----- Original Message -----
From: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, December 29, 2004 9:33 AM
Subject: @};- 2,5 jam di banda aceh

From:"cakbrewok" <[EMAIL PROTECTED]>
      12/29/2004 12:56 AM

senin 27 desember lalu saya berangkat ke banda aceh untuk liputan
buat associated press television news (salah satu media tempat saya
menjadi kontributor) ternyata apa yang saya saksikan disana jauh
lebih mengenaskan daripada sekedar menyaksikannya lewat layar kaca.

di sini saya bisa berinteraksi langsung dengan pada korban, baik yang
masih hidup maupun yang sudah mati. dengan yang hidup saya masih bisa
berbincang-bincang seadanya (tak etis rasanya saya menanyai mereka
panjang lebar karena mereka baru tertimpa bencana, dan saya tau
mungkin mereka belum makan sejak minggu pagi saat bencana itu
terjadi). saya juga bisa merasakan langsung kesedihan yang terpancar
dari wajah-wajah kuyu yang kecapaian dan masih trauma itu. mungkin
kalau saya mengerti bahasa aceh kesedihan itu bisa jadi berlipat-
lipat. sedangkan dengan si mati saya bisa melihat langsung kondisi
mereka yang sangat mengenaskan, mencium aroma yang konon
bisa "melekat" di tubuh anda selama sepekan. saya mendapat informasi
ini dari seorang dokter yang kebetulan sering berurusan dengan mayat.

dalam kunjungan singkat itu (sekitar 2,5 jam saja, sekitar satu jam
saya habiskan dengan terbengong di bandara iskandar muda karena tak
adanya alat transportasi ke kota) saya sempat menyaksikan kepanikan
luar biasa dari warga kota serambi mekah itu. beberapa tenda militer
didirikan tak jauh dari pintu keluar bandara. di jalan-jalan warga
bersileweran seperti orang ling-lung. mungkin masih trauma, atau
mungkin ada keluarganya yang hilang. atau malah sudah mati... kondisi
ini memaksa kendaraan yang melintas untuk berjalan pelan. waktu biasa
sekitar 20 menit dalam perjalan dari bandara ke kantor gubernuran
terasa menjadi lebih lama.

di lambaro saya bersama rombongan (3 dokter dari medan, seorang
anggota DPR RI asal aceh, kadis kesehatan pemprov. NAD, dan 2
jurnalis kantor berita xinhua beijing) singgah di lokasi pemakaman
massal. saat tiba disana, areal sekitar 20 m x 15 m itu sedang digali
dengan menggunakan excavator. penggalian belum selesai, 5 kantong
berisi mayat teronggok di pinggir lubang raksasa itu. sekitar 5 menit
mengambil gambar, kami melanjutkan perjalanan.

semakin jauh mendekati kota suasana chaos semakin terasa. crowd
manusia yang kebingungan semakin banyak terlihat. tak sedikit dari
mereka yang membawa buntalan-buntalan besar. mungkin pakaian, atau
harta yang tersisa. mobil-mobil dan sepeda motor lalu lalang dengan
lampu dihidupkan. sesekali ambulans melintas kencang. entah membawa
korban yang masih hidup, atau mayat yang sudah mulai membengkak. saya
tidak sempat memeriksa.

sebelumnya saya dengar banyak beredar rumor bakalan terjadi gempa dan
tsunami susulan. berita-berita seperti ini tentu menyesatkan karena
bisa saja menimbulkan hal tak diinginkan. entah siapa yang
menghembuskan, yang jelas banyak warga yang menjadi korban. mungkin
karena mereka masih trauma. sedikit saja terdengar jeritan, "air..."
niscaya orang-orang langsung berlarian menyelamatkan diri. si anggota
DPR RI sempat bercerita kalau dia juga sempat menjadi korban.

mendekati bundaran lambaro di aceh besar aura kehancuran dan kematian
semakin terasa. beberapa kali saya melihat mayat teronggok di pinggir
jalan. aroma udara yang terhirup juga mulai tak sedap. saya menduga
pasti ada konsentrasi pengumpulan mayat. dugaan saya benar. di
sebelah kiri simpang lambaro yang dikenal dengan sebutan bundaran
itu, tepatnya di depan kantor PMI teronggok sekitar 700 an mayat dari
berbagai tempat di kota banda aceh.

ya tuhan... saya hampir tak percaya dengan penglihatan sendiri.
selama saya bekerja sebagai jurnalis inilah konsentrasi mayat
terbanyak yang saya lihat! mayat-mayat itu membusuk lebih cepat
karena terendam air. saya sempat terbodoh sebentar, apalagi saat
melihat jejeran mayat anak kecil (mungkin berusia 5 tahunan). ada
lagi mayat anggota polisi yang masih berpakaian lengkap. ada mayat
seorang wanita yang biji matanya hampir mencelat. ada mayat yang
mulutnya masih mengeluarkan darah dan buih... ah... saya tidak tahu
kenapa saya begitu kuat siang itu. entah dimana air mata saya.
sebelumnya saya mendengar cerita seorang kameramen sctv yang menangis
sambil mengambil gambar. ada juga cerita seorang jurnalis lain yang
sampai tak sanggup mengambil gambar. bisa anda bayangkan?

tapi saya teringat saya tidak punya waktu banyak disitu. apalagi si
pemilik mobil kijang yang kami tumpangi juga sedang tergesa-gesa
hendak melanjutkan perjalanan mengantarkan 3 orang dokter yang
bersama saya itu. akhirnya camcorder saya hidupkan dan lensa kamera
mulai saya arahkan dengan beberapa variasi shoot. kamera saya juga
sempat merekam seorang bapak yang berusaha mengenali sesosok mayat
anak kecil dengan meraba-raba bagian belakang kepalanya. mungkin dia
berharap bisa mengenali si anak dari tanda lahir di belakang kepala
itu. sejenak dia seperti tidak yakin kalau itu putranya. dia terdiam.
tapi tiba-tiba dia menangis kencang dan terisak. sayang saya tidak
mengerti ucapannya. mata saya sempat berkaca-kaca...

sore itu orang-orang hilir mudik berusaha mengenali mayat demi mayat.
sedangkan tentara dan relawan palang merah indonesia mengangkati
mayat ke truk untuk diantarkan ke tempat pemakaman. truk lain masuk
ke lokasi mengantarkan mayat baru. entah dari mana. pasokan mayat
sepeti tak berhenti. sinar matahari yang lumayan terik membuat aroma
tak sedap semakin menyeruak. untunglah seorang teman yang terbiasa
dengan liputan yang berhubungan dengan orang mati pernah memberikan
resep. saat saya coba ternyata memang mujarab.

"kalau berada di dekat mayat, bagaimanapun kondisi dan bau nya,
jangan sekali-kali membuang ludahmu. karena itu bisa memancing
muntah. sebaiknya telanlah ludahmu kalau merasa ingin muntah,
bagaimanapun mualnya. mudah-mudahan kau tak akan muntah," kata si
teman.

teman yang memberikan resep adalah stringer salah satu kantor berita
asing di NAD. ingat dia saya sempat kuatir karena saya belum melihat
seorangpun jurnalis yang saya kenal disana. ada cerita kalau
kebanyakan para jurnalis tinggal di daerah dekat pantai. padahal
itulah lokasi yang paling ringsek dihantam tsunami. saya ngeri
membayangkan kalau dia ikut menjadi korban.

perjalanan lalu berlanjut. konsentrasi orang semakin banyak. di
sebuah spbu saya melihat antrian panjang orang. tak sedikit dari
mereka membawa jirigen plastik. antrian itu semakin tak tertib.
petugas spbu sepertinya sengaja menjatah karena persediaan tak banyak.

di sebelah kiri dan kanan jalan saya melihat gedung permanen
bertingkat yang rubuh karena gempa. kalau tidak salah, bangunan yang
di sebelah kiri gedung keuangan dan yang di sebelah kanan bangunan
gedung asuransi. saya ngeri membayangkan seandainya bencana terjadi
pada saat hari kerja. berapa banyak korban yang bakalan tertimpa?

oia, si kadis kesehatan yang menyetir mobil yang kami tumpangi cerita
kalau air (bah) sampai ke lokasi yang saya lihat. padahal jarak bibir
pantai dengan tempat tersebut hampir mencapai 15 kilometer. sebegitu
jauh, tapi air sampai kesitu. tinggi pula lagi. saya bisa melihat
bekas air bercampur lumpur dari tembok-tembok itu...

sampah-sampah dan kayu-kayu teronggok di pinggir jalan membuat
pemandangan semakin kumuh. "tadi pagi sampah-sampah masih di tengah
jalan. tapi barusan dibersihkan pakai buldoser," tambah si kadis.

beberapa mayat masih teronggok di pinggir jalan.

sayang saya tak bisa melihat detail ke seluruh tempat karena duduk
terjepit di tengah-tengah mobil. saya juga tak bisa mengambil gambar
dengan posisi seperti itu. ah, seandainya tadi saya bisa mencarter/
menyewa sebuah sepeda motor untuk berjalan sendiri. tentu gambar yang
saya dapat bisa jauh lebih  bagus. tapi saya ingat juga tak punya
waktu lama karena paling tidak mesti mengirimkan kaset untuk segera
dikirimkan ke jakarta.

mobil kami lalu berbelok mengarah ke kantor gubernuran. si kadis
rupanya hendak bertemu seseorang di sana sehingga tak sempat membawa
kami berkeliling lebih jauh. di pendopo gubernuran sudah banyak warga
yang mengungsi. tempat itu memang jauh lebih manusiawi dibanding
tempat-tempat yang saya lihat sebelumnya.

dalam sekian menit itu saya sempat menimbang-nimbang untuk terus
jalan sendirian atau ikut balik ke bandara dengan rombongan wapres
jusuf kalla. tapi tenggat waktu memaksa saya mengambil keputusan
cepat. apalagi cuma ada satu bus yang bisa saya tumpangi untuk
kembali ke bandara.

pertimbangannya, kalau saya tinggal saya mesti mencari sepeda motor
untuk dicarter. jangan berharap ada angkot atau taksi disana. kalau
saya tinggal, saya pasti akan kesusahan mencari penginapan dan
makanan. jangankan untuk saya, warga setempat saja sudah 2 hari tidal
makan. belum lagi saya betul-betul dengan medan banda aceh. saya
pernah ke kota ini hampir 17 tahun lalu. banyak perubahan bukan?

melihat orang-orang mulai menaiki bus yang akan kembali ke bandara
naluri saya memaksa untuk ikut. sempat saya kuatir, bagaimana kalau
paspampres memaksa saya untuk turun? tapi saya teringat deadline
untuk mengirimkan kaset hasil rekaman. tanpa berpikir panjang lagi
saya ikut naik ke bus. di dalam saya melihat najwa shihab (presenter
metro rv), beberapa wartawan dan fotografer lain dan seorang reporter
perempuan yang membawa-bawa camcorder berstiker TV7. belakangan saya
tahu kalau dia ternyata uni z. lubis.

perjalanan setengah jam kembali ke bandara ternyata belum berbeda
dengan saat saya menuju gubernuran tadi, selain orang-orang semakin
banyak dan jalanan semakin padat.

saat melintas dari lokasi pemakaman massal saya sempat melihat kalau
pemakaman belum dilakukan. padahal sore itu rencananya mesti
dikuburkan karena mayat bertambah dan yang jelas semakin menebar bau
tak sedap. saya berharap iring-iringan mobil wapres singgah di situ.
tapi rombongan jalan terus.

rombongan akhirnya berhenti di hanggar lanud iskandar muda. rupanya
wapres mau melihat pasokan bantuan yang baru tiba dari medan. sore
itu, 1 pesawat hercules baru saja landing membawa ratusan kardus
makanan dan obat-obatan. prajurit tni tampak hilir mudik mengangkuti
kardus-kardus itu dari lambung pesawat. tak lama wapres berangkat
naik helikopter untuk meninjau beberapa lokasi yang tak terjangkau
lewat jalan darat.

kesempatan itu lalu saya manfaatkan dengan berbincang-bincang dengan
kapolda nad irjen bachrumsyah.

"bencana ini memang sangat mengerikan dik. saya juga turut menjadi
korban. saya kehilangan kontak dengan banyak saudara-saudara saya.
saya tak bisa berharap banyak. kalau mereka masih hidup tentu
mujizat. kalaupun sudah tak ada, saya tak bisa berbuat apa-apa,"
katanya pada saya.

polisi berbintang dua dan berkumis lebat itu sepertinya memang sedang
depresi ringan. wajar-wajar saja karena dia mesti berkeliling kesana-
kemari. belum lagi laporan banyak anak buahnya yang hilang. termasuk
sekitar 1 kompi saat mereka mau apel pagi di minggu naas itu.
kelelahan terpancar dari wajahnya. celana lapangan yang dikenakannya
belepotan lumpur. sangat jarang saya melihat pemandangan seperti itu.
menyadari itu saya urungkan untuk menanyai hal-hal lain.

sore menjelang malam itu juga, sekitar pukul 18.30 akhirnya saya jadi
terbang ke medan menumpang pesawat pelita air yang disulap menjadi
pesawat RI-2. sebelumnya saya sempat cemas, bagaimana saya
mengirimkan kaset saya. untuk menumpang di pesawat wapres rasanya
mustahil karena saya belum diregistrasi.

sambil mencari akal bagaimana caranya untuk ikut pulang tiba-tiba
seorang bapak menegur saya. saya tidak mengenalnya, selain baju
safari coklat yang dikenakannya dan pin kecil di ujung kerahnya.
seingat saya, seluruh anggota pasukan pengamanan presiden/ wakil
presiden mengenakan pin tersebut. tapi, dia terlihat lebih tua dari
anggota paspampres lainnya.

"mau pulang dik?" katanya sambil menepuk pundak saya.

"iya pak, kalau memang ada seat," kata saya ragu-ragu.

"ya udah, kalau mau pulang ikut saja. jangan berlama-lama lagi. ayo
ikut aja," katanya ramah.

mendengar tawaran tersebut saya berbinar dan melangkah pasti ke
tangga pesawat. akhirnya pikiran saya soal bagaimana mengirimkan
kaset mendapat jawaban.

jam 19.00 pesawat meninggalkan banda aceh. saya masih kepingin
kembali kesana, mungkin dalam waktu dekat. rasanya saya ingin menebus
kesalahan tidak sempat melakukan reportase lengkap. selain kaset
berdurasi sekitar 20 menit. sebagai seorang jurnalis ini sebenarnya
kesalahan yang tak bisa ditolerir.

satu pertanyaan terus membayangi saya selama 45 menit di udara,
bahkan sampai hari ini saat saya mengetik di sebuah warnet tak jauh
dari rumah saya setelah seharian menongkrongi posko bencana di lanud
auri medan.

kenapa pemerintah cenderung lambat menangani bencana ini? apalagi
setelah beberapa pengungsi yang selamat dan pindah ke medan yang
curhat mengatakan belum makan dan mendapat air bersih hampir 3 hari
belakangan. jangankan makanan, snack pun hampir tidak ada.

"kami sampai mesti mengorek-ngorek lumpur siapa tau ada makanan yang
terbenam," kata si pengungsi tadi siang kepada saya. ucapannya tentu
membuat saya terhenyak, apalagi setahu saya pasokan makanan sudah
mulai dikirimkan sejak sehari sebelumnya. buat apa makanan itu sampai
kesana kalau tak segera didistribusikan?

sampai tadi malam pasokan makanan dan obat-obatan masih terus masuk
ke posko dan "tertimbun" disitu.

kenapa semuanya terasa sangat lambat? sikap pemerintahan srilangka
membuat saya iri. mereka cepat tanggap walau cuma sebuah negara
kecil. militer dikerahkan untuk mengevakuasi korban. baik yang masih
hidup atau sudah mati. mereka juga dikerahkan untuk mendistribusikan
pasokan bantuan makanan dan obat-obatan. mereka bisa kenapa kita
tidak? ayo kita bantu mereka yang jadi korban sebisa kita.

sayang saya tak sempat menanyakannya kepada mr president saat beliau
megunjungi posko satkorlak bencana aceh di lanud auri medan selasa
malam tadi.

Kirim email ke