Sejak kecil kita diajari pepatah Hemat Pangkal Kaya. Memang saya percaya, Boros Pangkal Miskin. Tapi terlalu berhemat tidak membuat kita senang, ya? Berhemat, menabung, adalah semboyan-semboyan yang saya dengar sejak kecil. Tentu ini baik, ya. Kita tidak boleh berlebihan. Apalagi memboros-boroskan milik kita. Cuma dalam prakteknya timbul banyak masalah. Konon seorang supir taksi di Eropa akhirnya nyeletuk pada penumpangnya, “You are from Indonesia, aren’t you?”. Penumpang menjawab kaget, “Yes. How do you know that?”. “Instead of enjoying your trip and watch the scenary, you keep on looking at the argometer…”, jawab sopir. Orang jadi terlalu mengutamakan penghematan uang. Tidak penting tujuan tercapai atau tidak. Masalahnya ada di mana? Menurut saya akar masalahnya ada pada mengagungkan uang. Penghematan selalu ditafsirkan hanya penghematan uang. Padahal ada hal lain, seperti waktu, ruang, sumber alam, sampai pada kepusingan pikiran yang harus juga dihemat. Orang yang terlalu menghemat uang cenderung pelit. Ia juga mengukur kesenangannya justru pada berapa besar uang telah dihemat. Kualitas dan kegembiraan sekedar secukupnya. Yang penting berapa kita sudah menghemat uang. Apa obatnya? Saya pikir kita bisa terkena penyakit takut miskin. Takut harta kita habis. Rasa takut ini menjelma menjadi perilaku berhemat. Jadi obatnya adalah belajar mengerti bagaimana kekayaan diciptakan. Mengerti bahwa uang itu bukan segala-galanya dalam hidup. Mengerti cara membuat budget yang reasonable.Mungkin masih benar bahwa hemat itu pangkal kaya. Tapi apakah kita bakal happy karenanya?
source: http://azrl.wordpress.com/2008/10/06/hemat-pangkal-kaya/