** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/07/opini/1669920.htm

 
Keluarga Pejabat Boleh Berbisnis? 

Oleh Hasjim Djalal

BEBERAPA waktu lalu koran-koran Indonesia banyak memberitakan apa yang 
dinyatakan sebagai sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membolehkan 
keluarga pejabat, termasuk istri dan anak mereka, berbisnis asal dilakukan 
secara transparan, adil, dan sesuai dengan hukum.

Di antara alasannya adalah tidak adil kiranya melarang mereka berbisnis sebab 
hal itu merupakan hak warga negara untuk mencari kehidupan, termasuk berbisnis, 
juga dirasa tidak wajar kalau mereka harus mendapat "hukuman" hanya karena 
keluarganya menjadi pejabat negara.

Setelah berita itu, segera bermunculan tanggapan-tanggapan, baik yang merasa 
"pengarahan" Presiden tersebut wajar karena sesuai dengan hak asasi manusia, 
tetapi ada pula yang menganggapnya akan lebih mendorong korupsi, kolusi dan 
nepotisme (KKN) di Indonesia. Malah ada koran yang mensinyalir akan muncul dan 
berkembangnya "Tutut-Tutut" baru di negara tercinta ini.

Namun kemudian diskusi mengenai hal yang penting ini cepat hilang dari wacana 
publik karena terpukau oleh kedahsyatan kerusakan tsunami di Aceh dan Sumatera 
Utara.

Saya merasa masalah ini tetap harus ditanggulangi secara wajar dalam rangka 
pencegahan KKN dan mengembangkan pemerintahan yang bersih. Masalahnya 
barangkali terletak pada belum matangnya "rasa kepatutan" di kalangan 
pejabat-pejabat tertentu yang merasa tidak ada salahnya ikut berbisnis atau 
mendukung keluarganya dalam pengembangan bisnisnya melalui jabatan yang 
dipegangnya atau melalui relasi/koleganya.

SECARA hukum sesungguhnya sudah ada ketentuan dan sumpah jabatan yang tidak 
memperkenankan pejabat mempergunakan kedudukannya untuk kepentingan dirinya 
sendiri atau keluarganya. Malah si pejabat pun harus mencegah hal itu kalau dia 
dapat atau patut menduga bahwa kedudukannya bisa atau sedang disalahgunakan 
oleh keluarga atau sahabat-sahabatnya.

Dalam hubungan ini saya menjadi teringat dengan pengalaman-pengalaman saya 
selaku duta besar di negara lain, terutama di Kanada dan Jerman. Selama di 
Kanada (1981-1983), saya teringat pada seorang menteri kehakiman yang 
meletakkan jabatannya karena diberitakan dan diketahui oleh umum bahwa salah 
seorang anaknya yang ahli hukum dan bekerja di salah satu kantor pengacara di 
kota asal si menteri mendapat kontrak kerja dengan kantor dalam jajaran 
Departemen Kehakiman. Pers Kanada ramai memberitakan bahwa kantor pengacara 
tersebut mendapat kontrak karena berkaitan antara pegawainya (anak menteri 
kehakiman itu) dan kedudukan si menteri yang bersangkutan. Hal itu saja sudah 
cukup untuk membuat si menteri mengundurkan diri.

Dalam peristiwa yang lain saya juga teringat pada seorang menteri perindustrian 
di Kanada yang diketahui menelepon pimpinan sebuah bank untuk memberitahukan 
bahwa istrinya yang pengusaha sedang mengajukan permohonan kredit kepada bank 
yang bersangkutan. Hal ini juga dicium oleh pers dan diberitakan secara luas 
sehingga ada dugaan bahwa si menteri berusaha memengaruhi pemimpin bank untuk 
mengucurkan kredit kepada istrinya. Hal itu pun ternyata juga cukup untuk 
membuat si menteri mengundurkan diri dari jabatannya.

Sewaktu saya di Jerman (1990-1993), saya juga teringat pada hal yang kira-kira 
serupa. Waktu itu Menteri Pertahanan Jerman yang sedang berkunjung secara resmi 
ke New York dan kemudian dengan pesawat terbang militer Amerika Serikat 
meneruskan perjalanan dinasnya ke Los Angeles. Kebetulan saja anak si menteri 
sedang berada di New York dan ingin turut ke Los Angeles terbang bersama 
ayahnya. Pers Jerman memberitakan hal ini dan menuduh si anak telah 
mempergunakan kesempatan jabatan resmi sang ayah, dan sang ayah dituduh telah 
menyalahgunakan kedudukannya. Hal ini pun sudah cukup bagi si menteri untuk 
mengundurkan diri dari jabatannya.

Sewaktu saya bertugas di Amerika Serikat (1979-1981), saya juga sering 
mendengar bahwa pejabat-pejabat negara, seperti menteri dan presiden, yang 
berasal dari kalangan pengusaha menyerahkan usahanya kepada suatu trust fund 
yang akan mengelola bisnis tersebut selama dia menjadi pejabat negara. Hal ini 
untuk mencegah yang bersangkutan mempergunakan kedudukannya di dalam memajukan 
bisnisnya. Dan selama dia memegang jabatan negara, dia tidak boleh mencampuri 
urusan bisnisnya.

Di negara-negara maju seorang pejabat dan keluarganya juga sering tidak 
diperbolehkan menerima hadiah lebih dari nilai yang ditentukan oleh 
undang-undang, dan kalau nilainya lebih tinggi dari yang diperbolehkan, maka 
hadiah-hadiah itu harus diserahkan kepada negara atau si pejabat membayar 
selisih harganya kepada negara

MEMERHATIKAN hal-hal di atas memang perlu kiranya ditetapkan patokan- patokan 
atau aturan-aturan, paling tidak "kode etik", bagi para pejabat negara dan 
keluarganya yang terlibat di dalam bisnis, baik pejabat eksekutif, legislatif, 
maupun yudikatif, baik di pusat maupun di daerah. Misalnya, (1) pejabat 
tersebut sewajarnya menyerahkan pengelolaan bisnisnya kepada suatu trust fund, 
bukan kepada anak atau keluarganya (saya teringat bahwa Departemen Luar Negeri 
Indonesia pernah "melarang" pejabatnya melakukan bisnis sendiri pada waktu 
bertugas di luar negeri), (2) pejabat yang bersangkutan atau jabatannya 
seyogianya tidak memberikan kontrak mengenai bisnis di kantornya atau yang 
terkait dengan kantornya kepada keluarga atau sahabatnya, (3) keluarga pejabat 
seyogianya tidak ikut bepergian (atas biaya negara atau orang lain) kecuali 
jika kehadirannya diperlukan (seperti kehadiran istri dalam acara-acara resmi 
atau upacara-upacara pelantikan dan protokoler lainnya), (4) pejabat dan 
 keluarganya tidak sewajarnya menerima hadiah atau sumbangan apa pun di atas 
jumlah atau nilai tertentu (jumlah/nilai mana dapat ditetapkan oleh presiden 
secara wajar, misalnya 100 dollar AS atau Rp 1 juta sekali peristiwa, misalnya 
maksimum sekali dalam satu bulan), dan jika melebihi jumlah tersebut, maka 
hadiah dan sumbangan itu atau selisihnya harus diserahkan kepada negara yang 
pengelolaan/penggunaannya dapat ditetapkan oleh presiden, (5) pejabat negara 
seyogianya "mengundurkan diri sementara" jika menjadi tersangka dalam perkara 
korupsi, apalagi jika sudah di- hukum oleh pengadilan negeri, dan di- 
rehabilitasi kembali jika dinyatakan tidak bersalah oleh keputusan pengadilan 
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Ketentuan-ketentuan ini kiranya perlu ditetapkan dalam bentuk keputusan atau 
petunjuk-petunjuk presiden.



Hasjim Djalal Pengamat Politik dan Hukum


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Kirim email ke