Takaik jo kondisi BUMN Penerbangan nan indak maju maju , barang kali pandapek pakar berikut ini patut di paratikan nan tamuek di Jawapost hari ini.
Rabu, 09 Feb 2005, Energi Positif dalam Perusahaan Oleh: Hermawan Kartajaya Selama dasawarsa terakhir ini, terjadi begitu banyak kasus kehancuran perusahaan yang menjadi perhatian publik dunia. Anda tentu masih ingat kasus Enron dan WorldCom di AS, Ahold di Belanda, Vivendi di Prancis, HIH di Australia, atau Cable & Wireless di Inggris. Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, dalam sekejap saja, bisa mengalami kegagalan luar biasa. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya adalah karena kurang bagusnya penerapan governance di perusahaan-perusahaan itu. Sebelum kolaps, perusahaan sekelas Enron, misalnya, merupakan panutan bagi orang luar karena terlihat sangat etis, bertanggung jawab, dan terhormat. Tapi, kenyataan yang terjadi di dalam ternyata sangat jauh berbeda dari image yang dibangun di luar. Kecurangan-kecurangan dilakukan dengan gampang dan etika bisnis dilanggar dengan mudah. Inilah yang memuluskan langkah-langkah perusahaan besar tadi menuju gerbang kehancuran. Nah, saya jadi teringat pada sebuah artikel yang pernah saya baca beberapa tahun lalu di majalah Fortune. Judulnya: "When Good Firms Get Bad Chi". Isi artikel itu sangat menggelitik. Dalam artikel tadi, diceritakan bahwa sebagian orang akan setuju bahwa kurangnya governance menjadi penyebab jatuhnya Enron. Tapi, tidak demikian dengan Meihwa Lin. Apa penyebabnya? Meihwa Lin ternyata adalah konsultan feng shui independen dari New York. Menurut dia, Enron jatuh karena kurang harmoni dalam logonya. Bentuk dan warna logo bisa mempengaruhi energi atau chi sebuah perusahaan. Logo Enron adalah simbol ketidakseimbangan. Logo itu terlihat bisa jatuh kapan saja sehingga memberikan energi negatif bagi Enron. Feng shui yang jelek! Itu biang keladi jatuhnya Enron. Jika saja Enron memikirkan feng shui dari logonya, mungkin perusahaan tersebut masih akan jaya sampai sekarang. Jika saja logo tersebut ditambah kotak atau lingkaran di sekelilingnya, mungkin peruntungannya akan berubah. Kotak yang melambangkan bumi dan lingkaran yang melambangkan langit akan bisa menutup ketidakstabilan logo tersebut. Itu pendapat Meihwa Lin dalam artikel tersebut. Jawaban yang menarik, bukan? Bahkan, karena artikel itu, saya sampai mengingatkan kepada Brand Credence, subsidiary dari MarkPlus&Co yang spesialis membantu perusahaan-perusahaan dalam menyusun brand, termasuk merancang logo, untuk juga memperhatikan feng shui. Jadi, selain maknanya, feng shui dari logo itu juga harus menjadi perhatian tersendiri. Nah, Anda tentu mengamati begitu banyak perusahaan yang membuat logo baru. Terutama beberapa bank dan perusahaan telekomunikasi yang akhir-akhir ini mengubah logo mereka. Anda pasti bertanya kenapa mesti diganti? Ada apa dengan logo yang lama? Perusahaan-perusahaan itu pasti punya jawaban masing-masing. Tetapi, menurut saya, tujuan utama mereka adalah membawa kesegaran baru di dalam perusahaan. Mereka ingin mengubah cara orang memandang mereka. Mereka mau menciptakan image baru. Bukan hanya di mata pelanggan, tetapi yang lebih penting adalah di mata karyawan. Bagaimana menciptakan suasana internal yang mendukung visi perusahaan. Ini, menurut saya, menjadi penerapan filosofi feng shui yang paling penting dalam branding sebuah perusahaan. Orang mungkin hanya akan berpikir untuk menggunakan feng shui dalam rangka melihat bagus tidaknya peruntungan logo mereka. Padahal, esensi feng shui adalah bagaimana menciptakan energi positif di dalam suatu lingkungan. Karena itu, inti filosofi feng shui untuk branding perusahaan adalah bagaimana perusahaan menciptakan harmonisasi di kalangan internalnya dalam rangka mendukung brand perusahaan itu sendiri. Mary Jo Hatch and Majken Schultz, dalam salah satu artikel di Harvard Business Review yang berjudul Are The Strategic Stars Aligned for Your Corporate Brand?, mengingatkan kita bahwa membentuk brand perusahaan itu tidak boleh main-main. Anda harus membangun harmonisasi tiga hal, yaitu vision, image, dan culture. Vision adalah apa yang Anda ingin capai dengan brand Anda. Sedangkan image adalah bagaimana Anda ingin orang luar melihat Anda. Culture adalah bagaimana cara Anda membuat karyawan mendukung brand Anda. Saya menyebutnya selling the brand inside. Menurut saya, culture adalah faktor yang sangat penting, tapi paling sering dilupakan perusahaan. Ingat perusahaan-perusahaan raksasa seperti Enron yang saya ceritakan di awal tadi? Lihat yang terjadi pada mereka. Image mereka yang bagus di luar tidak didukung oleh culture yang bagus di dalam. Saya setuju dengan Meihwa Lin bahwa kurangnya harmonisasi jadi sumber kegagalan Enron. Tapi, bukan semata-mata karena kurangnya harmonisasi pada logo, melainkan di seluruh internal perusahaan. Governance yang tidak dijalankan dengan baik. Ini yang menciptakan energi negatif yang berbuah kehancuran bagi Enron. Jadi, belajarlah dari Enron. Jangan membuat kesalahan yang sama dengan mereka. Perhatikanlah selalu harmonisasi di dalam perusahaan Anda. Itu akan menciptakan energi positif yang akan berbuah kesuksesan bagi Anda. Bagaimana pendapat Anda? Zulfikri <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Assalamulaikum, ww Sato manyolo sakatek. Sasuai bana pandapek ambo jo pandapek sanak Reza, Sawtanisasikan sajo BUMN ko tapi jan dijua pulo kalua nagari, hee... heeee... ----- Original Message ----- From: "M. Syahreza" To: ; "Palanta RantauNet" Sent: Wednesday, February 09, 2005 8:14 AM Subject: [EMAIL PROTECTED] 'Orang Dalam' Diprioritaskan Pimpin BUMN Penerbangan > Assalamu'alaikum wr.wb. > Memang trendnya BUMN untuk memperkaya pejabat teras dan oknum yang punya > kepentingan lainnya. Toh mereka juga rakyat, bukannya dalam pasal...(maaf lupa) > UUD 45 dikatakan bahwa "....(SDA) milik negara dan digunakan sebesar-besarnya > untuk kepentingan rakyat"...he...he...jadi mereka mensamarkan makna pasal ini. > Banyak tools dalam manajemen yang bisa dipakai untuk improvement. Di Garuda pun > banyak yang udah bergelar Doktor, Master dan gelar lainnya yang diakui > kapabilitasnya. Cuma saja implementasi dari tools dalam manajemen itu yang > selalu dibelokkan. Karena budaya orang Indonesia kebanyakan tidak mau komitmen > dengan apa yang disepakati bersama selama kesepakatan itu banyak merugikan > kepentingan pribadinya. Jadi hasil pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) > dari SD sampai SMA ditambah mata kuliah Kewiraan dan Pancasila waktu di > Universitas, ditambah Penataran P4 bagi Pegawai Negri aadalah NOL BESAR karena > banyak pejabat yang ndak mengaplikasikan butir Pancasila dalam kehidupannya. > Alias ndak bermoral atau jadi Tikus bagi bangsa Indonesia ini. Salah dan Dosa > siapa ini???????? > Ambo pun setuju bana kalau semua BUMN itu diSWASTANISASIKAN saja. > Biar kinerja dan produktivitas karyawan BUMN yang rada nyantai itu bisa lebih > ditingkatkan lagi. Sehingga income-nya bisa lebih ditingkatkan lagi. > > wassalam > Reza --------------------------------- Do you Yahoo!? Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term' ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________