Re: [PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM)
Hahahaha lanJutKan!!! Salam, Ichal From: Furqon Azis To: PPIBelgia@yahoogroups.com Sent: Sunday, June 14, 2009 3:20:09 PM Subject: Re: [PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) Terima kasih atas pencerahannya Bung IChal jadi pemimpin itu memang harus "satu kata satu perbuatan" Salam -Utong- From: Ahmad Faizal To: ppibel...@yahoogrou ps.com Sent: Sunday, June 14, 2009 2:52:09 PM Subject: [PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) Tulisan in saya kutip dari Note FB teman kuliah yang lama kerja di Aceh Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) http://www.facebook .com/note. php?note_ id=90628129884&ref=nf Today at 2:44pm Sungguh mengherankan, setelah JK kampanye ke Aceh dan menelanjangi betapa 'banci'-nya presiden kita, Sang Presiden dan tim-nya kebakaran jenggot. Pak SBY yang bilang beliau ini ksatria, tidak akan membalas hujatan dengan hujatan. Buktinya, Mega-Prabowo dibilang menghembuskan angin surga, JK dibilang tidak etis karena dalam posisinya sebagai wapres, berani nglunjak lewat statement-nya. Sebetulnya pesan SBY cuma satu, Everybody, I am the president. Tidak ingatkah beliau, lima tahun yang lalu, SBY juga menelikung Megawati, lebih parah dibanding JK yang hanya adu mulut dengan SBY. Buat yang lupa, SBY itu Menkopolkamnya Megawati (2001-2004). Betul statemen JK, bahwa SBY-lah yang menetapkan status darurat untuk Aceh yg sebetulnya sudah dihapus Wiranto saat menjabat Menkopolkam- nya Gus Dur. Dalam kapasitas sebagai menkopolkam, awal 2004, megawati tahu bahwa SBY akan maju melawannya dlm pilpres. SBY saja jengkel dan menganggap tidak etis karena JK mencalonkan diri jadi presiden. Kalau apa yang dilakukan JK padanya dianggap tidak etis, apa yang dilakukannya ke Mega 2004 tentu saja jauh lebih tidak etis. Tentu kita masih ingat juga, akhir tahun lalu, ketika memperpanjang jabatan gubernur DIY untuk ngarso dalem (Sultan HB X), SBY bilang: siapapun gubernur yang mau mencalonkan presiden, kudu seijin beliau, bahkan disindir, orang yang sudah diangkat kemudian lupa ke siapa yang mengangkatnya, yang seperti itu hanya terjadi di dunia ketoprak. SBY memang lebih cerdik tahun 2004. Supaya tidak perlu minta ijin ke Mega, dia meletakkan jabatan dulu sebelum resmi mencalonkan jadi presiden. Apa yang sebenarnya terjadi pada penghujung MoU Helsinki di detik-detik yang paling menentukan itu? Tidak ada yang memungkiri, memang tanda tangan JK-lah lewat fax yang menghiasi lembaran MOU, bukan tanda tangan SBY. Kata tim SBY, presiden memang sudah memberi wewenang kepada wapresnya untuk ngurusin MoU, tapi bos-nya tetap Sang presiden. Tim SBY menambahkan lagi, itu dilakukan supaya wapres bukan sekedar ban serep. Pak Presiden memang lucu, wapresnya selalu diberi kewenangan untuk sesuatu yang sulit, sedangkan yang enteng, dimana SBY bisa tebar pesona, ditangani sendiri. Singkatnya, di zaman SBY, wapres memang bukan ban serep, tapi bemper untuk kebijakan-kebijakan yang tidak populer. Tanggal 29 Mei 2009, bada maghrib saya mendapat sms tak terduga: Dek, Abang sedang di Bandung, on the way to restoran Gampoeng Aceh. Langsung saja saya reply: I'll be there, in 20 minutes, Bang. Orang yang meng-sms saya itu adalah Munawar Liza Zain, yang punya nickname warzain, salah satu juru runding GAM di Helsinki yang sekarang mendapat amanah sebagai walikota Sabang. Seingat saya, dialah satu-satunya orang yang saya panggil 'Abang' tanpa diikuti nama di belakangnya. Banyak sisi menarik dapat diceritakan tentang Abang. Tapi, yang saya ceritakan sekarang adalah kesaksiannya tentang babak terakhir Helsinki. Abang adalah alumni Gontor yang pernah menempuh studi di Al-Azhar, Kairo. Tim RI di Helsinki diisi oleh orang Aceh (Sofyan Djalil), orang Makassar (Hamid Awaluddin), dan orang Bali (maaf, I can't remember his name), dan ada juga seorang alumni Gontor. Secara psikologis, tim ini lebih menyejukkan dibanding jika orang-orang GAM harus berhadapan dengan tim yang dimayoritasi orang Jawa. Perjanjian sendiri buka diselenggarakan di kantor pemerintah, tapi di sebuah rumah yang terpencil sehingga tidak mungkin kabur. Rumah itu terdiri atas dua lantai. Delegasi Indonesia ditempatkan di lantai satu, sedangkan tim GAM di lantai dua. Hari terakhir bertepatan dengan hari Jumat. Materi perundingan 98% sudah disepakati, kecuali tentang partai lokal. Hamid Awaluddin sebagai pimpinan delegasi Indonesia mengajukan keberatan karena itu bertentangan dengan hukum Indonesia. "Wah, Pak. Anda khan tahu kami ini GAM. Masak iya kami harus nyoblos Golkar? Tidak ada ceritanya itu." Karena alot, akhirnya kedua tim menyatakan tutup kedai alias perjanjian batal saja. Tim GAM balik ke markasnya di lantai dua. Mereka bersiap-siap untuk pulang hari berikutnya. Tiba-tiba, menjelang malam, Hamid Awaluddin lari tergopoh-gopoh ke lantai dua berusaha untuk mene
Re: [PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM)
Terima kasih atas pencerahannya Bung IChal jadi pemimpin itu memang harus "satu kata satu perbuatan" Salam -Utong- From: Ahmad Faizal To: PPIBelgia@yahoogroups.com Sent: Sunday, June 14, 2009 2:52:09 PM Subject: [PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) Tulisan in saya kutip dari Note FB teman kuliah yang lama kerja di Aceh Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) http://www.facebook .com/note. php?note_ id=90628129884&ref=nf Today at 2:44pm Sungguh mengherankan, setelah JK kampanye ke Aceh dan menelanjangi betapa 'banci'-nya presiden kita, Sang Presiden dan tim-nya kebakaran jenggot. Pak SBY yang bilang beliau ini ksatria, tidak akan membalas hujatan dengan hujatan. Buktinya, Mega-Prabowo dibilang menghembuskan angin surga, JK dibilang tidak etis karena dalam posisinya sebagai wapres, berani nglunjak lewat statement-nya. Sebetulnya pesan SBY cuma satu, Everybody, I am the president. Tidak ingatkah beliau, lima tahun yang lalu, SBY juga menelikung Megawati, lebih parah dibanding JK yang hanya adu mulut dengan SBY. Buat yang lupa, SBY itu Menkopolkamnya Megawati (2001-2004). Betul statemen JK, bahwa SBY-lah yang menetapkan status darurat untuk Aceh yg sebetulnya sudah dihapus Wiranto saat menjabat Menkopolkam- nya Gus Dur. Dalam kapasitas sebagai menkopolkam, awal 2004, megawati tahu bahwa SBY akan maju melawannya dlm pilpres. SBY saja jengkel dan menganggap tidak etis karena JK mencalonkan diri jadi presiden. Kalau apa yang dilakukan JK padanya dianggap tidak etis, apa yang dilakukannya ke Mega 2004 tentu saja jauh lebih tidak etis. Tentu kita masih ingat juga, akhir tahun lalu, ketika memperpanjang jabatan gubernur DIY untuk ngarso dalem (Sultan HB X), SBY bilang: siapapun gubernur yang mau mencalonkan presiden, kudu seijin beliau, bahkan disindir, orang yang sudah diangkat kemudian lupa ke siapa yang mengangkatnya, yang seperti itu hanya terjadi di dunia ketoprak. SBY memang lebih cerdik tahun 2004. Supaya tidak perlu minta ijin ke Mega, dia meletakkan jabatan dulu sebelum resmi mencalonkan jadi presiden. Apa yang sebenarnya terjadi pada penghujung MoU Helsinki di detik-detik yang paling menentukan itu? Tidak ada yang memungkiri, memang tanda tangan JK-lah lewat fax yang menghiasi lembaran MOU, bukan tanda tangan SBY. Kata tim SBY, presiden memang sudah memberi wewenang kepada wapresnya untuk ngurusin MoU, tapi bos-nya tetap Sang presiden. Tim SBY menambahkan lagi, itu dilakukan supaya wapres bukan sekedar ban serep. Pak Presiden memang lucu, wapresnya selalu diberi kewenangan untuk sesuatu yang sulit, sedangkan yang enteng, dimana SBY bisa tebar pesona, ditangani sendiri. Singkatnya, di zaman SBY, wapres memang bukan ban serep, tapi bemper untuk kebijakan-kebijakan yang tidak populer. Tanggal 29 Mei 2009, bada maghrib saya mendapat sms tak terduga: Dek, Abang sedang di Bandung, on the way to restoran Gampoeng Aceh. Langsung saja saya reply: I'll be there, in 20 minutes, Bang. Orang yang meng-sms saya itu adalah Munawar Liza Zain, yang punya nickname warzain, salah satu juru runding GAM di Helsinki yang sekarang mendapat amanah sebagai walikota Sabang. Seingat saya, dialah satu-satunya orang yang saya panggil 'Abang' tanpa diikuti nama di belakangnya. Banyak sisi menarik dapat diceritakan tentang Abang. Tapi, yang saya ceritakan sekarang adalah kesaksiannya tentang babak terakhir Helsinki. Abang adalah alumni Gontor yang pernah menempuh studi di Al-Azhar, Kairo. Tim RI di Helsinki diisi oleh orang Aceh (Sofyan Djalil), orang Makassar (Hamid Awaluddin), dan orang Bali (maaf, I can't remember his name), dan ada juga seorang alumni Gontor. Secara psikologis, tim ini lebih menyejukkan dibanding jika orang-orang GAM harus berhadapan dengan tim yang dimayoritasi orang Jawa. Perjanjian sendiri buka diselenggarakan di kantor pemerintah, tapi di sebuah rumah yang terpencil sehingga tidak mungkin kabur. Rumah itu terdiri atas dua lantai. Delegasi Indonesia ditempatkan di lantai satu, sedangkan tim GAM di lantai dua. Hari terakhir bertepatan dengan hari Jumat. Materi perundingan 98% sudah disepakati, kecuali tentang partai lokal. Hamid Awaluddin sebagai pimpinan delegasi Indonesia mengajukan keberatan karena itu bertentangan dengan hukum Indonesia. "Wah, Pak. Anda khan tahu kami ini GAM. Masak iya kami harus nyoblos Golkar? Tidak ada ceritanya itu." Karena alot, akhirnya kedua tim menyatakan tutup kedai alias perjanjian batal saja. Tim GAM balik ke markasnya di lantai dua. Mereka bersiap-siap untuk pulang hari berikutnya. Tiba-tiba, menjelang malam, Hamid Awaluddin lari tergopoh-gopoh ke lantai dua berusaha untuk menegosiasi kembali. Masing-masing tidak ada yang mengalah. Hamid Awaluddin menelepon JK, ini harus bagaimana? *Kalau Anda bertanya mengapa Pak Hamid tidak bertanya ke SBY, karena jawabannya sudah pasti 'tidak' atau tidak akan dijawab, atau dijaw
[PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM)
Tulisan in saya kutip dari Note FB teman kuliah yang lama kerja di Aceh Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) http://www.facebook.com/note.php?note_id=90628129884&ref=nf Today at 2:44pm Sungguh mengherankan, setelah JK kampanye ke Aceh dan menelanjangi betapa 'banci'-nya presiden kita, Sang Presiden dan tim-nya kebakaran jenggot. Pak SBY yang bilang beliau ini ksatria, tidak akan membalas hujatan dengan hujatan. Buktinya, Mega-Prabowo dibilang menghembuskan angin surga, JK dibilang tidak etis karena dalam posisinya sebagai wapres, berani nglunjak lewat statement-nya. Sebetulnya pesan SBY cuma satu, Everybody, I am the president. Tidak ingatkah beliau, lima tahun yang lalu, SBY juga menelikung Megawati, lebih parah dibanding JK yang hanya adu mulut dengan SBY. Buat yang lupa, SBY itu Menkopolkamnya Megawati (2001-2004). Betul statemen JK, bahwa SBY-lah yang menetapkan status darurat untuk Aceh yg sebetulnya sudah dihapus Wiranto saat menjabat Menkopolkam-nya Gus Dur. Dalam kapasitas sebagai menkopolkam, awal 2004, megawati tahu bahwa SBY akan maju melawannya dlm pilpres. SBY saja jengkel dan menganggap tidak etis karena JK mencalonkan diri jadi presiden. Kalau apa yang dilakukan JK padanya dianggap tidak etis, apa yang dilakukannya ke Mega 2004 tentu saja jauh lebih tidak etis. Tentu kita masih ingat juga, akhir tahun lalu, ketika memperpanjang jabatan gubernur DIY untuk ngarso dalem (Sultan HB X), SBY bilang: siapapun gubernur yang mau mencalonkan presiden, kudu seijin beliau, bahkan disindir, orang yang sudah diangkat kemudian lupa ke siapa yang mengangkatnya, yang seperti itu hanya terjadi di dunia ketoprak. SBY memang lebih cerdik tahun 2004. Supaya tidak perlu minta ijin ke Mega, dia meletakkan jabatan dulu sebelum resmi mencalonkan jadi presiden. Apa yang sebenarnya terjadi pada penghujung MoU Helsinki di detik-detik yang paling menentukan itu? Tidak ada yang memungkiri, memang tanda tangan JK-lah lewat fax yang menghiasi lembaran MOU, bukan tanda tangan SBY. Kata tim SBY, presiden memang sudah memberi wewenang kepada wapresnya untuk ngurusin MoU, tapi bos-nya tetap Sang presiden. Tim SBY menambahkan lagi, itu dilakukan supaya wapres bukan sekedar ban serep. Pak Presiden memang lucu, wapresnya selalu diberi kewenangan untuk sesuatu yang sulit, sedangkan yang enteng, dimana SBY bisa tebar pesona, ditangani sendiri. Singkatnya, di zaman SBY, wapres memang bukan ban serep, tapi bemper untuk kebijakan-kebijakan yang tidak populer. Tanggal 29 Mei 2009, bada maghrib saya mendapat sms tak terduga: Dek, Abang sedang di Bandung, on the way to restoran Gampoeng Aceh. Langsung saja saya reply: I'll be there, in 20 minutes, Bang. Orang yang meng-sms saya itu adalah Munawar Liza Zain, yang punya nickname warzain, salah satu juru runding GAM di Helsinki yang sekarang mendapat amanah sebagai walikota Sabang. Seingat saya, dialah satu-satunya orang yang saya panggil 'Abang' tanpa diikuti nama di belakangnya. Banyak sisi menarik dapat diceritakan tentang Abang. Tapi, yang saya ceritakan sekarang adalah kesaksiannya tentang babak terakhir Helsinki. Abang adalah alumni Gontor yang pernah menempuh studi di Al-Azhar, Kairo. Tim RI di Helsinki diisi oleh orang Aceh (Sofyan Djalil), orang Makassar (Hamid Awaluddin), dan orang Bali (maaf, I can't remember his name), dan ada juga seorang alumni Gontor. Secara psikologis, tim ini lebih menyejukkan dibanding jika orang-orang GAM harus berhadapan dengan tim yang dimayoritasi orang Jawa. Perjanjian sendiri buka diselenggarakan di kantor pemerintah, tapi di sebuah rumah yang terpencil sehingga tidak mungkin kabur. Rumah itu terdiri atas dua lantai. Delegasi Indonesia ditempatkan di lantai satu, sedangkan tim GAM di lantai dua. Hari terakhir bertepatan dengan hari Jumat. Materi perundingan 98% sudah disepakati, kecuali tentang partai lokal. Hamid Awaluddin sebagai pimpinan delegasi Indonesia mengajukan keberatan karena itu bertentangan dengan hukum Indonesia. "Wah, Pak. Anda khan tahu kami ini GAM. Masak iya kami harus nyoblos Golkar? Tidak ada ceritanya itu." Karena alot, akhirnya kedua tim menyatakan tutup kedai alias perjanjian batal saja. Tim GAM balik ke markasnya di lantai dua. Mereka bersiap-siap untuk pulang hari berikutnya. Tiba-tiba, menjelang malam, Hamid Awaluddin lari tergopoh-gopoh ke lantai dua berusaha untuk menegosiasi kembali. Masing-masing tidak ada yang mengalah. Hamid Awaluddin menelepon JK, ini harus bagaimana? *Kalau Anda bertanya mengapa Pak Hamid tidak bertanya ke SBY, karena jawabannya sudah pasti 'tidak' atau tidak akan dijawab, atau dijawab tapi lama, padahal pertaruhannya besar karena kalau malam itu tidak diselesaikan, perjanjian batal* Lain cerita kalau bertanyanya ke JK. Pak JK minta waktu (dan boleh jadi, itu karena JK mengajak istrinya membaca Yasin 10 kali dulu). Akhirnya, jam 2 dinihari, Pak JK bilang: tandatangani saja itu apa mau mereka. AKhirnya, tanda tangan JK-lah yang di-fax. Selesai perundingan itu, dua alumni Gon