Lumayan buat bacaan saat wiken,
mangga---->

Beberapa minggu yang lalu pemerintah RI mensahkan sebuah perpu tentang
JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan). Katanya nilai jaminan uang
nasabah di bank akan dinaikkan, dan dalam situasi darulat, pemerintah
memiliki hak untuk mem-bailout bank-bank yang beresiko bankrut untuk
menghindari kejatuhan sistemik perbankan. Jadi, untuk menghindari
keterlambatan "aksi penyelamatan", maka sebelum krisis dimulai,
peraturan pemerintahnya sudah disahkan terlebih dahulu.

Betapa
menyenangkannya menjadi bankir.... Di hari-hari baik, semua keuntungan
adalah miliknya. Di hari-hari buruk, semua kerugian bisa dilimpahkan ke
rakyat negara bersangkutan. Benar-benar luar biasa.

Media-media
utama mengupas perpu ini seolah-olah ini adalah hal yang perlu
disyukuri. Tapi apa benar perpu ini bermanfaat bagi orang banyak?

Mari kita berandai-andai sebentar.....

A adalah seorang manager di perusahaan developer terkemuka di kotanya.
B
adalah anak dari A, sedang sekolah di SMU, hobi dan bakat utamanya
adalah taruhan sepak bola. Setiap akhir pekan dia akan duduk di kafe
menonton siaran sepak bola dan memasang taruhan jutaan rupiah.

A memiliki gaji kira-kira 15 juta per bulan.
Karena
statusnya sebagai manager, maka dia pun merasa perlu untuk tinggal di
perumahan yang lebih berkelas. Barusan dia membeli rumah seharga 400
juta. Setelah membayar uang muka sebesar 150 juta, dia pun mengajukan
kredit 250 juta untuk KPR.
Setiap bulan dia harus membayar 4 juta ke
banknya selama 10 tahun. Dia juga membeli sebuah mobil sedan, yang
cicilan bulanannya 4 juta per bulan selama 3 tahun. Jadi dari 15 juta
pendapatannya, A tinggal 7 juta yang bisa dia belanjakan.

Konsumsi
bulanan rumah tangganya: listrik, air, makan, hiburan, dan asuransi
kesehatan menghabiskan 6 juta. Jadi A menabung uang tunai kira-kira 1
juta per bulan.

Lalu si A bertemu dengan seorang teman lamanya,
C, yang habis kuliah Master Ekonomi di Amerika. Katanya si C:
membelanjakan semua uang kita adalah tindakan partriotisme, berkat
konsumsi maka ekonomi negara bisa maju. Maka banggalah menjadi
konsumen, mulailah mengajukan kartu kredit. Spending is Good.

A
mengira semua yang dia dengar dari C pastilah benar. Bagaimanapun,
Amerika kan negara maju. Kalau kita mengikuti lifestyle orang Amerika,
kita baru bisa ikut-ikutan maju.

Dia mulai mengajukan kredit
macam-macam, perabot rumah tangga, liburan akhir tahun, renovasi rumah,
TV baru, motor Tiger terbaru untuk anaknya, B, semuanya dibayar pakai
kredit.

Cicilan rumah dan mobil tetap dibayar A, tetapi jangka
waktunya diperpanjang, supaya nilai cicilan bulannya bisa mengecil dan
dia bisa menyicil kredit lainnya.

2 tahun kemudian, B mulai
masuk perguruan tinggi, yang sumbangan masuknya puluhan juta rupiah.
Mobil pun mulai sering rusak dan masuk bengkel, dan A pun mulai
kesulitan keuangan. Dia pun pelan-pelan mulai menggadaikan harta
keluarganya. Perhiasan dan tabungan istrinya mulai dipinjam A, katanya
ntar akan dibeliin lagi. Dia pun tidak segan-segan meminjam ke
teman-teman terdekatnya (D,E,F,G,H), Total pinjamannya sebesar 100
juta, dengan bunga 1% per bulan. Jatuh tempo hutang pokok adalah 5
tahun, jadi A tidak perlu melunasi hutang pokok selama 5 tahun selama
bunga 1% ini dibayarkan tiap bulan (1% dari 100 juta = 1 juta)

Lalu
suatu ketika anaknya, B, kalah taruhan bola. Nilainya 100 juta. Si A
yang sayang anak, mengatakan kepada rekan-rekan taruhan bola si B
(I,J,K,L,M) bahwa semua kerugian B akan dijamin olehnya. A akan
membayar (I,J,K,L,M) 1% setiap bulan dari 100 juta kekalahannya. Hutang
pokok ditunda dulu. Sebelum hutang dibayarkan, A menyarankan I,J,K,L,M
untuk tetap berjudi dengan si B. Bagaimanapun, yang namanya judi ada
menang-kalah. Siapa tahu B bisa menang 100 juta hari Sabtu mendatang.
Kalau B menang, berarti hutangnya lunas.

D,E,F,G,H pun mulai
panik. Apa yang dilakukan A?? Hutang banknya belum lunas, hutang ke
mereka pun belum dibayar, sekarang A malahan menambah tanggung jawab
baru dengan menjamin hutang si B.

I,J,K,L,M pun khawatir
setengah mati.. Jadi mulai sekarang si B akan berjudi dengan mereka
tanpa modal. Ketika B menang, mereka berlima harus membayar penuh,
tetapi ketika B kalah, A hanya akan membayar 1% per bulan dari kerugian
B.

D pun memulai duluan, dia pergi ke E dan berkata, "E, saya
lagi ada sedikit urusan keluarga nih, surat hutang A ke saya ada 20
juta, saya jual ke kamu ya, saya kasih diskon deh, kamu kasih saya 19
juta saja."

Beberapa minggu kemudian, E tersadar, dia telah
salah langkah. Maka E pun mencari F, "F, saya lagi urusan keluarga yang
sangat mendesak, lagi butuh uang banyak nih. Saya punya surat utang A
sebesar 40 juta, saya jual ke kamu ya, saya kasih diskon deh, 38 juta
saja, tolong diambil ya..."

Satu hal yang pasti, melihat apa
yang dilakukan oleh A, maka tak seorangpun di antara D,E,F,G,H yang mau
menjadi orang terakhir yang memegang surat hutang si A. Kemungkinan
default sedemikian besarnya... Bantuan mereka ke A atas dasar hubungan
akrap pertemanan kemungkinan besar tidak akan pernah dibayarkan
kembali. Maka nilai surat hutang A pun terus menurun. 20 juta surat
hutang akan dilepas ke siapapun yang mau membeli dengan harga mungkin
19 juta, 18 juta, 15 juta, bahkan 10 juta, yang penting ada yang mau
membeli. 10 juta masih lebih baik dibandingkan dengan 0 (nol)!!!

Kurang lebih itulah hasil JPSK versi Indonesia.
(Tentu saja, A tidaklah sama persis dengan pemerintah. A tidak bisa mencetak 
uang untuk membayar hutang, pemerintah bisa)

Cobalah pikir-pikir:
Bagaimana
mungkin pemerintah RI sanggup mem-bailout perbankan sekali lagi?
Bukankah bunga obligasi BLBI 10 tahun lalu masih belum lunas
dibayarkan? Bukankah Indonesia masih harus menerbitkan SUN (Surat Utang
Negara) sebesar TRILYUNAN rupiah setiap bulan untuk membayar anggaran
tahunan mereka? Bukankah Indonesia masih sibuk-sibuknya memikirkan cara
menarik pajak yang lebih besar lagi terhadap rakyatnya yang sudah hidup
susah? Bukankah ini masih Indonesia yang sama yang beberapa tahun yang
lalu mengemis selama 1 tahun ke IMF hanya untuk mendapatkan 2 milyar
dolar pinjaman?

Sebelum JPSK pun, nilai surat hutang pemerintah
tidak terlalu dipercaya, makanya bunganya lebih tinggi, 9%-an.
Bandingkan dengan kebanyakan negara lainnya yang berkisar 1 - 3%.

Setelah
JPSK, pemegang surat hutang Indonesia pun mulai khawatir.. "Apa RI
sudah gila? Emang gak cukup hutang kalian? Kok ditambah lagi? Mau jamin
pakai apa uang nasabah di bank kalian? Kalau memang sudah kaya, ngapain
juga lu jualan SUN tiap bulan?"

Hasilnya pun bisa ditebak, harga SUN jatuh, nilai rupiah terpuruk, bunga 
pinjaman meningkat sampai 20%-an.

Padahal itu cuma JPSK, ancang-ancang saja untuk membailout, belum benar-benar 
bailout.

Nanti
kalau krisis tiba, dan pemerintah benar-benar membailout, apa yang akan
terjadi pada rupiah kita? Apa implikasinya terhadap kehidupan rakyat
banyak? Rupiah yang lemah membuat ongkos impor meningkat, padahal kita
tergantung kepada barang impor untuk berbagai kebutuhan pokok kita.
Sekelompok kecil eksportir mungkin akan bertambah kaya, tetapi
bertambah kayanya mereka tidak bisa mengkompensasikan kerugian masif
yang dialamai mayoritas orang lain. Hasil akhirnya adalah standar hidup
rakyat negara ini tetap menurun.

Lalu gimana dengan mentor RI,
Amerika Serikat? Bukankah mereka melakukan hal yang sama dengan RI, dan
US dolar mereka tetap menguat?

Salah satu alasan terpentingnya
adalah karena pembayaran taruhan derivatif. Taruhan di pasar derivatif
sudah menembus 1000 trilyun dolar (mayoritas adalah kontrak US dolar,
dan HARUS disettle dengan US dolar). Anda tidak bisa membayar hutang
dolar Amerika dengan Yen, Euro, Pound, atau rupiah. Hutang USD harus
dibayar dengan USD!

Ke mana mencari trilyunan US dolar dalam
sekejap? ... Federal Reserve dan bank sentral besar lainnya memang
memberikan bantuan likuiditas yang amat besar setahun terakhir (>
dari 3 trilyun dolar sampai sekarang), tetapi angka itu masih sangat
jauh dari yang dibutuhkan pasar. Jangan lupa taruhan derivatif sudah
mencapai 1000 trilyun. 1% saja kontrak yang harus dibayar, berarti
harus ada tambahan 10 trilyun dolar!

Jadi segala aset yang bisa
dijual harus dijual, dan digunakan untuk membeli US dolar untuk
men-settle pembayaran perjudian derivatif. Bank-bank utama dunia juga
tidak akan memberikan kredit kepada siapapun (kecuali kroni mereka),
karena uang yang sama harus digunakan untuk membayar pihak pemenang
dari taruhan derivatif. Bank juga tidak akan me-rollover hutang-hutang
perusahaan swasta lainnya, jadi jangan kaget kalau mulai sekarang akan
ada banyak perusahaan besar yang bangkrut atau diambilalih paksa pihak
lain karena tidak bisa membayar hutang.

Kalau ratusan trilyun
kontrak derivatif dunia ditulis dengan kontrak rupiah, sekarang
tentunya rupiah kita juga sudah menguat kencang tak terbendung.
Mengapa? Karena suplai rupiah tidak cukup untuk men-settle kontrak
derivatif itu.

Jadi jangan salah sangka, dolar Amerika tidak
menguat karena dia pantas menguat. Fundamental ekonomi negara
superpower itu tidaklah lebih baik dibanding Indonesia. Dua-duanya
sedang melaju dengan kencang dalam kereta yang sama menuju
kebangkrutan....

Source : http://pohonbodhi.blogspot.com/2008/11/bailout-usa-jpsk-indonesia.html



      

Kirim email ke