Assalaalu'alaikum sanaks, Bagi nan alun mengikuti/mambaco wawancara DR. Mochtar Naim ko, rancak disimak. Wassalam/ajoduta/58 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dulu Ranah Minang dikenal sebagai gudangnya ulama, pemikir Islam, pujangga, juga gudangnya seniman. Ada sejumlah nama besar misalnya Imam Bonjol, Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, HAMKA, Sutan Takdir Alisjahbana, Mohammad Natsir, AA Navis, Taufiq Ismail, dan lain-lain. Kehidupan masyarakatnya juga kental nilai-nilai keislaman. Bahkan muncul istilah Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Namun saat ini daerah yang dulu dikenal sebagai gudangnya ulama itu telah mengalami banyak perubahan. Ranah Minang tidak lagi dikitari ulama. Prinsip hidup Adat basandi syarak nyaris lepas dari genggaman. Nilai-nilai yang ada di masyarakat semakin longgar. Bahkan saat ini menjadi sasaran kristenisasi. Kondisi yang ironis, lumbung ulama menjadi proyek pemurtadan. Salah satu akar masalahnya adalah sangat sedikitnya orang Minang yang mau berkiprah di daerahnya. "Semua pergi merantau". Tidak hanya pedagangnya, tapi juga para cendekiawan dan ulamanya. Di antara sedikit orang yang masih mau berkiprah di daerah adalah Mochtar Naim (68), cendekiawan Muslim sekaligus sosiolog dari Universitas Andalas. Tapi kini Urang Awak ini juga ditarik ke Jakarta menjadi anggota MPR Utusan Daerah sekaligus anggota Badan Pekerja. `Generasi surau Ranah Minang' ini lahir di Sungai Penuh, Kerinci, 1932. Tetapi putra kesayangan pasangan Naim-Kamalat (almarhum) ini besar di Bukitttinggi. Pendidikannya pun dilakoni di kota yang banyak melahirkan tokoh dan ulama ternama itu, yakni SR dan HIS (1946), SMP (1949), dan SMA (1952). Naim kemudian masuk UGM Fakultas Hukum-Ekonomi-Sosial Politik. Tapi setahun kemudian ia pindah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), IAIN Sunan Kalijaga sekarang, Fakultas Da'wah. Sekaligus masuk Fakultas Ekonomi UII. Belum sampai lulus, datang tawaran beasiswa ke McGill University Montreal Kanada (1957). Berangkatlah lelaki sederhana ini ke Kanada sampai meraih gelar MA dengan tesis "Sebab-sebab Keberhasilan NU Memenangi Pemilu 1955" (1961). Ia lanjutkan ke New York University dan meraih kandidat PhD bidang sosiologi. Tak mau banyak menyia-nyiakan waktu, Mochtar nyambi bekerja di Kedubes RI untuk PBB, mengajar di Cornell University, dan menjadi guru besar tamu bidang Bahasa Indonesia di Oswego New York. Tahun 1968 pulang ke Padang, mendirikan Pusat Studi Kebudayaan Minangkabau yang bergerak di bidang penelitian. Dari aktivitas di LSM ini Mochtar bisa melanjutkan pendidikan di Universitas Singapura (1970) atas bantuan Ford Foundation. Disertasi berjudul "Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau" mengantarnya meraih gelar doktor bidang sosiologi dengan predikat cumlaude (1974). Hingga saat ini, disertasinya menjadi textbook para sosiolog yang ingin mempelajari berbagai aspek bebudayaan Minang. Selain sebagai politisi dan sosiolog, Naim juga dikenal sebagai ustadz dan demonstran. Ketika demonstrasi menentang Soeharto masih muncul di Jakarta, di Padang Mochtar Naim beserta mahasiswa menggalang aksi demonstrasi. Karenanya keluarga Naim sering kali menerima teror melalui telepon. "Dari dulu saya dianggap musuhnya Orde Baru". Mochtar Naim sedih melihat daerahnya menjadi sasaran pemurtadan secara besar-besaran. Generasi muda dan para ABG menjadi sasaran utamanya. "Segala macam cara dilakukan." Kata Naim kepada Pambudi Utomo dari Sahid dan freelancer Mustaqim Dalang di rumahnya yang asri, kampung Air Tawar, Padang. Selain bicara soal kristenisasi di Padang, Naim juga banyak bicara tentang otonomi daerah, kerusuhan di daerah-daerah, hubungan Islam Kristen, pemerintahan Gus Dur, dan banyak lagi. Berikut petikannya. Ranah Minang kini menjadi proyek pemurtadan secara besar-besaran, bisa Anda ceritakan? Orang Minang yang selama ini dikenal sangat kental agama Islamnya juga menjadi sasaran kristenisasi. Dan kondisi kultur masyarakatnya saat ini memanglah bangun dan bangkit mengobarkan perlawanan terhadap hukum-hukum yang dikeluarkan Rusia. Maka mereka melakukan perlawanan terus-menerus pada peperangan Arimah tahun 1735 masehi. Rusia merasa ketakutan juga menghadapi serangan terus- menerus yang dilancarkan Bhaskiriya lalu diumumkanlah penghapusan segala permusuhan-permusuhan yang berkesinambungan. Kemudian Bhaskiriya melanjutkan perlawanan di tahun 1187 H, 1773 M. Ketika kaum muslim Bhaskiriya telah menikkan. Metode yang mereka gunakan apa saja? Segala macam cara. Membuka sekolah, rumah sakit, bantuan-bantuan, menerjemahkan Injil, perkawinan, dan semacamnya. Sama saja dengan daerah lain. Tapi selama ini mereka tidak begitu berhasil karena keislaman orang Minang cukup kuat. Tapi akhirnya jebol juga... Itulah kenyataannya. Banyak faktor lain yang secara langsung atau tidak justru mendorong keberhasilan kristenisasi. Pendangkalan aqidah Islamiyah generasi terakhir ini menjadi sasaran empuk bagi mereka. Minang pun tak sekuat dulu lagi. Apalagi orang-orang Nasrani begitu rapi organisasinya. Meski minoritas, mereka begitu kuat. Bisa Anda lukiskan, bagaimana pertahanan masyarakat Islam di sana? Menyedihkan! Anak-anak sekolah makin sedikit yang bisa membaca al-Qur'an. Barangkali saat ini anak-anak SMP dan SMU yang shalat jumlahnya lebih sedikit dibanding yang tidak shalat. Orang tua juga mengabaikan pendidikan agama anak-anaknya karena sibuk mencari nafkah. Dulu hampir tidak ada kaum ibu yang bekerja meniti karir. Sekarang terbalik, kalau tidak bekerja akan merasa malu karena sudah sekolah dan berpendidikan tinggi. Mereka nggak sadar telah mengalami kerugian begitu besar karena gaji yang ibu-ibu terima tidak sebanding dengan rusaknya moral generasi yang menjadi tanggung jawabnya. Ada pemikiran untuk membendungnya? Perkuat aqidah Islamnya. Jadilah orang Islam yang kaffah, tidak setengah-tengah. Selain itu, perlu ada tindakan tegas tentang kristenisasi ini. DPRD Tk I NTB misalnya (Mochtar baru saja inspeksi kerusuhan di Mataram -red) saya sarankan agar mengeluarkan peraturan daerah yang melarang gerakan-gerakan keagamaan apa saja untuk mempropagandai orang-orang yang telah beragama. Jadi ada kekuatan hukum. Di MPR juga akan saya desak agar mengeluarkan peraturan serupa. Dan ada satu hal yang amat penting untuk diperhatikan, yakni kembali `menghidupkan' keluarga. Inilah pangkal dari kerusakan selama ini. Selain itu, harus ada gerakan baru di kalangan ummat Islam. Perjuangan Islam jangan lagi setengah-setengah. Harus total dan penuh, disertai kesadaran tinggi bahwa kita ini orang Islam. Selama ini kan masih terkesan ada keengganan berjuang untuk Islam, bahkan merasa rendah diri kalau mengasosiasikan diri menjadi Islam. Termasuk misalnya memberangkatkan pasukan jihad ke daerah kerusuhan berbau agama? Itu bagus sekali. Dan tidak usah banyak ngomong, lakukan! Jihad dalam arti luas, tidak sekadar perang. Misalnya yang dilakukan dokter-dokter dari Yarsi, bagus sekali itu. Pergilah ke Ambon, Ternate, Halmahera, obati orang-orang di sana, berbuat konkret. Ummat Islam di mana saja harus membantu juga. Misalnya dengan mengumpulkan dana. Ini harus dilakukan. Bisa dijelaskan lebih detil lagi tentang kemunduran pemahaman Islam di Ranah Minang? Kita lihat secara kaleidoskopik sehingga bisa diketahui perubahannya ya. Kenapa berubah? Ini permasalahan sosiologik sehingga memang harus dijawab secara sosiologik pula. Memang saya rasakan itu. Di masa saya kecil, anak laki-laki dari umur 7 tahun sampai akil baligh atau menjelang kawin, tinggal di surau. Saya adalah bagian dari itu, generasi surau. Rasanya malu kalau tinggal dan tidur di rumah gadang sebab di sana ada somando (suami dari saudara-saudara perempuan seperti bibi). Saudara-saudara perempuan ini biasa menerima suaminya di dalam kamar mereka masing-masing. Untuk anak laki-laki, tidak disediakan kamar tersendiri. Kalau akan tidur di rumah, ya di ruang tengah, ramai-ramai. Anak laki-laki yang sudah mengenal aurat wanita akan merasa malu kalau harus tidur di rumah. Maka tak pernah ada cerita pelecehan seksual, apalagi pelacuran dan sejenisnya. Kalau sampai itu terjadi, hukumannya adalah dihajar dan dibuang dari komunitasnya. Nah, mereka akhirnya tidur di surau. Anak-anak muda itu tak pernah memimpikan bantal dan kasur empuk. Mereka hanya beralas tikar dan sarung. Di sinilah mereka ditempa, mendapat berbagai macam pelajaran agama, kemasyarakatan, beladiri, adat istiadat, menyelesaikan urusan sendiri seperti cuci pakaian, bahkan menjahit dan mengganti kancing baju. Jadi sejak dini anak laki-laki sudah terbiasa berhadapan dengan masalah-masalah sosial. Seringkali waktunya lebih banyak tersita untuk masyarakat daripada untuk diri sendiri. Tak heran bila organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah, dulu kebanyakan terdiri atas orang Minang. Dimanapun orang Minang berada, baik itu di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dsb, pertama yang dicari adalah surau dan lembaga sosial. Hal itulah yang saat ini menurun, bahkan hilang. Ini bermula saat tentara Indonesia mencari tokoh-tokoh PRRI tahun 1958, dan mereka menganggap bahwa surau adalah markasnya. Sejak itu anak-anak tak lagi mau tinggal di surau, tetapi tinggal di rumah bersama orang tuanya. Ulama yang sebelumnya menjadi tempat mengadu tak lagi mampu berperan secara optimal karena surau tak lagi berfungsi. Lambat laun generasi surau menghilang. Rumah gadang yang menjadi lambang kebersamaan dan kerukunan itu pun hanya laris untuk objek wisata. Bedanya generasi yang besar di surau dan generasi masa kini? Jelas ada. Saya lihat anak-anak lelaki sekarang yang tak akrab dengan surau semakin berkurang kejantanannya, kurang maskulin, kurang mampu memperlihatkan jatidirinya. Memang mereka sekolah, tetapi pola pendidikan sekolah yang salah selama ini ternyata justru membunuh kreativitas dan kegiatan-kegiatan sosial. Sementara yang perempuan semakin cengeng. Mereka tak lagi terbiasa menyapu dan membersihkan rumah, memasak, dsb karena pekerjaan itu dipandang hanya cocok untuk pembantu. Apalagi orang tua tak bisa berperan secara benar karena sibuk mencari materi. Peran keluarga hilang dan menyerahkan bulat-bulat kepada pembantu. Ibu yang semestinya mendidik anak-anak di rumah pun bekerja, demi menambah income untuk beli lipstik, bedak, atau biaya kursus kebugaran. Dan ini tak hanya terjadi di Minang, tapi di seluruh negeri ini. Profil anak muda seperti ini akan gamang menghadapi berbagai permasalahan zaman. Kecenderungan penakut dan hedonismelah yang akhirnya muncul. Itu pula yang menyebabkan Ranah Minang kesulitan melahirkan tokoh besar seperti dulu? Salah satu faktornya adalah pergeseran budaya itu. Faktor lain, masalah politis juga berperan besar dalam menjauhkan orang Minang dari budaya aslinya. Saat ini Minangkabau, atau mudahnya Sumatera Barat, telah menjadi bagian integral dari Indonesia. Dia tak lagi menjadi tuan di negerinya sendiri, tetapi hanyalah suatu bagian kecil yang dikendalikan dan diarahkan. Dulu, Sumbar adalah sebuah entity (sungguh-sungguh ada), kesatuan utuh yang mempunyai otonomi dan independensi. Dia yang menentukan sendiri terhadap apa yang dimauinya. Agama Islamnya utuh, adatnya utuh, budayanya utuh. Minang menjadi daerah yang `merdeka' dalam menentukan nasibnya. Dari situlah lahir tokoh-tokoh besar. Kini, Sumbar telah dikendalikan oleh luar. Sistem yang berlaku secara nasional berbeda dengan apa yang ada sebelumnya. Ada kontradiksi di sini. Kontradiksi seperti apa? Kita bisa lihat, misalnya dibuat dikotomi Minang dengan budayanya, dan Indonesia. Minang berpikir secara integrated (kesatuan) yang utuh, satu sama lain saling terkait. Itulah sebabnya di Minang tak pernah ada konflik antara agama dan adat. Orang Minang adalah orang Islam, dan orang Indonesia, di dalam suatu kesatuan. Di sini ada istilah `Duduk sama rendah tegak sama tinggi'. Dalam hal kepemimpinan, menganut sistem primus interfares, yakni pemimpin yang dipilih atau diangkat dari kedudukan yang sama dengan pemilihnya. Selesai tugasnya, kembali dia kembali menjadi warga biasa. Tak ada yang namanya darah biru atau bangsawan, pembedaan status dengan bahasa yang bertingkat-tingkat, dsb. Apa yang harus dilakukan orang Minang sendiri? Ya harus memerdekakan diri, menghilangkan ketergantungan kepada pihak lain. Tatkala kita dihadapkan pada pilihan-pilihan, kita punya kemerdekaan untuk memilih yang terbaik untuk kita. Selama ini, pilihan itu ditentukan oleh pusat. Akibatnya, kita tidak bisa mengembangkan kreativitas dan berbagai potensi yang ada. Nah, pasungan dan belenggu semacam ini harus dipecahkan. Ini tak hanya berlaku untuk Minang, tapi seluruh Indonesia. Kalau ini bisa dilakukan, insya Allah dalam satu generasi mendatang kondisinya akan sangat berbeda dengan sekarang. Kerusuhan dan Pemerintahan Gus Dur Mengapa orang Indonesia sangat mudah melakukan tindakan anarkis sehingga muncul berbagai kerusuhan? Karena akar permasalahan di berbagai tempat yang akhirnya meletus selama ini tak pernah diselesaikan. Salah satu akar yang cukup sensitif dan mencuat akhir-akhir ini adalah pihak gereja dan orang-orang Kristen tidak pernah mau menerima kesepakatan bersama seperti SKB 3 menteri beberapa waktu lalu, yang antara lain berisi larangan propaganda kepada orang-orang yang telah beragama. Mereka jalan terus, dengan berbagai macam cara, baik terbuka maupun terselubung. Mereka himpun anak jalanan, gelandangan, korban narkotika, ke panti rehabilitasi, dan agama dipindah ke Kristen. Itu berjalan terus selama puluhan tahun. Wajar kalau ummat Islam kehilangan kesabaran. Di Mataram itu, tiap hari warga di sana membaca dan mendengar berita memilukan tentang saudara sesama Muslim di Ambon yang dibantai orang Kristen. Di masjid pun dihabisi. Hati siapa yang tidak akan mendidih? Jadi sesungguhnya mereka hendak mengingatkan kepada pemerintah dan orang-orang Kristen. Lombok yang selama ini nggak ada apa-apa pun meledak, karena kesabaran ummat Islam di sana sudah habis. Anda percaya ketika pemerintah menyebut provokator? Provokator itu siapa? Sampai saat ini tak ada seorangpun yang mampu membuktikan siapa provokator itu, sementara kita gampang betul menyebut provokator. Di Mataram yang baru saja saya saksikan sendiri, lebih bersifat spontanitas. Ada rapat akbar yang diizinkan aparat setempat, dan tidak ada pidato-pidato yang sifatnya membakar emosi massa. Begitu bubar, massa lantas merusak dan membakar gereja. Bodoh betul aparat negara, tidak bisa membuktikan satu pun provokator yang kerap terlontar di banyak tempat kerusuhan. Gus Dur sendiri sering bilang. Buktikan dong! Tangkap! Di masa Orde Baru ada istilah oknum. Eh...sekarang provokator. Kalau memang benar ada provokatornya, saya kira akan gampang. Banyak yang kuatir kerusuhan akan menyebar ke daerah lain, bagaimana? Kalau pemerintah terus seperti ini, situasinya akan semakin memburuk. Menurut prediksi saya, kalau situasi ini tak juga reda dalam satu dua bulan mendatang, kita bisa kolaps. Apa yang sudah dilakukan untuk Aceh, Maluku, Irian, Riau? Nggak jelas kan? Muncul lagi Mataram. Sebentar lagi siapa tahu akan terjadi pergolakan di daerah lain? Tindakan Gus Dur sendiri selama ini tidak mengurangi masalah, tapi justru menambah persoalan. Pemerintah belum mampu menemukan konsep untuk meredam masalah keamanan ini. Gus Dur dengan tentara kelihatannya tidak sejalan. Dia juga bolak-balik ke luar negeri untuk meyakinkan para investor. Tapi situasi keamanan tidak mereda, bagaimana investor mau datang ke sini? Mungkin perlu oposisi untuk menekan? Itu salah satu cara. Saya sangat setuju kalau oposisi dilembagakan. Partai-partai yang tidak duduk di pemerintah, jadilah oposisi. Tentu yang oposisi di sini selalu dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar. Kalau salah ya disalahkan, kalau benar ya harus dipuji dan didukung. Saat ini tidak jelas. Anggota partai yang duduk di kabinet, DPR, dan MPR, nggak jelas apakah dia pendukung pemerintah atau oposisi. Misalnya partai Islam sendiri, seperti PPP, PAN, PKB, nggak jelas posisinya. Sekali-sekali saja ada suara partainya. Saya sependapat dengan Nurcholis Madjid bahwa perlu ada oposisi. Tapi bukan dalam arti oposisi seperti di Barat, yang benar dioposisi juga. Jadi tentang pemerintahan Gus Dur, bagaimana pendapat Anda? Terus terang saya gelisah, karena sudah 50 hari (saat wawancara ini dilakukan -red), belum terlihat garis ke depan yang jelas. Dalam kabinet sendiri muncul gesekan-gesekan yang makin mengeras. Sebenarnya ini disebabkan oleh ulah Gus Dur juga. Misalnya kasus KKN 3 menterinya, pembukaan hubungan dengan Israel, dsb. Gus Dur juga seringkali mengambil alih tugas-tugas yang mestinya dikerjakan menteri-menteri sehingga seolah-olah dialah yang menyetir semuanya. Tak pernah memberi kesempatan kepada menteri-menterinya untuk berkiprah luas. Selain itu, sifat-sifatnya yang nyeleneh, kontroversial, ngomong seenaknya, urakan, yang selama ini sudah melekat pada dirinya, dibawa terus sampai saat ini. Belum-belum sudah bertengkar dengan Mahathir (PM Malaysia), dengan Amien Rais. Yang baik tentu saja banyak, tapi yang nggak baik dibawa juga. Jadi masa pemerintahan Gus Dur sampai saat ini merupakan masa yang tidak jelas. Tentang enam tuntutan yang selama ini disampaikan pejuang reformasi? Nggak jelas juga. Sebentar dipegang, kemudian dilepaskan. Kasus pengadilan mantan presiden Soeharto misalnya, sempat dilakukan SP3, sekarang ditarik dan digali lagi. Pengangkatan Sofjan Wanandi, mantan buron itu, menjadi Ketua Dewan Pengembangan Usaha Nasional, juga aneh. Penangguhan penyelesaian masalah Aceh, komentar-komentarnya tentang kasus Ambon, dsb. Itu semua merisaukan. Prediksi Anda terhadap pemerintahan Gus Dur dalam mengatasi ancaman disintegrasi? Ini memang masalah besar yang harus ditangani sungguh-sungguh. Tetapi Gus Dur sendiri nggak berpikir seperti itu. Menurutnya, Aceh bukanlah ancaman serius. Begitu pula Ambon dan daerah lain. Saya juga gelisah memikirkan hal ini. Pernikahannya dengan wanita asal Padangpanjang, Hj Asma, SH (59) membuahkan empat orang anak. Prosesi pernikahan Mochtar-Asma tergolong unik. Saat itu Mochtar tengah ada di New York, Asma masih di UGM Yogyakarta, sementara keluarga keduanya ada di Sumatera Barat. Komunikasi lantas dijalin lewat surat. Di secarik kertas pula Mochtar-Asma sepakat untuk menikah. Cuma, bagaimana caranya? Akhirnya adik kandung kedua mempelai disepakati sebagai wakil pengantin, dan berlangsunglah prosesi pernikahan itu (1962). Rupanya teman-teman Mochtar di Yogya merasa iba sebab pengantin baru itu tak menjadi satu. Asma pun `dipaketkan' ke New York. "Begitu sampai, kami bingung, mau ngapain? Saya dan dia kan belum merasa menikah jadi belum bisa berbuat apa-apa?" Diadakanlah prosesi pernikahan lagi di sebuah masjid Brooklyn, New York. Berhubung imam masjidnya orang Maroko, pernikahan pun dilangsungkan sesuai adat Maroko. Selesai? Ternyata belum. Teman-teman kerja Mochtar di Kedubes RI untuk PBB juga berinisiatif menyelenggarakan perayaan pula. Untuk ketiga kalinya resepsi pernikahan Mochtar-Asma diadakan. "Begitu rumitnya sehingga kami begitu sulit berpisah," ujar kakek 5 cucu ini sembari tergelak. Kini, keempat anaknya: Ir Amalia (35), Ir Emil (34), Ir Evira (30), dan Mutia, ST (28), telah menjadi `orang'. Semua alumnus ITB. Banyak orang begitu respek kepada keluarga Mochtar yang amat harmonis dan berhasil itu. Kuncinya? Pendidikan agama. Hj Asma pun begitu total menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga. Ia tak bekerja sampai anak terakhirnya berusia remaja. Begitu keempat anaknya sudah bisa mengurus dirinya sendiri, Asma yang sarjana hukum ini berani buka praktik pengacara. Selain intens bergelut dengan dunia akademis dan riset, Mochtar juga aktif di berbagai organisasi sosial-kemasyarakatan. Ia pernah menyumbangkan kemampuannya sebagai konsultan DPU dalam bidang pengembangan perkotaan dan kewilayahan, serta tim persiapan perencanaan pembangunan Sumatera bagian utara (1977). Pria yang rambutnya telah memutih ini juga berkecimpung di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, ICMI, Islamic Centre, dsb. Tak lupa pula mebina generasi muda Muslim Minang yang tergabung dalam Yayasan Amal Saleh Padang. Itulah sebabnya kakek tua yang bersemangat muda ini harus sering pulang-balik Jakarta-Padang karena kedudukannya sebagai Panitia Ad Hoc 2 Badan Pekerja MPR juga amat dibutuhkan banyak pihak. Ada yang menarik dari perjalanan Mochtar ke gedung wakil rakyat. Pemrakarsa Forum Ukhuwah Partai-Partai Islam Sumbar ini jauh sebelum terbentuk Poros Tengah di pusat sebenarnya Ketua Umum DPW Partai Umat Islam. Tapi berhubung perolehan suara PUI begitu minim, ia dipastikan tak bisa melenggang ke Senayan. Ternyata tokoh-tokoh dari berbagai kalangan di Sumbar `ngotot' agar mantan Dewan Penasihat DPD PPP ini ke Jakarta. Jadilah ia sebagai anggota MPR lewat Utusan Daerah. Oke saja, meski `terpaksa'. "Bagaimana tidak. Saya yang terbiasa santai dan pakai sandal, sekarang harus pakai dasi, sepatu mengkilat, dan jas. Selain karena aturan protokoler, saya nggak kuat menahan dinginnya udara AC." Dukungan itu tak sia-sia sebab suara Mochtar cukup lantang. Dialah yang mengusulkan perlunya pemberian `kemerdekaan' kepada daerah serta referendum nasional untuk mengatasi ancaman disintegrasi yang saat ini menjadi tantangan terbesar pemerintahan era reformasi. Otonomi Daerah Pemerintah merencanakan pelaksanaan otonomi daerah. Bisakah mengembalikan `kemerdekaan' daerah-daerah di Indonesia? Otonomi daerah seperti apa? Kebijakan otonomi kan sudah ada sejak UU No 5 Th 1974. Tapi apa yang kita lihat? Tetap saja sentralisasi, konsentrasi ke pusat. Jadi amat tergantung pada praktik pelaksanaannya. Percuma saja otonomi kalau tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Pengalaman otonomi daerah selama ini sangat tidak memuaskan. Jadi harus merdeka? Itu syarat nomor satu (Naim mengucapkannya dengan mimik serius). Hanya orang merdekalah yang bisa menentukan nasibnya sendiri. Merdeka lepas dari negara RI? Merdeka adalah conditio sine qua non (syarat mutlak), tidak bisa ditawar-tawar. Itulah yang membedakan kita dengan budak. Tanpa merdeka dan kemerdekaan, tidak akan ada apa-apa. Oleh karena itu kita perlu pemerdekaan, pembebasan. Itulah yang kita perjuangkan karena selama ini hilang. Tugas utama kita adalah mengembalikan kemerdekaan itu. Jadi, merdeka dalam arti seperti itu yang saya maksud. Kemerdekaan dituangkan dalam bentuk sistem demokrasi. Dan merdeka itu memerlukan wadah berupa sistem demokrasi seperti yang dimaksud UUD negara ini. Agar itu bisa jalan, perlu otonomi. Maka tidak ada demokrasi tanpa otonomi, dan sebaliknya. Ternyata, selama ini kita dicekoki sistem sentralistik, sampai urusan peniti saja harus lapor ke pusat. Di Pemda, pada zaman Orba, beli mesin ketik saja harus lapor ke Sekretariat Negara. Bayangkan, betapa terpusatnya sistem pemerintahan zaman Soeharto itu. Sampai-sampai dulu, di setiap bandara dan pesawat terbang, isinya cuma dua macam manusia: Cina dan pejabat. Semua dibawa ke Jakarta. Dan ini terjadi di seluruh Indonesia. Otonomi hanyalah menjadi janji gombal! Karena itu kita akan terus menunggu, seperti apa pelaksanaan otonomi daerah yang ditawarkan pemerintah saat ini. Bagaimana dengan daerah-daerah yang menginginkan lepas dari Indonesia? Begitulah kenyataannya. Ada daerah yang kaya, ada yang miskin, ada yang sedang-sedang saja. Yang kaya ingin merdeka, lepas dari kesatuan RI. Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Irian Jaya merasa lebih baik berdiri sendiri daripada di bawah penjajahan pusat. Opsi pertama yang mereka tuntut adalah merdeka, yang kedua federasi. Kalau pemerintah masih saja memperlakukan daerah seperti dulu, tuntutan semacam itu akan terus bergema. Bagaimana cara memecahkan masalah itu? Dalam suatu kesempatan saya mengusulkan kepada MPR agar dilakukan referendum nasional. Dengan demikian kita akan tahu, daerah mana yang menginginkan federasi, kesatuan, dsb. Kita buat ketentuan, masing-masing baru boleh diterima kalau suaranya lebih dari 2/3, misalnya. Sejauh ini bagaimana respon wakil rakyat dan pemerintah? Inilah yang membuat saya masih bertanya-tanya, sebab hingga saat ini kekuatan pusat masih amat kuat. Saya sebagai anggota MPR setiap saat mengamati sehingga faham betul apa yang ada di kepala mereka (anggota legislatif dan eksekutif). Saya melihat ada yang aneh, baik di kepala anggota MPR maupun DPR. Mereka adalah wakil rakyat, tetapi belum-belum sudah mengurung diri, tidak pernah bertanya apa sih kehendak rakyat. Salah satu contoh, tatkala bertemu dengan pilihan antara negara kesatuan dan persatuan. Di tengah masyarakat wacana ini tengah diperbincangkan, berproses. Tetapi tiba-tiba MPR sudah menentukan bahwa kita tak boleh keluar dari negara kesatuan. Ini kan mengungkung diri namanya? Barangkali khawatir kalau daerah-daerah ini merdeka sehingga Indonesia terpecah-belah? Ya, tapi arti merdeka kan semestinya seperti yang saya uraikan tadi, yakni memberi kebebasan. Hati kecil saya merasakan bahwa hanya beberapa gelintir daerah saja yang ingin merdeka lepas dari negara RI. Banyak yang ingin federasi, bahkan otonomi. Kalau kita benar-benar menganut sistem demokrasi, berikan kedaulatan kepada rakyat, bukan MPR. Takut? Kenapa kita mesti takut kepada rakyat kita sendiri? Yang namanya orang Aceh itu, masih berpikir sebagai orang Indonesia kok. Aceh Merdeka memang riil, tetapi barangkali hanya minoritas. Menurut Anda, lebih baik otonomi atau federasi? Otonomi dan federasi hanyalah sebuah gradasi dalam suatu garis. Saya gambarkan urutannya adalah sentralisasi, otonomi, federasi, merdeka. Dalam konteks saat ini, kita memang dihadapkan pada pilihan antara otonomi dan federasi. Nah, menurut pendapat saya pribadi, akan saya katakan begini: kita mulai dengan otonomi. Kita lihat perkembangannya. Kalau bisa berjalan dengan baik sehingga tuntutan daerah dan pusat bisa terpenuhi, pertahankan kebijakan ini. Tetapi kalau tidak bisa berjalan dengan lancar, bisa saja kita berpindah ke federasi. Bukankah sistem federasi dulu pernah gagal? Ya, sejarah memang pernah mengatakan demikian. Tetapi untuk negara luas seperti Indonesia, dengan penduduk begitu banyak, beragam, federasi lebih cocok daripada otonomi. Kita lihat saja, umumnya negara-negara besar di dunia ini menganut federasi, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jerman, atau tetangga kita Malaysia. Ternyata negara-negara federal ini lebih stabil. Orang lalu takut pada fenomena perpecahan Rusia. Betul memang negara itu menganut federasi juga, tetapi khas, yakni dicekoki Marxisme yang mensovietisasikan negara-negara bagian. Rusia tak bisa dijadikan model. Jadi, sebenarnya federasi lebih sehat. Tapi beberapa kalangan elite politik masih banyak yang takut dengan wacana federasi? Yang takut adalah orang pusat yang mempunyai vested interest (kepentingan pribadi). Mereka khawatir tak dapat bagian, dan pusat menjadi miskin. Dalam bahasa Minang ada istilah bondong air bondong dedak, yang berarti seperti dedak (sekam) yang hanyut dibawa air. Banyak elite politik yang seperti itu karena senantiasa dihantui ketakutan kehilangan rezeki dan semacamnya. Nah, terjadilah tarik-menarik antara pihak yang konsisten dengan yang hanya menonjolkan kepentingan pribadi itu. Dalam konteks wacana federalisme, lahirlah perdebatan antara pembagian pusat dan daerah yang 40:60, 60:40, dsb. Apalagi di daerah-daerah yang memang sudah `jadi' seperti Riau dengan Caltex-nya, Aceh dengan Arun-nya. Orang Riau menggertak, kalau tidak dikasih 80%, kami akan merdeka. Inilah yang tengah berkecamuk saat ini, sehingga orang pusat sangat takut dengan federasi. Bukankah sebagian besar wakil rakyat berasal dari daerah? Memang, tetapi ketika sampai di pusat, pikirannya ya jadi orang pusat juga. Banyak yang takut jangan-jangan di-recall partainya. Kalau mereka tak mengikuti keinginan partai, bisa-bisa tersingkir. PDI-P misalnya, karena Mega memutuskan untuk mempertahankan negara kesatuan, semua orangnya ya begitu. Kenapa Mega bersikap seperti itu? Karena dia adalah titisan dari ayahnya yang bersikap begitu. Nah, ini dituangkan ke dalam keputusan partai, sehingga semua anggota partainya juga harus mempertahankan negara kesatuan. Ini yang lucu, sebab banyak daerah basis massa PDI-P justru menuntut federasi. Begitu pula Golkar, partainya solid mempertahankan negara kesatuan, sementara daerah yang menjadi pendukungnya menginginkan federasi. Anda yang tergabung dalam kelompok Poros Tengah (PT), bagaimana menghadapi hal ini? Memang ada polarisasi antara kelompok PT dan nasionalis. PT yang merupakan kombinasi kekuatan Islam dan daerah menganggap bahwa Jawa adalah daerah. Polarisasi ini sudah jelas terlihat dalam Sidang Umum MPR kemarin, misalnya ketika Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri dari bursa pencalonan presiden untuk memberi jalan kepada Gus Dur, supaya Megawati tidak tampil sebagai pemenang. Kalau dalam SU dulu PT keluar sebagai pemenang, bagaimana menghadapi kondisi tarik-menarik sekarang? Ini semua bergulir terus ya. Dalam dunia politik, banyak terjadi kompromi, lobi, take and give, dan segala macam. Itu sebabnya ada orang-orang PT yang duduk di pemerintahan. Dan pada saat ini, ada kesan bahwa kelompok PT tak lagi merasa di atas angin setelah di SU unggul. Pada awalnya, dengan naiknya Gus Dur, ada perkiraan bahwa PT akan menjadi pihak yang menentukan. Ternyata dalam perkembangannya Gus Dur lebih dekat kepada PDIP dan Golkar daripada PT. Gus Dur lebih mesra dengan Mega dan Akbar Tandjung daripada dengan Amien Rais. Maka bisa saya katakan bahwa PT saat ini sedang tidak gembira. Berarti kemesraan di SU dulu hanya di permukaan dan bersifat pragmatis semata? Memang seperti itu. Meski kita mempunyai basis massa yang sesungguhnya sama, tetapi friksi-friksi di antara kita tampak masih dominan sehingga kelompok PT atau Islam masih bersifat fragmented (terpecah). Kita lebih banyak kelahi di dalam, bukan kelahi menghadapi lawan. Saya baru saja dengar bahwa di dalam tubuh PAN juga ada friksi, sehingga konon ada yang ingin mendirikan Partai Amanat Nusantara. Ini merupakan gambaran betapa friksi di antara kita sendiri begitu besar On 11/25/05, F Kadir <[EMAIL PROTECTED] > wrote: A/S: Afdal, mungkin iko lah nan dakek ka final. Kalaulah ditambah jo musik setek nak nyo badaceh stek ndka, tolong dikirim baliak yo? fk Website http://www.rantaunet.org _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ____________________________________________________