Re: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional?
Boro boro mikirin nulis, mikirin gmana menjaga kelangsungan agar 'dapur tetep ngebul' ajah susah contoh kasus : CMIIW, (tunjangan peneliti muda di LIPI sekitar 200 rebu or professor riset 1,1 juta) + gaji 1,5 juta. sedangkan untuk membeli jurnal internasional as reference per paper 30 € karena institusinya tidak ada dana buat berlangganan jurnal tsb (tp anehnya dana non budgeter untuk ... malah ada). gmana mo bersaing n submit ke jurnal internasional klo modal ajah cekak ibaratnya kita disuruh berperang dengan dunia internasional dengan bersenjatakan bambu runcing salam --utong-- 'calon peneliti' From: Sulistiono Kertawacana sulistiono.kertawac...@alumni.ui.edu Sent: Monday, December 22, 2008 11:31:13 AM Subject: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional? Oleh Paimin Sukartana Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, menyatakan bahwa publikasi internasional ilmuwan Indonesia sangat rendah, hanya 0,8 artikel per satu juta penduduk. Angka ini jauh di bawah India, yang telah mencapai 12 artikel. Inikah gambaran prestasi (profil) ilmuwan kita. Lalu, apa ada yang salah? Bagi peneliti dan dosen, menerbitkan karya tulis ilmiah (KTI) termasuk persyaratan utama untuk peningkatan karier. KTI akan dinilai menjadi angka kredit yang harus dikumpulkan untuk mencapai jenjang jabatan tertentu. Sekarang ini ada empat jenjang jabatan fungsional di lingkungan perguruan tinggi; asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar, atau kalau di lingkungan peneliti: asisten peneliti, peneliti muda, peneliti madya dan peneliti utama. Untuk tiap jenjang, dosen atau peneliti harus mengumpulkan angka kredit sebesar 100-150, 200-300, 400-750, 850-1050, yang berasal dari berbagai unsur, termasuk KTI. Dengan persyaratan tertentu, guru besar dan peneliti utama berhak menyandang gelar profesor atau profesor riset. Tentu bobot angka kreditnya berbeda antara keduanya, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih berfokus pada pendidikan dan pengajaran, dan profesor riset lebih pada penelitian. Namun, ada kesamaan antara keduanya, KTI hasil penelitian termasuk prasyarat utama. Selain latar belakang pendidikan, untuk memperoleh gelar profesor (riset) seorang dosen atau peneliti harus menulis KTI di jurnal ilmiah yang terakreditasi. Seorang Peneliti Utama dapat diangkat menjadi profesor riset melalui orasi ilmiah bila memiliki jenjang pendidikan minimal S2 dan mempunyai jumlah angka kredit yang cukup dari berbagai KTI di media ilmiah nasional yang terakreditasi, atau memiliki KTI di media internasional minimal dua buah (Peraturan Kepala LIPI: 04/E/2005). Di sini jelas, KTI di media internasional tidak diperlukan bagi peneliti berlatar pendidikan S2 dan S3, namun diperlukan untuk yang tidak masuk kategori tersebut. Tidak Sehat Keadaan ini tidak banyak berbeda dengan perguruan tinggi, kecuali latar belakang pendidikan, yang sekarang ini, harus S3. Keputusan Mendiknas pun (36/D/0/2001) bersifat minimalis, hanya diperlukan satu KTI di jurnal ilmiah internasional. Hal ini terjadi juga di ITB Bandung. Untuk menjadi guru besar, yang diperlukan hanyalah sebagai penulis utama KTI dalam satu jurnal internasional yang diakui dan satu jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi; atau dalam dua jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi dalam bidang ilmunya (Kep Senat Akademik: 041/SK/K01-SA/ 2002, ITB). Di Universitas Indonesia pun kurang lebih sama (Kep. Majelis Wali Amanat: 003/SK/MWA-UI/ 2004). Jadi, menerbitkan artikel di jurnal internasional sepertinya menjadi optional saja. Tidak (atau belum) ada keharusan untuk menulis sebanyak-banyaknya di jurnal internasional. Persyaratan- persyaratan tersebut tidak mendorong peneliti untuk berkiprah di dunia internasional. Mengapa harus bersusah-susah menulis di jurnal internasional, sementara di jurnal nasional, atau bahkan jurnal internal asal telah terakreditasi sebagai jurnal nasional saja sudah cukup. Bahkan hampir dipastikan, tiap lembaga penelitian di Indonesia, fakultas atau bahkan tingkat jurusan di perguruan tinggi memiliki jurnal sendiri (jurnal internal), yang semuanya mungkin akan terakreditasi sebagai jurnal ilmiah nasional. Penerbitan jurnal-jurnal ini umumnya sudah diprogramkan/ dianggarkan sebagai media penerbitan yang umumnya lebih untuk menampung hasil-hasil penelitian di lembaga tersebut daripada dari penulis di luar instansinya. Editornya pun umumnya diambil dari masing-masing lembaga yang bersangkutan, tanpa mitra bestari (peer reviewer) dari lembaga lain yang memadai. Kedalaman dan wawasan keilmuannya tentu lebih terbatas. Bahkan, ada kesan terjadi semacam persaingan antara peneliti di lingkungan sendiri. Objektivitas editor juga sering dianggap kurang memadai, karena penulis dan editornya berasal dari lembaga yang sama. Tentu ini tidak sehat, persaingan itu mestinya terjadi dengan para peneliti di luaran sana, dengan para peneliti atau kolega di negara lain. Bersaing dengan Peneliti di
Re: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional?
Siph usulnya kang Bagus --utong-- From: bagusco bagus...@yahoo.com To: PPIBelgia@yahoogroups.com Sent: Monday, December 22, 2008 2:05:55 PM Subject: Re: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional? Kang Utong si calon peneliti... (nunggu ikut diklat fungsional dulu ya...) Mumpung ada disini, kita manfaatkan sebaik mungkin membangun jaringan sama para peneliti belgia (dan negara lain, kalau mungkin)... PPI-Belgia dan alumninya juga bisa nanti dimanfaatkan untuk kerjasama antar peneliti di Indonesia. Beberapa kali ada kan anggota milis yang minta tolong download paper...sampeyan nanti bisa juga begitu. Tetapi mudah2an tidak karena udah sanggup langganan banyak jurnal... salam, bagusco lagi sibuk cari topik penelitian Furqon Azis uton...@yahoo. com wrote: Boro boro mikirin nulis, mikirin gmana menjaga kelangsungan agar 'dapur tetep ngebul' ajah susah contoh kasus : CMIIW, (tunjangan peneliti muda di LIPI sekitar 200 rebu or professor riset 1,1 juta) + gaji 1,5 juta. sedangkan untuk membeli jurnal internasional as reference per paper 30 ¤ karena institusinya tidak ada dana buat berlangganan jurnal tsb (tp anehnya dana non budgeter untuk ... malah ada). gmana mo bersaing n submit ke jurnal internasional klo modal ajah cekak ibaratnya kita disuruh berperang dengan dunia internasional dengan bersenjatakan bambu runcing salam --utong-- 'calon peneliti' From: Sulistiono Kertawacana sulistiono.kertawac a...@alumni. ui.edu Sent: Monday, December 22, 2008 11:31:13 AM Subject: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional? Oleh Paimin Sukartana Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, menyatakan bahwa publikasi internasional ilmuwan Indonesia sangat rendah, hanya 0,8 artikel per satu juta penduduk. Angka ini jauh di bawah India, yang telah mencapai 12 artikel. Inikah gambaran prestasi (profil) ilmuwan kita. Lalu, apa ada yang salah? Bagi peneliti dan dosen, menerbitkan karya tulis ilmiah (KTI) termasuk persyaratan utama untuk peningkatan karier. KTI akan dinilai menjadi angka kredit yang harus dikumpulkan untuk mencapai jenjang jabatan tertentu. Sekarang ini ada empat jenjang jabatan fungsional di lingkungan perguruan tinggi; asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar, atau kalau di lingkungan peneliti: asisten peneliti, peneliti muda, peneliti madya dan peneliti utama. Untuk tiap jenjang, dosen atau peneliti harus mengumpulkan angka kredit sebesar 100-150, 200-300, 400-750, 850-1050, yang berasal dari berbagai unsur, termasuk KTI. Dengan persyaratan tertentu, guru besar dan peneliti utama berhak menyandang gelar profesor atau profesor riset. Tentu bobot angka kreditnya berbeda antara keduanya, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih berfokus pada pendidikan dan pengajaran, dan profesor riset lebih pada penelitian. Namun, ada kesamaan antara keduanya, KTI hasil penelitian termasuk prasyarat utama. Selain latar belakang pendidikan, untuk memperoleh gelar profesor (riset) seorang dosen atau peneliti harus menulis KTI di jurnal ilmiah yang terakreditasi. Seorang Peneliti Utama dapat diangkat menjadi profesor riset melalui orasi ilmiah bila memiliki jenjang pendidikan minimal S2 dan mempunyai jumlah angka kredit yang cukup dari berbagai KTI di media ilmiah nasional yang terakreditasi, atau memiliki KTI di media internasional minimal dua buah (Peraturan Kepala LIPI: 04/E/2005). Di sini jelas, KTI di media internasional tidak diperlukan bagi peneliti berlatar pendidikan S2 dan S3, namun diperlukan untuk yang tidak masuk kategori tersebut. Tidak Sehat Keadaan ini tidak banyak berbeda dengan perguruan tinggi, kecuali latar belakang pendidikan, yang sekarang ini, harus S3. Keputusan Mendiknas pun (36/D/0/2001) bersifat minimalis, hanya diperlukan satu KTI di jurnal ilmiah internasional. Hal ini terjadi juga di ITB Bandung. Untuk menjadi guru besar, yang diperlukan hanyalah sebagai penulis utama KTI dalam satu jurnal internasional yang diakui dan satu jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi; atau dalam dua jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi dalam bidang ilmunya (Kep Senat Akademik: 041/SK/K01-SA/ 2002, ITB). Di Universitas Indonesia pun kurang lebih sama (Kep. Majelis Wali Amanat: 003/SK/MWA-UI/ 2004). Jadi, menerbitkan artikel di jurnal internasional sepertinya menjadi optional saja. Tidak (atau belum) ada keharusan untuk menulis sebanyak-banyaknya di jurnal internasional. Persyaratan- persyaratan tersebut tidak mendorong peneliti untuk berkiprah di dunia internasional. Mengapa harus bersusah-susah menulis di jurnal internasional, sementara di jurnal nasional, atau bahkan jurnal internal asal telah terakreditasi sebagai jurnal nasional saja sudah cukup. Bahkan hampir dipastikan, tiap lembaga penelitian di Indonesia, fakultas atau bahkan tingkat jurusan di perguruan tinggi memiliki jurnal sendiri (jurnal
Re: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional?
Kayaknya bukan salah peneliti atau dosen deh, kalau mau di benerin ya sistemnya dulu. Sistem penggajian, sistem jenjang karir, sistem evaluasi kinerja, sistem perpustakaan, de el el el el... Satu contoh sederhanya, kalau koleksi jurnal terbaru enggak ada, gimana mau ngikutin perkembangan ilmu, yg diperpulan supaya bisa publish di international journal. Kerjaan sehari-hari jg lebih disibukan proyek penelitian buat klien, yg ada duitnya.. ha..ha... punten ah, dendi --- On Mon, 12/22/08, Furqon Azis uton...@yahoo.com wrote: From: Furqon Azis uton...@yahoo.com Subject: Re: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional? To: PPIBelgia@yahoogroups.com Date: Monday, December 22, 2008, 7:56 PM Boro boro mikirin nulis, mikirin gmana menjaga kelangsungan agar 'dapur tetep ngebul' ajah susah contoh kasus : CMIIW, (tunjangan peneliti muda di LIPI sekitar 200 rebu or professor riset 1,1 juta) + gaji 1,5 juta. sedangkan untuk membeli jurnal internasional as reference per paper 30 € karena institusinya tidak ada dana buat berlangganan jurnal tsb (tp anehnya dana non budgeter untuk ... malah ada). gmana mo bersaing n submit ke jurnal internasional klo modal ajah cekak ibaratnya kita disuruh berperang dengan dunia internasional dengan bersenjatakan bambu runcing salam --utong-- 'calon peneliti' From: Sulistiono Kertawacana sulistiono.kertawac a...@alumni. ui.edu Sent: Monday, December 22, 2008 11:31:13 AM Subject: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional? Oleh Paimin Sukartana Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, menyatakan bahwa publikasi internasional ilmuwan Indonesia sangat rendah, hanya 0,8 artikel per satu juta penduduk. Angka ini jauh di bawah India, yang telah mencapai 12 artikel. Inikah gambaran prestasi (profil) ilmuwan kita. Lalu, apa ada yang salah? Bagi peneliti dan dosen, menerbitkan karya tulis ilmiah (KTI) termasuk persyaratan utama untuk peningkatan karier. KTI akan dinilai menjadi angka kredit yang harus dikumpulkan untuk mencapai jenjang jabatan tertentu. Sekarang ini ada empat jenjang jabatan fungsional di lingkungan perguruan tinggi; asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar, atau kalau di lingkungan peneliti: asisten peneliti, peneliti muda, peneliti madya dan peneliti utama. Untuk tiap jenjang, dosen atau peneliti harus mengumpulkan angka kredit sebesar 100-150, 200-300, 400-750, 850-1050, yang berasal dari berbagai unsur, termasuk KTI. Dengan persyaratan tertentu, guru besar dan peneliti utama berhak menyandang gelar profesor atau profesor riset. Tentu bobot angka kreditnya berbeda antara keduanya, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih berfokus pada pendidikan dan pengajaran, dan profesor riset lebih pada penelitian. Namun, ada kesamaan antara keduanya, KTI hasil penelitian termasuk prasyarat utama. Selain latar belakang pendidikan, untuk memperoleh gelar profesor (riset) seorang dosen atau peneliti harus menulis KTI di jurnal ilmiah yang terakreditasi. Seorang Peneliti Utama dapat diangkat menjadi profesor riset melalui orasi ilmiah bila memiliki jenjang pendidikan minimal S2 dan mempunyai jumlah angka kredit yang cukup dari berbagai KTI di media ilmiah nasional yang terakreditasi, atau memiliki KTI di media internasional minimal dua buah (Peraturan Kepala LIPI: 04/E/2005). Di sini jelas, KTI di media internasional tidak diperlukan bagi peneliti berlatar pendidikan S2 dan S3, namun diperlukan untuk yang tidak masuk kategori tersebut. Tidak Sehat Keadaan ini tidak banyak berbeda dengan perguruan tinggi, kecuali latar belakang pendidikan, yang sekarang ini, harus S3. Keputusan Mendiknas pun (36/D/0/2001) bersifat minimalis, hanya diperlukan satu KTI di jurnal ilmiah internasional. Hal ini terjadi juga di ITB Bandung. Untuk menjadi guru besar, yang diperlukan hanyalah sebagai penulis utama KTI dalam satu jurnal internasional yang diakui dan satu jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi; atau dalam dua jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi dalam bidang ilmunya (Kep Senat Akademik: 041/SK/K01-SA/ 2002, ITB). Di Universitas Indonesia pun kurang lebih sama (Kep. Majelis Wali Amanat: 003/SK/MWA-UI/ 2004). Jadi, menerbitkan artikel di jurnal internasional sepertinya menjadi optional saja. Tidak (atau belum) ada keharusan untuk menulis sebanyak-banyaknya di jurnal internasional. Persyaratan- persyaratan tersebut tidak mendorong peneliti untuk berkiprah di dunia internasional. Mengapa harus bersusah-susah menulis di jurnal internasional, sementara di jurnal nasional, atau bahkan jurnal internal asal telah terakreditasi sebagai jurnal nasional saja sudah cukup. Bahkan hampir dipastikan, tiap lembaga penelitian di Indonesia, fakultas atau bahkan tingkat jurusan di perguruan tinggi memiliki jurnal sendiri (jurnal internal), yang semuanya mungkin akan terakreditasi sebagai jurnal