Assalaalu'alaikum sanaks,
   
  Bagi nan alun mengikuti/mambaco wawancara DR. Mochtar Naim ko,
  rancak disimak.
   
  Wassalam/ajoduta/58
   
  
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 
  Dulu Ranah Minang dikenal sebagai gudangnya ulama, pemikir Islam, pujangga, 
juga gudangnya seniman. Ada sejumlah nama besar misalnya Imam Bonjol, Agus 
Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, HAMKA, Sutan Takdir Alisjahbana, Mohammad 
Natsir, AA Navis, Taufiq Ismail, dan lain-lain. Kehidupan masyarakatnya juga 
kental nilai-nilai keislaman. Bahkan muncul istilah Adat basandi syarak, syarak 
basandi Kitabullah. 

Namun saat ini daerah yang dulu dikenal sebagai gudangnya ulama itu telah 
mengalami banyak perubahan. Ranah Minang tidak lagi dikitari ulama. Prinsip 
hidup Adat basandi syarak nyaris lepas dari genggaman. Nilai-nilai yang ada di 
masyarakat semakin longgar. Bahkan saat ini menjadi sasaran kristenisasi. 
Kondisi yang ironis, lumbung ulama menjadi proyek pemurtadan.   Salah satu akar 
masalahnya adalah sangat sedikitnya orang Minang yang mau berkiprah di 
daerahnya. "Semua pergi merantau". Tidak hanya pedagangnya, tapi juga para 
cendekiawan dan ulamanya. Di antara sedikit orang yang masih mau berkiprah di 
daerah adalah Mochtar Naim (68), cendekiawan Muslim sekaligus sosiolog dari 
Universitas Andalas. Tapi kini Urang Awak ini juga ditarik ke Jakarta menjadi 
anggota MPR Utusan Daerah sekaligus anggota Badan Pekerja.   `Generasi surau 
Ranah Minang' ini lahir di Sungai Penuh, Kerinci, 1932. Tetapi putra kesayangan 
pasangan Naim-Kamalat (almarhum) ini besar di Bukitttinggi. Pendidikannya pun
 dilakoni di kota yang banyak melahirkan tokoh dan ulama ternama itu, yakni SR 
dan HIS (1946), SMP (1949), dan SMA (1952). Naim kemudian masuk UGM Fakultas 
Hukum-Ekonomi-Sosial Politik. Tapi setahun kemudian ia pindah Perguruan Tinggi 
Agama Islam Negeri (PTAIN), IAIN Sunan Kalijaga sekarang, Fakultas Da'wah. 
Sekaligus masuk Fakultas Ekonomi UII.   Belum sampai lulus, datang tawaran 
beasiswa ke McGill University Montreal Kanada (1957). Berangkatlah lelaki 
sederhana ini ke Kanada sampai meraih gelar MA dengan tesis "Sebab-sebab 
Keberhasilan NU Memenangi Pemilu 1955" (1961). Ia lanjutkan ke New York 
University dan meraih kandidat PhD bidang sosiologi. Tak mau banyak 
menyia-nyiakan waktu, Mochtar nyambi bekerja di Kedubes RI untuk PBB, mengajar 
di Cornell University, dan menjadi guru besar tamu bidang Bahasa Indonesia di 
Oswego New York.   Tahun 1968 pulang ke Padang, mendirikan Pusat Studi 
Kebudayaan Minangkabau yang bergerak di bidang penelitian. Dari aktivitas di 
LSM ini Mochtar bisa
 melanjutkan pendidikan di Universitas Singapura (1970) atas bantuan Ford 
Foundation. Disertasi berjudul "Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau" 
mengantarnya meraih gelar doktor bidang sosiologi dengan predikat cumlaude 
(1974). Hingga saat ini, disertasinya menjadi textbook para sosiolog yang ingin 
mempelajari berbagai aspek bebudayaan Minang.   Selain sebagai politisi dan 
sosiolog, Naim juga dikenal sebagai ustadz dan demonstran. Ketika demonstrasi 
menentang Soeharto masih muncul di Jakarta, di Padang Mochtar Naim beserta 
mahasiswa menggalang aksi demonstrasi. Karenanya keluarga Naim sering kali 
menerima teror melalui telepon. "Dari dulu saya dianggap musuhnya Orde Baru".   
Mochtar Naim sedih melihat daerahnya menjadi sasaran pemurtadan secara 
besar-besaran. Generasi muda dan para ABG menjadi sasaran utamanya. "Segala 
macam cara dilakukan." Kata Naim kepada Pambudi Utomo dari Sahid dan freelancer 
Mustaqim Dalang di rumahnya yang asri, kampung Air Tawar, Padang.   Selain 
bicara
 soal kristenisasi di Padang, Naim juga banyak bicara tentang otonomi daerah, 
kerusuhan di daerah-daerah, hubungan Islam Kristen, pemerintahan Gus Dur, dan 
banyak lagi. Berikut petikannya.   Ranah Minang kini menjadi proyek pemurtadan 
secara besar-besaran, bisa Anda ceritakan?   Orang Minang yang selama ini 
dikenal sangat kental agama Islamnya juga menjadi sasaran kristenisasi. Dan 
kondisi kultur masyarakatnya saat ini memanglah bangun dan bangkit mengobarkan 
perlawanan terhadap hukum-hukum yang dikeluarkan Rusia. Maka mereka melakukan 
perlawanan terus-menerus pada peperangan Arimah tahun 1735 masehi. Rusia merasa 
ketakutan juga menghadapi serangan terus- menerus yang dilancarkan Bhaskiriya 
lalu diumumkanlah penghapusan segala permusuhan-permusuhan yang 
berkesinambungan. Kemudian Bhaskiriya melanjutkan perlawanan di tahun 1187 H, 
1773 M. Ketika kaum muslim Bhaskiriya telah menikkan.   Metode yang mereka 
gunakan apa saja?   Segala macam cara. Membuka sekolah, rumah sakit,
 bantuan-bantuan, menerjemahkan Injil, perkawinan, dan semacamnya. Sama saja 
dengan daerah lain. Tapi selama ini mereka tidak begitu berhasil karena 
keislaman orang Minang cukup kuat.   Tapi akhirnya jebol juga...   Itulah 
kenyataannya. Banyak faktor lain yang secara langsung atau tidak justru 
mendorong keberhasilan kristenisasi. Pendangkalan aqidah Islamiyah generasi 
terakhir ini menjadi sasaran empuk bagi mereka. Minang pun tak sekuat dulu 
lagi. Apalagi orang-orang Nasrani begitu rapi organisasinya. Meski minoritas, 
mereka begitu kuat.   Bisa Anda lukiskan, bagaimana pertahanan masyarakat Islam 
di sana?   Menyedihkan! Anak-anak sekolah makin sedikit yang bisa membaca 
al-Qur'an. Barangkali saat ini anak-anak SMP dan SMU yang shalat jumlahnya 
lebih sedikit dibanding yang tidak shalat. Orang tua juga mengabaikan 
pendidikan agama anak-anaknya karena sibuk mencari nafkah. Dulu hampir tidak 
ada kaum ibu yang bekerja meniti karir. Sekarang terbalik, kalau tidak bekerja 
akan merasa malu
 karena sudah sekolah dan berpendidikan tinggi. Mereka nggak sadar telah 
mengalami kerugian begitu besar karena gaji yang ibu-ibu terima tidak sebanding 
dengan rusaknya moral generasi yang menjadi tanggung jawabnya.   Ada pemikiran 
untuk membendungnya?   Perkuat aqidah Islamnya. Jadilah orang Islam yang 
kaffah, tidak setengah-tengah. Selain itu, perlu ada tindakan tegas tentang 
kristenisasi ini. DPRD Tk I NTB misalnya (Mochtar baru saja inspeksi kerusuhan 
di Mataram -red) saya sarankan agar mengeluarkan peraturan daerah yang melarang 
gerakan-gerakan keagamaan apa saja untuk mempropagandai orang-orang yang telah 
beragama. Jadi ada kekuatan hukum. Di MPR juga akan saya desak agar 
mengeluarkan peraturan serupa. Dan ada satu hal yang amat penting untuk 
diperhatikan, yakni kembali `menghidupkan' keluarga. Inilah pangkal dari 
kerusakan selama ini.   Selain itu, harus ada gerakan baru di kalangan ummat 
Islam. Perjuangan Islam jangan lagi setengah-setengah. Harus total dan penuh, 
disertai
 kesadaran tinggi bahwa kita ini orang Islam. Selama ini kan masih terkesan ada 
keengganan berjuang untuk Islam, bahkan merasa rendah diri kalau 
mengasosiasikan diri menjadi Islam.   Termasuk misalnya memberangkatkan pasukan 
jihad ke daerah kerusuhan berbau agama?   Itu bagus sekali. Dan tidak usah 
banyak ngomong, lakukan! Jihad dalam arti luas, tidak sekadar perang. Misalnya 
yang dilakukan dokter-dokter dari Yarsi, bagus sekali itu. Pergilah ke Ambon, 
Ternate, Halmahera, obati orang-orang di sana, berbuat konkret. Ummat Islam di 
mana saja harus membantu juga. Misalnya dengan mengumpulkan dana. Ini harus 
dilakukan.   Bisa dijelaskan lebih detil lagi tentang kemunduran pemahaman 
Islam di Ranah Minang?   Kita lihat secara kaleidoskopik sehingga bisa 
diketahui perubahannya ya. Kenapa berubah? Ini permasalahan sosiologik sehingga 
memang harus dijawab secara sosiologik pula.   Memang saya rasakan itu. Di masa 
saya kecil, anak laki-laki dari umur 7 tahun sampai akil baligh atau menjelang
 kawin, tinggal di surau. Saya adalah bagian dari itu, generasi surau. Rasanya 
malu kalau tinggal dan tidur di rumah gadang sebab di sana ada somando (suami 
dari saudara-saudara perempuan seperti bibi). Saudara-saudara perempuan ini 
biasa menerima suaminya di dalam kamar mereka masing-masing. Untuk anak 
laki-laki, tidak disediakan kamar tersendiri. Kalau akan tidur di rumah, ya di 
ruang tengah, ramai-ramai. Anak laki-laki yang sudah mengenal aurat wanita akan 
merasa malu kalau harus tidur di rumah. Maka tak pernah ada cerita pelecehan 
seksual, apalagi pelacuran dan sejenisnya. Kalau sampai itu terjadi, hukumannya 
adalah dihajar dan dibuang dari komunitasnya. Nah, mereka akhirnya tidur di 
surau. Anak-anak muda itu tak pernah memimpikan bantal dan kasur empuk. Mereka 
hanya beralas tikar dan sarung. Di sinilah mereka ditempa, mendapat berbagai 
macam pelajaran agama, kemasyarakatan, beladiri, adat istiadat, menyelesaikan 
urusan sendiri seperti cuci pakaian, bahkan menjahit dan mengganti
 kancing baju. Jadi sejak dini anak laki-laki sudah terbiasa berhadapan dengan 
masalah-masalah sosial. Seringkali waktunya lebih banyak tersita untuk 
masyarakat daripada untuk diri sendiri. Tak heran bila organisasi 
sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah, dulu kebanyakan terdiri atas orang 
Minang. Dimanapun orang Minang berada, baik itu di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, 
dsb, pertama yang dicari adalah surau dan lembaga sosial.   Hal itulah yang 
saat ini menurun, bahkan hilang. Ini bermula saat tentara Indonesia mencari 
tokoh-tokoh PRRI tahun 1958, dan mereka menganggap bahwa surau adalah 
markasnya. Sejak itu anak-anak tak lagi mau tinggal di surau, tetapi tinggal di 
rumah bersama orang tuanya. Ulama yang sebelumnya menjadi tempat mengadu tak 
lagi mampu berperan secara optimal karena surau tak lagi berfungsi. Lambat laun 
generasi surau menghilang. Rumah gadang yang menjadi lambang kebersamaan dan 
kerukunan itu pun hanya laris untuk objek wisata.   Bedanya generasi yang besar 
di surau dan
 generasi masa kini?   Jelas ada. Saya lihat anak-anak lelaki sekarang yang tak 
akrab dengan surau semakin berkurang kejantanannya, kurang maskulin, kurang 
mampu memperlihatkan jatidirinya. Memang mereka sekolah, tetapi pola pendidikan 
sekolah yang salah selama ini ternyata justru membunuh kreativitas dan 
kegiatan-kegiatan sosial.   Sementara yang perempuan semakin cengeng. Mereka 
tak lagi terbiasa menyapu dan membersihkan rumah, memasak, dsb karena pekerjaan 
itu dipandang hanya cocok untuk pembantu. Apalagi orang tua tak bisa berperan 
secara benar karena sibuk mencari materi. Peran keluarga hilang dan menyerahkan 
bulat-bulat kepada pembantu. Ibu yang semestinya mendidik anak-anak di rumah 
pun bekerja, demi menambah income untuk beli lipstik, bedak, atau biaya kursus 
kebugaran. Dan ini tak hanya terjadi di Minang, tapi di seluruh negeri ini. 
Profil anak muda seperti ini akan gamang menghadapi berbagai permasalahan 
zaman. Kecenderungan penakut dan hedonismelah yang akhirnya muncul.  
 Itu pula yang menyebabkan Ranah Minang kesulitan melahirkan tokoh besar 
seperti dulu?   Salah satu faktornya adalah pergeseran budaya itu. Faktor lain, 
masalah politis juga berperan besar dalam menjauhkan orang Minang dari budaya 
aslinya. Saat ini Minangkabau, atau mudahnya Sumatera Barat, telah menjadi 
bagian integral dari Indonesia. Dia tak lagi menjadi tuan di negerinya sendiri, 
tetapi hanyalah suatu bagian kecil yang dikendalikan dan diarahkan. Dulu, 
Sumbar adalah sebuah entity (sungguh-sungguh ada), kesatuan utuh yang mempunyai 
otonomi dan independensi. Dia yang menentukan sendiri terhadap apa yang 
dimauinya. Agama Islamnya utuh, adatnya utuh, budayanya utuh. Minang menjadi 
daerah yang `merdeka' dalam menentukan nasibnya. Dari situlah lahir tokoh-tokoh 
besar. Kini, Sumbar telah dikendalikan oleh luar. Sistem yang berlaku secara 
nasional berbeda dengan apa yang ada sebelumnya. Ada kontradiksi di sini.   
Kontradiksi seperti apa?   Kita bisa lihat, misalnya dibuat dikotomi Minang
 dengan budayanya, dan Indonesia. Minang berpikir secara integrated (kesatuan) 
yang utuh, satu sama lain saling terkait. Itulah sebabnya di Minang tak pernah 
ada konflik antara agama dan adat. Orang Minang adalah orang Islam, dan orang 
Indonesia, di dalam suatu kesatuan. Di sini ada istilah `Duduk sama rendah 
tegak sama tinggi'. Dalam hal kepemimpinan, menganut sistem primus interfares, 
yakni pemimpin yang dipilih atau diangkat dari kedudukan yang sama dengan 
pemilihnya. Selesai tugasnya, kembali dia kembali menjadi warga biasa. Tak ada 
yang namanya darah biru atau bangsawan, pembedaan status dengan bahasa yang 
bertingkat-tingkat, dsb.   Apa yang harus dilakukan orang Minang sendiri?   Ya 
harus memerdekakan diri, menghilangkan ketergantungan kepada pihak lain. 
Tatkala kita dihadapkan pada pilihan-pilihan, kita punya kemerdekaan untuk 
memilih yang terbaik untuk kita. Selama ini, pilihan itu ditentukan oleh pusat. 
Akibatnya, kita tidak bisa mengembangkan kreativitas dan berbagai
 potensi yang ada. Nah, pasungan dan belenggu semacam ini harus dipecahkan. Ini 
tak hanya berlaku untuk Minang, tapi seluruh Indonesia. Kalau ini bisa 
dilakukan, insya Allah dalam satu generasi mendatang kondisinya akan sangat 
berbeda dengan sekarang.   Kerusuhan dan Pemerintahan Gus Dur   Mengapa orang 
Indonesia sangat mudah melakukan tindakan anarkis sehingga muncul berbagai 
kerusuhan?   Karena akar permasalahan di berbagai tempat yang akhirnya meletus 
selama ini tak pernah diselesaikan. Salah satu akar yang cukup sensitif dan 
mencuat akhir-akhir ini adalah pihak gereja dan orang-orang Kristen tidak 
pernah mau menerima kesepakatan bersama seperti SKB 3 menteri beberapa waktu 
lalu, yang antara lain berisi larangan propaganda kepada orang-orang yang telah 
beragama. Mereka jalan terus, dengan berbagai macam cara, baik terbuka maupun 
terselubung. Mereka himpun anak jalanan, gelandangan, korban narkotika, ke 
panti rehabilitasi, dan agama dipindah ke Kristen. Itu berjalan terus selama
 puluhan tahun. Wajar kalau ummat Islam kehilangan kesabaran. Di Mataram itu, 
tiap hari warga di sana membaca dan mendengar berita memilukan tentang saudara 
sesama Muslim di Ambon yang dibantai orang Kristen. Di masjid pun dihabisi. 
Hati siapa yang tidak akan mendidih? Jadi sesungguhnya mereka hendak 
mengingatkan kepada pemerintah dan orang-orang Kristen. Lombok yang selama ini 
nggak ada apa-apa pun meledak, karena kesabaran ummat Islam di sana sudah 
habis.   Anda percaya ketika pemerintah menyebut provokator?   Provokator itu 
siapa? Sampai saat ini tak ada seorangpun yang mampu membuktikan siapa 
provokator itu, sementara kita gampang betul menyebut provokator. Di Mataram 
yang baru saja saya saksikan sendiri, lebih bersifat spontanitas. Ada rapat 
akbar yang diizinkan aparat setempat, dan tidak ada pidato-pidato yang sifatnya 
membakar emosi massa. Begitu bubar, massa lantas merusak dan membakar gereja. 
Bodoh betul aparat negara, tidak bisa membuktikan satu pun provokator yang kerap
 terlontar di banyak tempat kerusuhan. Gus Dur sendiri sering bilang. Buktikan 
dong! Tangkap! Di masa Orde Baru ada istilah oknum. Eh...sekarang provokator. 
Kalau memang benar ada provokatornya, saya kira akan gampang.   Banyak yang 
kuatir kerusuhan akan menyebar ke daerah lain, bagaimana?   Kalau pemerintah 
terus seperti ini, situasinya akan semakin memburuk. Menurut prediksi saya, 
kalau situasi ini tak juga reda dalam satu dua bulan mendatang, kita bisa 
kolaps. Apa yang sudah dilakukan untuk Aceh, Maluku, Irian, Riau? Nggak jelas 
kan? Muncul lagi Mataram. Sebentar lagi siapa tahu akan terjadi pergolakan di 
daerah lain? Tindakan Gus Dur sendiri selama ini tidak mengurangi masalah, tapi 
justru menambah persoalan. Pemerintah belum mampu menemukan konsep untuk 
meredam masalah keamanan ini. Gus Dur dengan tentara kelihatannya tidak 
sejalan. Dia juga bolak-balik ke luar negeri untuk meyakinkan para investor. 
Tapi situasi keamanan tidak mereda, bagaimana investor mau datang ke sini?  
 Mungkin perlu oposisi untuk menekan?   Itu salah satu cara. Saya sangat setuju 
kalau oposisi dilembagakan. Partai-partai yang tidak duduk di pemerintah, 
jadilah oposisi. Tentu yang oposisi di sini selalu dalam rangka amar ma'ruf 
nahi munkar. Kalau salah ya disalahkan, kalau benar ya harus dipuji dan 
didukung. Saat ini tidak jelas. Anggota partai yang duduk di kabinet, DPR, dan 
MPR, nggak jelas apakah dia pendukung pemerintah atau oposisi. Misalnya partai 
Islam sendiri, seperti PPP, PAN, PKB, nggak jelas posisinya. Sekali-sekali saja 
ada suara partainya. Saya sependapat dengan Nurcholis Madjid bahwa perlu ada 
oposisi. Tapi bukan dalam arti oposisi seperti di Barat, yang benar dioposisi 
juga.   Jadi tentang pemerintahan Gus Dur, bagaimana pendapat Anda?   Terus 
terang saya gelisah, karena sudah 50 hari (saat wawancara ini dilakukan -red), 
belum terlihat garis ke depan yang jelas. Dalam kabinet sendiri muncul 
gesekan-gesekan yang makin mengeras. Sebenarnya ini disebabkan oleh ulah Gus
 Dur juga. Misalnya kasus KKN 3 menterinya, pembukaan hubungan dengan Israel, 
dsb. Gus Dur juga seringkali mengambil alih tugas-tugas yang mestinya 
dikerjakan menteri-menteri sehingga seolah-olah dialah yang menyetir semuanya. 
Tak pernah memberi kesempatan kepada menteri-menterinya untuk berkiprah luas. 
Selain itu, sifat-sifatnya yang nyeleneh, kontroversial, ngomong seenaknya, 
urakan, yang selama ini sudah melekat pada dirinya, dibawa terus sampai saat 
ini. Belum-belum sudah bertengkar dengan Mahathir (PM Malaysia), dengan Amien 
Rais. Yang baik tentu saja banyak, tapi yang nggak baik dibawa juga. Jadi masa 
pemerintahan Gus Dur sampai saat ini merupakan masa yang tidak jelas.   Tentang 
enam tuntutan yang selama ini disampaikan pejuang reformasi?   Nggak jelas 
juga. Sebentar dipegang, kemudian dilepaskan. Kasus pengadilan mantan presiden 
Soeharto misalnya, sempat dilakukan SP3, sekarang ditarik dan digali lagi. 
Pengangkatan Sofjan Wanandi, mantan buron itu, menjadi Ketua Dewan
 Pengembangan Usaha Nasional, juga aneh. Penangguhan penyelesaian masalah Aceh, 
komentar-komentarnya tentang kasus Ambon, dsb. Itu semua merisaukan.   Prediksi 
Anda terhadap pemerintahan Gus Dur dalam mengatasi ancaman disintegrasi?   Ini 
memang masalah besar yang harus ditangani sungguh-sungguh. Tetapi Gus Dur 
sendiri nggak berpikir seperti itu. Menurutnya, Aceh bukanlah ancaman serius. 
Begitu pula Ambon dan daerah lain. Saya juga gelisah memikirkan hal ini.   
Pernikahannya dengan wanita asal Padangpanjang, Hj Asma, SH (59) membuahkan 
empat orang anak. Prosesi pernikahan Mochtar-Asma tergolong unik. Saat itu 
Mochtar tengah ada di New York, Asma masih di UGM Yogyakarta, sementara 
keluarga keduanya ada di Sumatera Barat. Komunikasi lantas dijalin lewat surat. 
Di secarik kertas pula Mochtar-Asma sepakat untuk menikah. Cuma, bagaimana 
caranya? Akhirnya adik kandung kedua mempelai disepakati sebagai wakil 
pengantin, dan berlangsunglah prosesi pernikahan itu (1962).   Rupanya 
teman-teman
 Mochtar di Yogya merasa iba sebab pengantin baru itu tak menjadi satu. Asma 
pun `dipaketkan' ke New York. "Begitu sampai, kami bingung, mau ngapain? Saya 
dan dia kan belum merasa menikah jadi belum bisa berbuat apa-apa?" Diadakanlah 
prosesi pernikahan lagi di sebuah masjid Brooklyn, New York. Berhubung imam 
masjidnya orang Maroko, pernikahan pun dilangsungkan sesuai adat Maroko.   
Selesai? Ternyata belum. Teman-teman kerja Mochtar di Kedubes RI untuk PBB juga 
berinisiatif menyelenggarakan perayaan pula. Untuk ketiga kalinya resepsi 
pernikahan Mochtar-Asma diadakan. "Begitu rumitnya sehingga kami begitu sulit 
berpisah," ujar kakek 5 cucu ini sembari tergelak.   Kini, keempat anaknya: Ir 
Amalia (35), Ir Emil (34), Ir Evira (30), dan Mutia, ST (28), telah menjadi 
`orang'. Semua alumnus ITB. Banyak orang begitu respek kepada keluarga Mochtar 
yang amat harmonis dan berhasil itu. Kuncinya? Pendidikan agama.   Hj Asma pun 
begitu total menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga. Ia tak
 bekerja sampai anak terakhirnya berusia remaja. Begitu keempat anaknya sudah 
bisa mengurus dirinya sendiri, Asma yang sarjana hukum ini berani buka praktik 
pengacara.   Selain intens bergelut dengan dunia akademis dan riset, Mochtar 
juga aktif di berbagai organisasi sosial-kemasyarakatan. Ia pernah 
menyumbangkan kemampuannya sebagai konsultan DPU dalam bidang pengembangan 
perkotaan dan kewilayahan, serta tim persiapan perencanaan pembangunan Sumatera 
bagian utara (1977). Pria yang rambutnya telah memutih ini juga berkecimpung di 
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, ICMI, Islamic Centre, dsb. Tak lupa pula 
mebina generasi muda Muslim Minang yang tergabung dalam Yayasan Amal Saleh 
Padang. Itulah sebabnya kakek tua yang bersemangat muda ini harus sering 
pulang-balik Jakarta-Padang karena kedudukannya sebagai Panitia Ad Hoc 2 Badan 
Pekerja MPR juga amat dibutuhkan banyak pihak.   Ada yang menarik dari 
perjalanan Mochtar ke gedung wakil rakyat. Pemrakarsa Forum Ukhuwah 
Partai-Partai Islam
 Sumbar ini —jauh sebelum terbentuk Poros Tengah di pusat— sebenarnya Ketua 
Umum DPW Partai Umat Islam. Tapi berhubung perolehan suara PUI begitu minim, ia 
dipastikan tak bisa melenggang ke Senayan. Ternyata tokoh-tokoh dari berbagai 
kalangan di Sumbar `ngotot' agar mantan Dewan Penasihat DPD PPP ini ke Jakarta. 
Jadilah ia sebagai anggota MPR lewat Utusan Daerah. Oke saja, meski `terpaksa'. 
  "Bagaimana tidak. Saya yang terbiasa santai dan pakai sandal, sekarang harus 
pakai dasi, sepatu mengkilat, dan jas. Selain karena aturan protokoler, saya 
nggak kuat menahan dinginnya udara AC."   Dukungan itu tak sia-sia sebab suara 
Mochtar cukup lantang. Dialah yang mengusulkan perlunya pemberian `kemerdekaan' 
kepada daerah serta referendum nasional untuk mengatasi ancaman disintegrasi 
yang saat ini menjadi tantangan terbesar pemerintahan era reformasi.   Otonomi 
Daerah   Pemerintah merencanakan pelaksanaan otonomi daerah. Bisakah 
mengembalikan `kemerdekaan' daerah-daerah di Indonesia?  
 Otonomi daerah seperti apa? Kebijakan otonomi kan sudah ada sejak UU No 5 Th 
1974. Tapi apa yang kita lihat? Tetap saja sentralisasi, konsentrasi ke pusat. 
Jadi amat tergantung pada praktik pelaksanaannya. Percuma saja otonomi kalau 
tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Pengalaman otonomi daerah selama ini 
sangat tidak memuaskan.   Jadi harus merdeka? Itu syarat nomor satu (Naim 
mengucapkannya dengan mimik serius). Hanya orang merdekalah yang bisa 
menentukan nasibnya sendiri.   Merdeka lepas dari negara RI?   Merdeka adalah 
conditio sine qua non (syarat mutlak), tidak bisa ditawar-tawar. Itulah yang 
membedakan kita dengan budak. Tanpa merdeka dan kemerdekaan, tidak akan ada 
apa-apa. Oleh karena itu kita perlu pemerdekaan, pembebasan. Itulah yang kita 
perjuangkan karena selama ini hilang. Tugas utama kita adalah mengembalikan 
kemerdekaan itu. Jadi, merdeka dalam arti seperti itu yang saya maksud. 
Kemerdekaan dituangkan dalam bentuk sistem demokrasi. Dan merdeka itu 
memerlukan wadah
 berupa sistem demokrasi seperti yang dimaksud UUD negara ini. Agar itu bisa 
jalan, perlu otonomi. Maka tidak ada demokrasi tanpa otonomi, dan sebaliknya.   
Ternyata, selama ini kita dicekoki sistem sentralistik, sampai urusan peniti 
saja harus lapor ke pusat. Di Pemda, pada zaman Orba, beli mesin ketik saja 
harus lapor ke Sekretariat Negara. Bayangkan, betapa terpusatnya sistem 
pemerintahan zaman Soeharto itu. Sampai-sampai dulu, di setiap bandara dan 
pesawat terbang, isinya cuma dua macam manusia: Cina dan pejabat. Semua dibawa 
ke Jakarta. Dan ini terjadi di seluruh Indonesia. Otonomi hanyalah menjadi 
janji gombal! Karena itu kita akan terus menunggu, seperti apa pelaksanaan 
otonomi daerah yang ditawarkan pemerintah saat ini.   Bagaimana dengan 
daerah-daerah yang menginginkan lepas dari Indonesia?   Begitulah kenyataannya. 
Ada daerah yang kaya, ada yang miskin, ada yang sedang-sedang saja. Yang kaya 
ingin merdeka, lepas dari kesatuan RI. Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Irian Jaya
 merasa lebih baik berdiri sendiri daripada di bawah penjajahan pusat. Opsi 
pertama yang mereka tuntut adalah merdeka, yang kedua federasi. Kalau 
pemerintah masih saja memperlakukan daerah seperti dulu, tuntutan semacam itu 
akan terus bergema.   Bagaimana cara memecahkan masalah itu?   Dalam suatu 
kesempatan saya mengusulkan kepada MPR agar dilakukan referendum nasional. 
Dengan demikian kita akan tahu, daerah mana yang menginginkan federasi, 
kesatuan, dsb. Kita buat ketentuan, masing-masing baru boleh diterima kalau 
suaranya lebih dari 2/3, misalnya.   Sejauh ini bagaimana respon wakil rakyat 
dan pemerintah?   Inilah yang membuat saya masih bertanya-tanya, sebab hingga 
saat ini kekuatan pusat masih amat kuat. Saya sebagai anggota MPR setiap saat 
mengamati sehingga faham betul apa yang ada di kepala mereka (anggota 
legislatif dan eksekutif). Saya melihat ada yang aneh, baik di kepala anggota 
MPR maupun DPR. Mereka adalah wakil rakyat, tetapi belum-belum sudah mengurung 
diri, tidak
 pernah bertanya apa sih kehendak rakyat. Salah satu contoh, tatkala bertemu 
dengan pilihan antara negara kesatuan dan persatuan. Di tengah masyarakat 
wacana ini tengah diperbincangkan, berproses. Tetapi tiba-tiba MPR sudah 
menentukan bahwa kita tak boleh keluar dari negara kesatuan. Ini kan 
mengungkung diri namanya?   Barangkali khawatir kalau daerah-daerah ini merdeka 
sehingga Indonesia terpecah-belah?   Ya, tapi arti merdeka kan semestinya 
seperti yang saya uraikan tadi, yakni memberi kebebasan. Hati kecil saya 
merasakan bahwa hanya beberapa gelintir daerah saja yang ingin merdeka lepas 
dari negara RI. Banyak yang ingin federasi, bahkan otonomi. Kalau kita 
benar-benar menganut sistem demokrasi, berikan kedaulatan kepada rakyat, bukan 
MPR. Takut? Kenapa kita mesti takut kepada rakyat kita sendiri? Yang namanya 
orang Aceh itu, masih berpikir sebagai orang Indonesia kok. Aceh Merdeka memang 
riil, tetapi barangkali hanya minoritas.   Menurut Anda, lebih baik otonomi 
atau federasi?  
 Otonomi dan federasi hanyalah sebuah gradasi dalam suatu garis. Saya gambarkan 
urutannya adalah sentralisasi, otonomi, federasi, merdeka. Dalam konteks saat 
ini, kita memang dihadapkan pada pilihan antara otonomi dan federasi. Nah, 
menurut pendapat saya pribadi, akan saya katakan begini: kita mulai dengan 
otonomi. Kita lihat perkembangannya. Kalau bisa berjalan dengan baik sehingga 
tuntutan daerah dan pusat bisa terpenuhi, pertahankan kebijakan ini. Tetapi 
kalau tidak bisa berjalan dengan lancar, bisa saja kita berpindah ke federasi.  
 Bukankah sistem federasi dulu pernah gagal?   Ya, sejarah memang pernah 
mengatakan demikian. Tetapi untuk negara luas seperti Indonesia, dengan 
penduduk begitu banyak, beragam, federasi lebih cocok daripada otonomi. Kita 
lihat saja, umumnya negara-negara besar di dunia ini menganut federasi, seperti 
Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jerman, atau tetangga kita Malaysia. 
Ternyata negara-negara federal ini lebih stabil. Orang lalu takut pada fenomena
 perpecahan Rusia. Betul memang negara itu menganut federasi juga, tetapi khas, 
yakni dicekoki Marxisme yang mensovietisasikan negara-negara bagian. Rusia tak 
bisa dijadikan model. Jadi, sebenarnya federasi lebih sehat.   Tapi beberapa 
kalangan elite politik masih banyak yang takut dengan wacana federasi?   Yang 
takut adalah orang pusat yang mempunyai vested interest (kepentingan pribadi). 
Mereka khawatir tak dapat bagian, dan pusat menjadi miskin. Dalam bahasa Minang 
ada istilah bondong air bondong dedak, yang berarti seperti dedak (sekam) yang 
hanyut dibawa air. Banyak elite politik yang seperti itu karena senantiasa 
dihantui ketakutan kehilangan rezeki dan semacamnya. Nah, terjadilah 
tarik-menarik antara pihak yang konsisten dengan yang hanya menonjolkan 
kepentingan pribadi itu. Dalam konteks wacana federalisme, lahirlah perdebatan 
antara pembagian pusat dan daerah yang 40:60, 60:40, dsb. Apalagi di 
daerah-daerah yang memang sudah `jadi' seperti Riau dengan Caltex-nya, Aceh 
dengan
 Arun-nya. Orang Riau menggertak, kalau tidak dikasih 80%, kami akan merdeka. 
Inilah yang tengah berkecamuk saat ini, sehingga orang pusat sangat takut 
dengan federasi.   Bukankah sebagian besar wakil rakyat berasal dari daerah?   
Memang, tetapi ketika sampai di pusat, pikirannya ya jadi orang pusat juga. 
Banyak yang takut jangan-jangan di-recall partainya. Kalau mereka tak mengikuti 
keinginan partai, bisa-bisa tersingkir. PDI-P misalnya, karena Mega memutuskan 
untuk mempertahankan negara kesatuan, semua orangnya ya begitu. Kenapa Mega 
bersikap seperti itu? Karena dia adalah titisan dari ayahnya yang bersikap 
begitu. Nah, ini dituangkan ke dalam keputusan partai, sehingga semua anggota 
partainya juga harus mempertahankan negara kesatuan. Ini yang lucu, sebab 
banyak daerah basis massa PDI-P justru menuntut federasi. Begitu pula Golkar, 
partainya solid mempertahankan negara kesatuan, sementara daerah yang menjadi 
pendukungnya menginginkan federasi.   Anda yang tergabung dalam kelompok
 Poros Tengah (PT), bagaimana menghadapi hal ini?   Memang ada polarisasi 
antara kelompok PT dan nasionalis. PT yang merupakan kombinasi kekuatan Islam 
dan daerah menganggap bahwa Jawa adalah daerah. Polarisasi ini sudah jelas 
terlihat dalam Sidang Umum MPR kemarin, misalnya ketika Yusril Ihza Mahendra 
mengundurkan diri dari bursa pencalonan presiden untuk memberi jalan kepada Gus 
Dur, supaya Megawati tidak tampil sebagai pemenang.   Kalau dalam SU dulu PT 
keluar sebagai pemenang, bagaimana menghadapi kondisi tarik-menarik sekarang?   
Ini semua bergulir terus ya. Dalam dunia politik, banyak terjadi kompromi, 
lobi, take and give, dan segala macam. Itu sebabnya ada orang-orang PT yang 
duduk di pemerintahan. Dan pada saat ini, ada kesan bahwa kelompok PT tak lagi 
merasa di atas angin setelah di SU unggul. Pada awalnya, dengan naiknya Gus 
Dur, ada perkiraan bahwa PT akan menjadi pihak yang menentukan. Ternyata dalam 
perkembangannya Gus Dur lebih dekat kepada PDIP dan Golkar daripada PT.
 Gus Dur lebih mesra dengan Mega dan Akbar Tandjung daripada dengan Amien Rais. 
Maka bisa saya katakan bahwa PT saat ini sedang tidak gembira.   Berarti 
kemesraan di SU dulu hanya di permukaan dan bersifat pragmatis semata?   Memang 
seperti itu. Meski kita mempunyai basis massa yang sesungguhnya sama, tetapi 
friksi-friksi di antara kita tampak masih dominan sehingga kelompok PT atau 
Islam masih bersifat fragmented (terpecah). Kita lebih banyak kelahi di dalam, 
bukan kelahi menghadapi lawan. Saya baru saja dengar bahwa di dalam tubuh PAN 
juga ada friksi, sehingga konon ada yang ingin mendirikan Partai Amanat 
Nusantara. Ini merupakan gambaran betapa friksi di antara kita sendiri begitu 
besar 

    
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  

  On 11/25/05, F Kadir <[EMAIL PROTECTED] > wrote:       A/S:
   
  Afdal, mungkin iko lah nan dakek ka final. Kalaulah ditambah jo musik setek 
nak nyo badaceh stek ndka, tolong  dikirim baliak yo?

fk






Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
____________________________________________________

Kirim email ke