| | Bisanya matematika! Itu juga yang bisa. Pasalnya anak-anak
Indonesia sejak tahun 1970-an memang tidak diajari berhitung lagi di
SD, tetapi diajari matematika. Matematika tidak sama dengan berhitung.
Berhitung
itu keterampilan teknis, yaitu menghitung, menambah, mengurang,
mengali, dan membagi. Matematika itu logika. Kita memang bisa
menghitung dengan logika, tetapi menghitung bisa saja tanpa logika.
Sebagai contoh, kita bisa menjumlahkan 15+20=35 dengan teknik berhitung
biasa.
Cepat, mudah. Tetapi kita bisa juga melakukannya dengan
metode matematika, puluhan digabungkan dengan puluhan (10 dan 20) dan
dipisahkan dari satuan yang juga digabungkan dengan satuan (5 dan 0),
hasilnya sama, yaitu 35, tetapi untuk bisa melakukan matematika, orang
harus punya kemampuan kognisi (logika, daya abstraksi) yang canggih
dulu yang-menurut Piaget, pakar psikologi perkembangan- baru akan
tercapai oleh anak pada umur di atas 11 tahun.
Karena orang
Indonesia sudah dipaksa untuk bermatematika sejak kemampuan kognisinya
belum siap, jadinya tidak bisa berhitung (karena tidak diajari),
padahal bermatematika juga tidak bisa (karena diajarkan ketika
kognisinya belum siap). ***
Di sebuah universitas terkemuka di
Indonesia,yang sudah masuk jajaran world class, direktur SDM tidak tahu
persis berapa sebetulnya jumlah karyawan, dosen, serta mahasiswa di
sana. Dia hanya tahu kira-kira ada 40.000 mahasiswa dan 4 ribuan dosen.
Tetapi persisnya berapa dia tidak tahu. Pasalnya, hampir setiap bulan
ada saja ketua program atau kepala perpustakaan, atau siapa saja yang
mengangkat karyawan honorer yang dibayarnya sendiri, tetapi nantinya
menyatakan diri sebagai karyawan atau staf edukatif universitas.
Sementara
profesor-profesor sepuh yang sudah wafat masih tercantum namanya di
daftar gaji.Wajarlah kalau sesekali terjadi salah bayar gaji atau
kurang bayar gaji yang menjengkelkan. Nah, kalau sebuah universitas
kelas dunia dengan guru-guru besar yang sudah puluhan tahun mengajar
tidak mampu menghitung dengan tepat jumlah staf pengajarnya yang hanya
empat ribuan itu, bagaimana KPU yang baru seumur jagung itu bisa
menghitung dengan akurat DPT yang mencakup 150 jutaan manusia yang
tersebar di seluruh republik kita ini?
Apalagi boro-boro kelas
dunia, untuk ukuran kelas kecamatan saja KPUD sudah diprotes orang
melulu. Bahkan seandainya Samson atau Superman bisa didatangkan, mereka
pun tak akan mampu menghitung jumlah pemilih yang banyaknya hampir 150
juta. Bagaimana mungkin, di RT saya saja pembantu datang dan pergi.
Sebagian besar tinggal di dalam.
Ada yang melapor ke RT, tetapi
lebih banyak yang tidak. Sebagian lagi, hanya waktu datang saja
melapor, tetapi ketika pergi lupa lapor. Belum lagi kalau ada bayi baru
lahir atau ada yang meninggal dunia, menikah, pindah kuliah ke luar
kota, tidak buru-buru didaftarkan dalam kartu keluarga, jelas data
kependudukan sangat sulit dihitung. Karena itulah sensus penduduk yang
dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) setiap lima tahun sekali
memerlukan waktu dua tahun, mulai dari persiapan sampai tuntas.
Padahal
seluruh masa kerja KPU sejak dilantik sampai pemilu hanya kurang dari
dua tahun (2007-2009). Tidak mengherankan kalau daftar pemilih tetap
(DPT) pemilu tidak pernah pas. Orang mati dan bayi saja bisa masuk DPT,
apalagi tentara dan polisi. Sebaliknya, orang yang benar-benar punya
hak pilih malah terpaksa jadi golput karena tidak masuk DPT. ***
Sulitnya,
Undang-Undang Pemilu sudah telanjur mengharuskan orang masuk DPT dulu
baru bisa memilih. Usulan KPU sendiri untuk mengizinkan warga memilih
dengan bermodal KTP saja terganjal undang-undang itu (yang dulu dibuat
DPR berdasarkan prasangka terhadap KTP yang bisa disalahgunakan).
Maka
hasilnya bisa kita duga dan sudah kita saksikan bersama: amburadul!
Tetapi keamburadulan yang awalnya karena memang bangsa kita tidak bisa
dan tidak berdisiplin dalam berhitung, tambah diacak-acak lagi oleh
elite-elite politik yang kalah, atau sudah dapat suara banyak namun
ingin suara lebih banyak lagi.
Bahkan ingin jadi presiden. Maka
mulailah orang bermain logika. Pakar-pakar media sampai pakar jalanan
menyampaikan argumentasi masing-masing bahwa pemilu tahun ini tidak
masuk akal, tidak logis. Muncullah protesprotes tidak percaya,
seakan-akan ketidakakuratan penghitungan suara disengaja atau ada grand
design untuk mencurangi pemilu.
Timbul penyimpangan dari hukum
logika, karena kita juga sebetulnya tidak mahir berlogika, sehingga
terjadilah apa yang dinamakan dalam ilmu logika "sesat pikir". Maka
pemilu yang pada hari H berjalan damai itu, walau ada golput terpaksa,
justru ricuh setelah hari H. Mula-mula yang ribut hanya saksi-saksi
parpol di TPS, lama-lama parpol-parpol itu membawa massa ke KPUD,
bahkan menyerang kantor polisi.
Melihat situasi yang sudah
kacau, beberapa oknum terdorong untuk benar-benar menggelembungkan
suara. Ketahuan waktu perhitungan di tingkat pusat, tambah kacau lagi.
Bahkan ada yang minta seluruh pemilu diulang dari awal. Alangkah
sia-sianya dana triliunan rupiah yang sudah diinvestasikan bangsa (yang
tidak kaya) ini untuk penegakan demokrasinya.
Di sisi lain,
perhitungan quick count oleh beberapa pihak independen (bukan hanya
satu) justru menunjukkan hasil yang konsisten. Sejak hari H+1 sampai
hari perhitungan terakhir urutan pencapaian adalah Partai Demokrat di
puncak, diikuti oleh PDIP dan Golkar (atau Golkar terus PDIP yang
"berpacu dalam melodi"), baru diikuti lagi oleh partai-partai yang
termasuk sepuluh besar, termasuk Gerindra dan Hanura, dan akhirnya
partai-partai kecil yang perolehan suaranya tidak signifikan.
Keakuratan
quick count sudah terbukti sejak Pemilu 1999. Bukan hanya di tingkat
pemilu parlemen dan pilpres, tetapi juga di tingkat provinsi dan
kabupaten. Error-nya hanya 2%, dan itu bisa karena penyelenggara quick
count hanya menghitung, dibantu dengan kalkulator supercanggih yang
namanya komputer dan internet. Karena hanya menghitung dengan teknik
yang benar, maka hasilnya pun benar. ***
Tetapi dasar orang
Indonesia tidak bisa berhitung, maka mereka juga tidak suka pada teknik
berhitung. Apalagi memakai komputer yang tidak mereka kenal. Siapa tahu
kita dibohongi dengan komputer. Itulah sebabnya ketika pemilihan Gus
Dur dan Megawati sebagai presiden para anggota MPR lebih suka
melakukannya dengan voting tertutup dan dihitung manual, yang makan
waktu berjam-jam dan diselingi kesalahan baca atau nyontreng di papan
skor, ketimbang memakai alat voting otomatis (dengan komputer) yang ada
di meja masing-masing.
Tetapi semua ini adalah bagian dari
proses bangsa Indonesia berdemokrasi. Mudah-mudahan di tahun 2014
bangsa Indonesia sudah menyadari bahwa dalam urusan pemilu kita lebih
baik mengandalkan teknik berhitung yang gampang dan cepat (namanya juga
quick count, hitung cepat), ketimbang berlogika yang sudah tercampur
aduk dengan berbagai kepentingan dan emosi.(*)
Sarlito Wirawan Sarwono Dekan Fakultas Psikologi UPI/YAI | |
| |
|