah pun saya mengajak
sejumlah teman untuk
menulis birografinya. 

Biasanya jika berkunjung ke rumah Bang Hussein,
selepas shalat subuh, kami
berbincang selama berjam-jam. Beliau adalah guru yang
sangat kaya pengalaman
dan memiliki ruh dakwah yang tidak pernah padam. Tapi,
melihat tubuhnya yang
melemah dan menggigil dengan batuk yang tiada henti,
saya pun segera
berpamitan. "Saya juga mau istirahat," ujarnya. Maka,
kami pun berpisah.
Beliau mengantarkan saya sampai keluar pintu pagar dan
menutup pagarnya
sendiri. 

Rupanya, itulah perjumpaan saya terakhir dengan Bang
Hussein. Menurut cerita
putranya, sekitar dua jam setelah saya meninggalkan
rumahnya, beliau harus
dibawa ke rumah sakit, karena kondisinya memburuk.
Padahal, operasi
jantungnya di Kuala Lumpur berlangsung lancar. Beliau
pun sudah mulai
berkantor, seminar, khutbah, dan sebagainya. Tapi,
Allah menghendaki lain.
Allah mengabulkan keinginan Bang Hussein untuk
menghadap-Nya dalam kondisi
aktif dalam dakwah. Beliau tidak ingin pensiun dari
dakwah. 

Dan keesokan harinya, Kamis (19/4/2007), selepas
shalat subuh, sebuah kabar
duka saya terima, Bang Hussein telah tiada jam 04.00
pagi. Segera saya
meluncur ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, saya lihat
tubuh Bang Hussein
terbujur, dengan wajah yang sangat teduh dan tenang.
Selamat jalan Bang
Hussein! Doa kami menyertaimu. Kami akan melanjutkan
perjuanganmu. 

Seperti ujung puisi Hamka untuk Natsir: "Dankami pun
masukkan; Dalam
Daftarmu!" Allahumma ighfirlahu warhamhu wa'afihi
wa'fu'anhu. [Jakarta, 20
April 2007/ www.hidayatullah. com] 

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil
kerjasama antara Radio
dakta 107 FM dan www.hidayatullah. com

Source : http://hidayatullah .com/index. php?option=
com_content
<http://hidayatullah .com/index. php?option=
com_content& task=view& id=4591&Item
id=55> &task=view&id= 4591&Itemid= 55

[

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

============================================================
Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, Juni 2008.
------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email dengan attachment tidak dianjurkan, sebaiknya melalui jalur pribadi.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >300KB.
2. Email dikirim untuk banyak penerima.
--------------------------------------------------------------
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-config
* Membaca dan Posting email lewat web, bisa melalui mirror mailing list di:
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
http://groups.google.com/group/RantauNet?gvc=2
dengan mendaftarkan juga email anda disini dan kedua mirror diatas.
============================================================

Kirim email ke