Source : 
http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2009/04/musibah-atau-ke-tidak-warasan.html


DEFINISI KE-TIDAK-WARASAN (INSANITY)
Apa
itu ke-tidak-warasan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ambilkan
pendapat dari seorang yang sudah dikenal genius, yaitu Albert Einstein.
Mungkin dia benar-benar genius atau dipersepsikan genius, kami tidak
tahu.

Kalau anda seorang psikiater dan tidak setuju dengan
pendapat Einstein, silahkan berdebat dengan dia. Saya tidak mau
berdebat dengan anda. Karena, saya akan menyuruh anda berpikir dan
merenungkan pendapat Einstein ini. Kalau anda masih berbeda pendapat
lagi, saya akan mengacuhkan anda karena, ada dua kemungkinan bahwa anda
tolol (dan unversitas yang memberi gelar anda juga institusi tolol)
atau anda juga gila.



Ini kata Einstein: “Ketidak-warasan adalah: melakukan hal yang sama secara 
berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda”.

Dalam bahasa Inggris bunyinya:
“Insanity:doing the same thing over and over and expecting different results.”

Akhir-akhir
ini Indonesia ditimpa ‘musibah’. Saya gunakan tanda petik, karena hal
inilah yang mau kita bahas dan akhirnya mau menjatuhkan vonis bahwa
manusia Indonesia, kebanyakan, sudah tidak waras. Mereka perlu makan serenase, 
atau haldol untuk meluruskan cara berpikirnya.


MANUSIA PURBA DAN MANUSIA MODERN PECUNDANG
Nenek
moyang kita, hidup berpindah-pindah. Awalnya mereka menempati suatu
daerah dan hidup disana. Membangun tempat tinggal dan menetap disana.
Tetapi mereka tidak selamanya tinggal disitu. Pada saat daya dukung
daerah itu sudah sudah berkurang dan hilang, maka mereka pindah.
Keputusan yang waras. Kenapa harus tinggal di tempat yang tidak nyaman
dan tidak menjanjikan?

Perpindahan/migrasi ini tidak hanya
terjadi pada generasi pemburu-dan-pengumpul makanan (hunters dan
gatherers), tetapi juga generasi yang lebih maju, petani dan pedagang.
Kita lihat betapa banyaknya kota-kota yang hilang, yang ditinggalkan
penduduknya, seperti Angkor Wat, Machu Picchu, Chichen Itza, Luxor,
Akhetaten, Memphis, Leptis Magna, Carthage Angkor Wat, Ayutthaya. Kita
pernah bahas hal ini di DUBAI CALON KOTA HANTU?.
Penduduk kota-kota ini bukanlah pemburu dan pengumpul-makanan.
Pertanian dan kemampuan rekayasa (engineering) mereka sudah tinggi dan
dibuktikan oleh bangunan-bangunan yang mereka tinggalkan.

Bagaimana
dengan manusia Jakarta – Jabotabek? Jabotabek saya jadikan kasus,
tetapi hal ini berlaku juga untuk daerah-daerah lainnya.

Saya
punya teman yng tinggal di Kampung Melayu yang setiap 4 tahun sekali
harus ganti tv dan peralatan elektroniknya. Itu 20 tahun lalu. Mungkin
sekarang dia harus lebih sering menggantinya. Pasalnya dulu setiap 4
tahun sekali rumahnya kena banjir. Saya pernah menganjurkan dia untuk
memiliki perahu, sehingga kalau banjir, barang-barang elektroniknya
bisa diselamatkan. Bahkan saya disainkan sebuah tempat tidur yang bisa
diubah menjadi perahu ketika banjir. Dia tidak pernah menggubris
anjuran saya. Dia berharap apa yang dilakukannya selama ini (itu-itu
saja dan tidak berubah), akan menghasilkan perbedaan. Akan
menyelesaikan masalahnya. Itu terjadi dari 20 tahun lalu sampai
sekarang. 

Berdasarkan kriteria Einstein
dia, dan juga orang-orang di sekitar tempat tinggalnya, sudah tidak
waras. Kalau mereka waras maka mereka sudah berbuat sesuatu yang lain,
seandainya tidak mau pindah seperti yang dilakukan moyangnya dulu.


ORANG TIDAK WARAS, TIDAK BISA BELAJAR
Kampung
Melayu adalah wakil dari beberapa tempat yang secara rutin terkena
banjir. Masih banyak lagi tempat-tempat di Jakarta yang sering terkena
banjir. Jalan-jalan di Pluit, Sunter, Kelapa Gading – tempat tinggalnya
orang kaya, selalu kena banjir kalau musim hujan. Aspalnya rusak, jalan
berlubang yang membuat mobil cepat rusak. Untuk daerah Pluit lebih
parah lagi karena airnya agak payau dan cukup korosif (cenderung
membuat karat).

Apa yang orang-orang ini lakukan? Memilih
gubernur Jakarta untuk menyelesaikan masalahnya. Yang dimaksud adalah
masa setelah orde reformasi, sebelum itu mereka memilih presiden untuk
memilih gubernur yang akan menyelesaikan masalah itu. (Komentar:
Mungkin mereka pikir lebih baik memilih orang yang langsung menangani
banjir dari pada presiden yang tidak mau turun tangan langsung). 
Awalnya
Sutiyoso. Katanya dia akan mengatasi banjir Jakarta. Setelah 5 tahun
lewat, dia (Sutiyoso) berjanji lagi kalau dia terpilih lagi maka banjir
Jakarta akan ditanggulangi. Tetapi janji tinggal janji, mejelang
pemilihan gubernur berikutnya (diakhir masa jabatannya yang ke II),
Sutiyoso mengatakan bahwa banjir Jakarta sulit ditanggulangi. Hal ini
dikatakannya karena dia sudah tidak boleh lagi mencalonkan diri lagi.
Dia sudah tidak punya insentif dan keuntungan lagi untuk membuat
janji-janji.

Kemudian setelah Sutiyoso, siapa yang mereka pilih?
(Paling tidak 36% dari pemilih) Fauzi Bowo yang sudah lamaaaaaaaa
sekali kerja di DKI – kantor pemerintahan Jakarta. Mengherankan, kenapa
yang terpilih adalah orang yang sudah terbukti tidak mampu mengatasi
banjir di Jakarta selama belasan tahun (mungkin juga puluhan tahun)
untuk mengatasi banjir Jakarta? Bukankah Fauzi Bowo yang dulunya kerja
di pemerintahan DKI yang sudah menangai masalah banjir Jakarta?
Memang
benar, secara de facto, kursi kosong mengungguli Fauzi Bowo dan pembaca
situs ekonomi orang waras (EOWI) lebih suka bahwa Jakarta tidak ada
gubernur.

Orang Tangerang dan Banten mungkin berpikir sama.
Dulunya mereka pikir gubernur Jawa Barat jauh di Bandung. Maka mereka
minta pemekaran daerah. Dan diadakanlah gubernur Banten. Apa yang
terjadi, ‘musibah’ Situ Gintung dan parahnya lagi, sang tante gubernur
merasa hal ini bukan menjadi wewenangnya... Hallloooo......, tante gubernur..., 
bangun. Tugas anda adalah memperhatikan ‘welfare’, kesejahteraan rakyat
Benten termasuk Tangerang. Tugas anda termasuk berkoordinasi dengan
Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk membuat orang-orang di daerah Banten
selamat. Jangan katakan bahwa urusan bendungan dan situ adalah urusan
PU. Itu namanya dalih. Bisakah anda membedakan antara alasan dan dalih?

Lain
lagi dengan Timor Timur. Mereka pikir jika sudah merdeka dari Indonesia
maka mereka lebih makmur. Haalllloooo, itu ladang minyak Bayu-Udan
sudah berproduksi, kenapa anda – Timor Timur masih belum makmur?

Kasus
lain lagi, yaitu Aceh dan GAM nya. Mereka pikir kalau sudah ada otonomi
daerah dan GAM berkuasa, maka Aceh akan makmur. Haallloooo, apa anda
sudah makmur?


KALI CODE YOGYA DAN KAMPUNG MELAYU JAKARTA
Pertengahan
tahun 80an Kali Code Yogya, katanya daerah yang kumuh dan mau digusur.
Kemudian datanglah romo Magun (yang sekarang sudah meninggal). Dia
bersama-sama dengan rakyat setempat menata dan membangun rumah di
daerah Kali Code sehingga baik dan asri.

Kali Code Yogya dan
Kampung Melayu (atau Pluit atau Kelapa Gading) Jakarta mengambil jalur
yang berbeda. Masyarakat Kali Code tidak minta gubernurnya untuk
memperbaiki lingkungannya. Mereka kerja (gotong royong) membangun
lingkungannya, sehingga asri. Sebenarnya mereka juga tidak perlu romo
Mangun. Apalah artinya sumbangan 1 orang dibandingkan tenaga 1000
orang? Para LSM sajalah yang membesarkan peran romo Mangun dalam
pembangunan lingkungan Kali Code sehingga dia yang memperoleh nama
besar.

Demikian kalau nanti pemukiman Kali Code terkena banjir
bandang, jangan salahkan romo Mangun. Paling enak memang menyalahkan
romo Mangun. Sebab sebenarnya yang salah adalah penduduk di Kali Code
itu sendiri. Kenapa membangun rumah yang menjorok ke daerah aliran
sungai? Masalah itu disimpan dulu sampai nanti, kalau hal ini sudah
terjadi.

Kembali pada masalah Jakarta dan Kampung Melayu. Ada
dua alternatif untuk mengatasi masalah banjirnya bagi penduduk di
Kampung Melayu. Dan memilih gubernur tidak termasuk di antaranya. Kedua
pilihan itu adalah, pergi dari daerah itu (Kampung Melayu) sehingga
mereka tidak kena banjir atau bergotong royong membuat pemukiman yang
baik di Kampung Melayu.

Untuk daerah Pluit, Kelapa Gading dan
tempat-tempat orang kaya di Jakarta, anda punya uang untuk menyewa
kontraktor untuk memperbaiki lingkungan anda. Persoalan banjir di
Belanda jauh lebih berat dibandingkan Jakarta. Kalau perlu datangkan
kontraktor dari Belanda.

Uangnya dari mana? Pajak anda. Jumlah
pajak yang dibayarkan penduduk Pluit untuk 2-4 tahun mungkin cukup
untuk membuat hidup anda lebih nyaman. Kalian bisa bilang ke
pemerintah, apakah pemerintah yang mau jadi kontraktornya dan membangun
sistem mengendali banjir yang benar, seperti pemerintahan penjajah
Belanda dulu, atau didatangkan kontraktor langsung dari Belanda.

Pembaca
EOWI yang waras, penjajah Belanda dulu sudah membangun kanal-kanal dan
sistem pengendali banjir. Perkara sukses atau tidak, kita harus lihat
kembali sejarah. Tetapi kalau kita lihat negara Belanda yang saat punya
ancaman banjir yang lebih besar dari banjir Ciliwung dan berhasil
mengendalikannya, maka dapat diasumsikan bahwa dulupun mereka berhasil
melakukannya di Hindia Belanda. Masalahnya sekarang pemerintahan
Republik ini tidak becus memelihara dan mempertahankan apa yang ada.
Tidak usah dibilang membangun yang baru.


KEPALA NEGARA KANADA YANG WARGA NEGARA INGGRIS
Orang
selalu berpikir bahwa putra daerah, bumi putra lebih baik dalam
memperhatikan daerahnya dari pada orang luar. Apakah demikian?

Nenek saya bilang, zaman Belanda dulu adalah ‘jaman normal’,
dan jaman ‘republik’ jaman tidak normal. Artinya jaman Belanda lebih
makmur dari jaman ‘republik’. Artinya Belanda lebih becus mengurus dari
pada politikus republik.

Orang Timor-Timur mungkin juga bilang
bahwa jaman penjajahan Indonesia lebih makmur dari pada jaman
kemerdekaan. Ini masih ‘mungkin’, karena saya tidak pernah menanyakan
langsung kepada orang Timor-Timur. Itu hanya dugaan saya saja.

Perkara
putra daerah, pribumi, bumiputra, saya jadi ingat kepala negara Kanada.
Tahukah anda siapa kepala negara Kanada? Saat ini adalah ratu Elizabeth
II dari Inggris. Catatan: Ratu Elizabeth II bukan warga negara Kanada.

Dari
situ mungkin kita bisa belajar, bahwa bisa saja Jakarta, Banten tidak
perlu ada gubernur, atau gubernurnya orang Inggris atau orang Kanada.
Juga presidennya. Yang penting becus. Mungkin itulah solusi dari kisruh
di negara ini. Selama kita masih memilih orang yang tidak kompeten,
karena pilihannya hanyalah sederet manusia yang tidak kompeten, jangan
sebut anda orang waras. Hanya orang gila saja, yang dari
tahun-ke-tahun memilih orang yang tidak kompeten dari stok yang tidak
kompeten untuk mengurus kesejahteraannya, tetapi mengharap hasil yang
berbeda. Maksudnya adalah tercapainya kemakmuran.

Kesengsaraan dan ‘musibah’ yang dihadapi bangsa ini, sesungguhnya bukan 
‘musibah’ tetapi ke-tidak-warasan diri sendiri.



      

Kirim email ke