MInggu lalu, Perdana Menteri Zhu Rongji dari People Republic of China
menyelesaikan tournya di Amerika Serikat. Berlawanan dari 'conventional
wisdom' yang ada, tour yang diduga akan gagal ini ternyata sukses besar
dan bahkan melakukan sesuatu yang Ken Starr gagal untuk lakukan:
yakni memaksa William Jefferson Clinton untuk 'meminta maaf' secara tak
langsung atas keteledorannya tentang masalah hubungan dengan China
yang dinomorduakan dibawah Kosovo dengan memberikan 'support for
China's entry to WTO.' Sebuah coup besar bagi China yang pada tahun ini
ekonominya dianggap akan memburuk.... Apalagi kalau ditambah dengan
tuduhan spionase dan condemnation kepada 'human rights record'-nya
yang sudah menyebabkan para analis skeptic tentang prospek dukungan
US kepada China.

Kasus ini sangat menarik untuk dianalisa. Walau China memiliki banyak kredit
macet, laporan HAM yang hancur-hancuran, dan sistem kediktatoran, tapi
mereka cukup hebat di bidang public relationnya. Dalam tournya Zhu Rongji,
dia menekankan kepada KAUM BISNIS US bahwa China sudah memberikan
banyak sekali konsesi dan dia menjelaskan apa saja konsesinya itu.
Mengenai soal HAM, Zhu Rongji justru mengelak (dengan alasan bahwa
dia lebih tahu duit daripada hak asasi manusia) atau  memberikan sedikit
bantahan
tanpa memerahkan muka sang tuan rumah. Dalam tournya itu yang dia permalukan
hanyalah Presiden Clinton yang disebutnya tak bertanggung jawab dan
tak mau ikut berdansa dengan China. Mengenai trade deficit, Zhu Rongji
menekankan bahwa dia ingin tekhnologi US yang bersifat 'green' dan dia
memenangkan dukungan dari kaum environmentalist yang concern akibat
kehancuran ekosistem dan angka polusi yang tinggi di China.Hasilnya, kaum
bisnis US melobi habis-habisan sang presiden, dan Prez Clinton memberikan
dukungan sebesarnya atas masuknya China ke WTO. Keberhasilannya melobi
pun karena didukung oleh situasi politik China yang memang stabil dan
Zhu Rongji dalam isi tawarannya juga memperlihatkan komitment pemerintah
China untuk melakukan reformasi besar-besaran di bidang ekonomi.

Dari deskripsi di atas, kita bisa menarik kesimpulan kenapa China bisa sukses
mendapatkan konsesi besar dari Amerika. Pertama-tama, China memiliki
kredibilitas. China sudah berulang-ulang menyatakan satu hal dan tetap
berdiri dibelakangnya; dari soal devaluasi, politik, Taiwan, sampai ke hal-hal
seperti HAM.  Niccolo Machiavelli yang terkenal dengan 'ide setan'-nya
menulis bahwa 'A prince also wins prestigete for being a true friend or a
true
enemy.' Dari ketegasan sikap China, tak heran bahwa kaum bisnis walaupun
merasa kuatir tentang perkembangan sosial politik di China, tapi mereka
tak terlalu kuatir tentang kredibilitas China. Ditambah lagi, sampai sekarang
kondisi politik di China walaupun menguatirkan tetap relatif stabil sehingga
hal ini ikut memberi sedikit bantuan kepada kredibilitas China.

Keunggulan kedua China terletak di sini kehebatan Zhu Rongji untuk
melobi kaum bisnis. Dia 100% committed bahwa tugas dia hanya satu;
yakni berusaha agar China diterima ke WTO dan karir politik dia bergantung
dengan hal ini. Hasilnya, tak ada waktu untuk berleha-leha dan seperti di

New York, dia memanggil semua businessmen yang dia kenal, tak peduli
kelasnya (dari kakap ke teri) dan menjelaskan posisi dan konsesi China.
Hasilnya, dia mendapat banyak bantuan suara yang mencaci maki
kebijakan Presiden Clinton.

Yang ketiga adalah bahwa China juga memberi untuk menerima. Zhu Rongji
tidak hanya mengemis-ngemis dan mengancam US agar bisa masuk WTO,
China juga menawarkan sesuatu kepada US. Jadi intinya, China memberikan
'carrot and stick,' hadiah dan hukuman; hadiah di bagian konsesi ekonomi,
'hukuman' yakni China tak akan tunduk lagi dan memberikan konsesi lebih
banyak lagi kepada US.

Hal ini membuat kita berpaling kepada politik luar negeri Indonesia.
Bagaimana dengan Indonesia waktu mengadakan tournya keliling negara-negara
maju untuk meminta bantuan? Di Jepang, permintaan Prez. Habibie
ditolak mentah-mentah bahkan beberapa laporan menyebutkan bahwa
dia membuat emosi para birokrat di Tokyo Mitsubishi Bank yang menyebabkan
Jepang menolak memberikan bantuan. Di US sendiri, Indonesia tak mendapat
dukungan yang cukup solid dari kalangan akademis dan politikus. Di beberapa
perdebatan, banyak politikus yang menyatakan bahwa diperlukan reformasi
dulu baru bantuan, dan sampai kejatuhan Ex-Prez Suharto reformasi tak ada
(walau sekarang pun masih diragukan bahwa apakah ada reformasi di Indonesia).
Ditambah lagi, instabilitas politik di Indonesia membuat orang-orang concern
apakah bagus menginvest di Indonesia. Sampai sekarang pun, orang-orang
masih takut untuk invest di Indonesia mengingat kita akan mengadakan
pemilu sebentar lagi dan tak diragukan kalau pemilu ini juga akan diwarnai
kerusuhan. Yang lebih menyedihkan lagi, Indonesia seakan-akan meminta
bantuan tanpa memberi konsesi; seperti penolakan Indonesia tahun lalu untuk
melakukan perombakan di bidang perbankan. Hal ini sudah sangat buruk bagi
kredibilitas dan citra Indonesia.

Seperti China, Indonesia bisa berkata tidak. Indonesia tak perlu tunduk
kepada
semua kehendak US, dan Indonesia pun bisa berdiri sendiri. Tapi sayangnya
hanya ada satu unsur yang Indonesia tak miliki yang menyebabkan Indonesia
tetap tak bisa mengambil garis politik yang independent; yakni kurangnya
kredibilitas Indonesia. Seberapa besar kredibilitas Indonesia di mata dunia?

China memberi kita pelajaran bahwa sebuah negara bisa berkata 'tidak'
kepada US, tapi perkataan 'tidak' itu perlu didukung sesuatu yang konkrit
dan juga ada masa di mana kita perlu berkata 'ya' dan 'tidak.' Sangat idiotik
kalau kita menutup negara kita dan selalu menyatakan 'tidak' kepada negara
lain karena tiap negara tetap perlu bergantung kepada negara lain. Tapi
pelajaran
sekarang dari China adalah Indonesia perlu merombak cara memandang ke
dunia luar dan sangatlah memerlukan tiga unsur agar bisa berkata 'tidak'
kepada negara-negara asing, yakni kredibilitas, kemampuan public relations
dan diplomacy, dan kemampuan untuk berani memberi konsesi untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih besar.



YS








A prince must endeavour to win the reputation of being a great man of
outstanding ability.
A prince also wins prestigete for being a true friend or a true enemy.
Everyone imagines he is competent, and hitherto no one has had the
competence to dominate the others.

                                                               Niccolo
Machiavelli

Kirim email ke