Refleksi : Rezim neo-Mojopahit membutuhkan dinasti politik bukan saja di pusar kekuasaan, tetapi juga lokal agar bisa salin mengisi kebutuhan kekuasaan. Fungsi pelengkap utama dinasti lokal ialah menjaga dan menjamin agar upeti mengalir dengan saksama ke pusat kekuasan.
http://www.gatra.com/artikel.php?id=135228 Pejabat Daerah Dinasti Politik Lokal Makin Kental Rekrutmen pemimpin politik berbasis kerabat terindikasi menguat. Bursa pencalonan kepala daerah yang mulai bergulir awal tahun ini disemarakkan dengan tampilnya sejumlah anak dan istri pejabat lama. Sepanjang 2010, tak kurang 244 pemilu kepala daerah (pilkada) bakal digelar, sekaligus menguji kelangsungan daya saing politisi bersentimen kekerabatan. Di Yogyakarta, Sri Suryawidati, istri Bupati Bantul dua periode, Idham Samawi, maju jadi calon bupati, meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur (Kaltim), Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur setempat, Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari, anak mantan Bupati Kukar, Syaukani. Golkar Kota Bontang, Kaltim, jauh-jauh hari sudah menetapkan Neni Moernaeni, istri Wali Kota Bontang, Sofyan Hasdam, untuk menggantikan sang suami pada pilkada 2011. Neni kini menjadi Ketua DPRD Bontang, sekaligus pengontrol kinerja suami. Aida Nasution, istri pertama Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah, maju jadi calon gubernur setempat, melanjutkan kursi suami. Ismeth bakal kesulitan maju lagi karena sejak Desember lalu ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lampung juga disesaki persaingan putra tokoh politik. Rycko Menoza, anak Gubernur Lampung, Sjachroedin, mengincar kursi Bupati Lampung Selatan. Di Way Kanan, putra bupati setempat, Agung Ilmu Mangkunegara, bersiap meneruskan kekuasaan sang ayah. Anak Bupati Tulang Bawang, Lampung, Arisandi Dharma Putra, berlaga di pilkada kabupaten lain: Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung, Heru Sambodo, anak Ketua Golkar Lampung, Alzier Dianis Tabrani, mengincar posisi wali kota. Di Jambi, bursa kandidat, antara lain, beredar di antara dua orang lingkaran dekat Gubernur Zulkifli Nurdin, yang telah menjabat dua periode. Semula, yang mencuat diusung sebagai pengganti Zulkifli adalah Hazrin Nurdin, adik gubernur. Belakangan, Ratu Munawwaroh, istri gubernur, justru menguat. Eka Wiryastuti, anak Bupati Tabanan, Bali, Adi Wiryatama, bersikeras maju menggantikan kursi bapaknya. Eka semula dipaketkan sebagai calon wakil bupati, tapi tidak terima. Terjadi manuver politik hingga keluar rekomendasi DPP PDI Perjuangan agar Eka diusung sebagai calon bupati, bukan wakil. *** Kentalnya politik kekerabatan menjelang pilkada pada tahun ini sebenarnya merupakan babak lanjutan belaka dari eksperimen serupa pada pemilu legislatif 2009. Pada saat itu, sejumlah calon anggota DPR dan DPD disesaki kerabat politisi lama. Dan ternyata pemilih kita memberi tempat "terhormat" pada jaringan kerabat. Begitu banyak calon anggota legislatif (caleg) berlatar belakang dinasti politik kemudian terpilih. Dari komposisi anggota DPR perempuan, misalnya, sebagian besar (42,8%) memiliki pertalian keluarga dengan tokoh politik lama. Angka itu di atas caleg kader partai (hanya 30,2%). Meski mereka bersaing merebut kursi level nasional (DPR dan DPD), sebenarnya para caleg menghadapi perilaku pemilih skala lokal juga, terbagi pada tiap daerah pemilihan (dapil), yang ruang lingkup konstituennya mirip pilkada. Artinya, bila pemilih kepala daerah masih mempertimbangkan sentimen kekerabatan, begitu pula pemilih caleg. Peraih suara terbanyak DPD, yang lingkup dapilnya se-provinsi, sebagian kerabat gubernur. Di Kepulauan Riau, suara DPD terbesar diraih Aida Ismeth, istri Gubernur Ismeth Abdullah. Jadi, bila kini Aida mau bertarung merebut kursi gubernur, sebenarnya tinggal mengulang konsolidasi jaringan pengaruhnya ketika maju ke DPD pada tahun lalu. Di Banten, peraih suara DPD terbanyak adalah Andika Hazrumy, putra Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Di Yogyakarta, Ratu Hemas, istri Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, juga meraih suara DPD terbesar. *** Pemilu 2009 bukan eksperimen pertama politik kekerabatan dalam pemilu secara langsung. Pemilu legislatif 2004 dan sejumlah pilkada langsung sejak 2005 juga menghasilkan peta pemimpin daerah yang kental pertalian kerabat. Awal Februari 2006, Museum Rekor Indonesia pernah memberi penghargaan kepada pasangan suami-istri pertama yang sama-sama terpilih menjadi bupati lewat pemilu langsung. Sang suami, I Gede Winasa, jadi Bupati Jembrana, Bali. Istrinya, Ratna Ani Lestari, jadi Bupati Banyuwangi, Jawa Timur. I Gede Winasa terpilih sampai dua periode (2000-2010). Sedangkan Ratna, tahun ini, bakal sulit bertarung pada periode kedua di Banyuwangi karena sejak Agustus 2008 ditetapkan sebagai tersangka korupsi perkara pembebasan lahan lapangan terbang. Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada Juni 2005, melahirkan pasangan mertua-menantu pertama sebagai bupati (Lalu Wiratmaja) dan wakil bupati (Lalu Suprayatno). Di Kalimantan Tengah (Kalteng), gubernur setempat, Teras Narang, pada Agustus 2005, dilantik DPRD yang dipimpin kakaknya, Atu Narang. Pasca-Pemilu 2009, pamor dinasti politik Narang makin benderang. Atu Narang terpilih kembali sebagai Ketua DPRD Kalteng. Putra sulung Atu, Aris Narang, menjadi anggota DPRD Kalteng dengan suara terbayak. Adik Aris, Asdy Narang, terpilih jadi anggota DPR-RI. Di Jawa Tengah, salah satu keluarga yang legendaris sebagai pemasok pejabat publik setempat adalah pasangan R. Sugito Wiryo Hamidjoyo dan R. Rustiawati. Lima dari 11 putra Sugito meramaikan bursa jabatan publik di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada periode 2004-2009. Putra kedua, Don Murdono, jadi Bupati Sumedang sejak 2003 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2008. Adiknya, Hendy Boedoro, menjadi Bupati Kendal sejak tahun 2000 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2005. Karier Hendy tersandung. Sejak Desember 2006, ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Si bungsu, Murdoko, juga tak mau kalah. Ia melesat jadi Ketua DPRD Jawa Tengah 2004-2009 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2009. Sang ayah, Sugito, dulu adalah Sekretaris PNI Kendal. Sulawesi Selatan (Sulsel) memiliki nama kondang Yasin Limpo. Pensiunan Angkatan Darat ini pernah menjadi Bupati Luwuk, Majene, dan Gowa. Jusuf Kalla pernah menobatkan Yasin sebagai guru politiknya. Yasin telah pensiun. Tapi istri dan anak-anaknya tetap berkiprah di ranah politik. Pada periode 2004-2009, istri Yasin, Nurhayati, menjadi anggota DPR-RI. Putra pertamanya, Tenri Olle, jadi anggota DPRD Gowa. Tenri bertugas mengawasi adiknya, Ichsan Yasin (putra kelima), selaku Bupati Gowa. Putra kedua, Syahrul Yasin, menjadi Wakil Gubernur Sulsel dan sejak April 2008 naik jadi gubernur setempat. Keluarga Yasin Limpo sudah lama malang melintang di panggung politik Sulsel. Yasin tercatat sebagai pendiri Golkar Sulsel. Menurut Syahrul Yasin, sang ayah tak pernah memaksa anak-anaknya jadi pejabat. Yasin Limpo hanya sering menekankan pentingnya memberi teladan dan betapa mulianya menjadi pemimpin. *** Dosen ilmu politik Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang concern pada politik lokal, A.G.N. Ari Dwipayana, menyebut tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Kini disebut neopatrimonial, kata Ari, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural," katanya. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan: partai politik. "Patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural," ujarnya. Pada sistem patrimonial, keberhasilan pemerintahan dilekatkan pada orang. Di Bantul, misalnya, sukses yang diraih dianggap sebagai hasil kerja personal Idham Samawi. Ketika figur itu pergi, masyarakat merasa kehilangan. Padahal, penggantinya tidak serta-merta bisa melakukan transformasi politik. "Konservatisme masyarakat masih kuat. Masyarakat takut membuat pilihan berbeda. Mereka ingin aman," kata Ari. Peluang menang bagi kandidat seperti ini besar. "Karena masyarakat punya imajinasi kolektif pada incumbent," ia menambahkan. Di sisi lain, incumbent punya jaringan terkonsolidasi yang baik, tinggal dimanfaatkan. Kompetitor juga tidak melakukan investasi politik jangka panjang. Ari menyatakan, fenomena ini kurang sehat dalam poltik karena tidak ada alternatif buat masyarakat. Karakter kepemimpinan model ini mestinya diubah. "Ukuran politik dilekatkan kembali pada institusi dan aturan main, bukan personal," katanya. Pada kasus Bantul, Ari menilai, masalah besarnya adalah ketidaksiapan partai memberikan kader alternatif. "Padahal, lima tahun ini bisa, tapi tidak dilakukan," tuturnya. Amich Alhumami, peneliti sosial di University of Sussex, Inggris, menyebut politik kekerabatan itu tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi. Sebab proses rekrutmen didasarkan pada sentimen kekeluargaan, bukan kompetensi. "Jika terus berlanjut, gejala ini bisa kontraproduktif bagi ikhtiar membangun sistem demokrasi modern," tulis Amich di Gatra. Politik kekerabatan, papar Amich, lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastoral. Garis kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, ujar Amich, dibangun di atas basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is thicker than water --darah lebih kental daripada air. Doktrin ini menegaskan, kekuasaan --karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan, kekayaan, dan aneka social privileges-- harus berputar di antara anggota keluarga dan para kerabat saja. Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang punya hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Merujuk pada dalil blood is thicker than water itu, di era modern, para politikus mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya dengan cara memanipulasi sistem politik demokrasi. Para kerabat --lantaran pertalian darah-- dianggap lebih dapat dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka, para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau calon kepala daerah. "Ini bentuk manipulasi sistem politik modern melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang mengandung banyak kelemahan," katanya. Mereka menjadi caleg atau calon kepala daerah lebih karena political privileges keluarga, yang hanya memproduksi politisi tiban/karbitan. Bukan political credentials kreasi mereka sendiri, yang melahirkan politisi sejati/otentik. Political credentials bisa diperoleh melalui tiga jalan. Pertama, aktivisme sosial-politik yang mendapat pengakuan publik sehingga melahirkan sosok politisi genuine, kredibel, dan bereputasi cemerlang. Kedua, pendidikan yang mengantarkan seseorang menjadi politikus terpelajar dengan prestasi individual yang secara objektif diakui masyarakat. Ketiga, kombinasi antara aktivisme sosial-politik dan pengalaman pendidikan yang panjang. Amich mengakui, banyak pula tokoh politik nasional yang tumbuh, selain karena mewarisi darah aristokrasi politik keluarga, juga memiliki political credentials yang mereka bangun sendiri. Abdurrahman Wahid bisa disebut mewakili tokoh politik yang membangun political credentials melalui kombinasi dua jalan tadi. Sedangkan Megawati menempuhnya melalui jalan yang pertama. Dua tokoh politik itu, selain secara genetikal punya talenta dan keistimewaan bawaan, juga memiliki rekam jejak dan pencapaian individual yang mendapat pengakuan publik. Simak pula dinasti-dinasti politik besar dunia: Kennedy (Amerika Serikat), Gandhi (India), Bhutto (Pakistan), atau Gemayel dan Hariri (Lebanon), yang sekalipun mewarisi tradisi politik keluarga yang kental, setiap tokohnya memiliki political credentials yang otentik. *** Meski bermuatan kekerabatan, sebagian kandidat menolak bila pencalonannya dinilai sekadar pelanggengan kekuasaan keluarga tanpa spirit dedikasi dan kalkulasi rasional. Sri Suryawidati, istri Idham Samawi, yang biasa disapa Ida Idham, menjelaskan bahwa pencalonannya lebih karena permintaan warga. "Saya sudah siap-siap pensiun dengan Pak Idham. Tapi dukungan rakyat begitu kuat. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, saya menerima," kata Ida. Idham Samawi juga mengaku bersiap pensiun. "Saya sudah bertekad, mulai Juli 2010 jadi petani," ujarnya. Idham berencana menyewa tanah kas desa, belajar bertani, berternak, dan memelihara ikan. Namun, pada Juli 2009, banyak warga Bantul datang ke rumah dinasnya. Puncaknya, pada Oktober-November 2009, ada 400-500 orang, bahkan suatu kali 1.000-an orang, yang datang. "Mereka warga biasa, tidak partisan," kata Idham dengan gaya sopan khas Jawa, penuh diksi "nyuwun sewu". "Mereka minta diizinkan istri saya maju karena ingin program baik saya berlanjut," katanya. "Kalau Bu Ida jadi, Pak Idham tidak bisa pergi dari Bantul," Idham menirukan warga. Idham sempat bertanya, apa istrinya bisa. Ia dan tim akhirnya membuat survei tertutup di 75 desa di Bantul. Per desa diambil 30-40 sampel. Hasilnya, lebih 70% mendukung Ida. "Saya terharu," kata Idham. Itulah kalkulasi rasionalnya. Setelah melakukan salat istikharah, pada November 2009, Idham memberi restu kepada istrinya untuk maju. Sayaratnya, calon wakil Ida harus wakil Idham sekarang, Sumarno, birokrat karier. Pasangan ini akan saling mengisi. "Kalaupun Ida jadi, itu bukan kehendak Idham, tapi rakyat," begitu ucapan seorang teman yang dikenang Idham. "Saya tidak punya kemampuan mempengaruhi suara rakyat. Rakyat sudah cerdas," tutur Idham. Dukungan warga itu, kata Idham, agar program positifnya berlanjut. Misalnya di bidang pendidikan. Jumlah guru bergelar S-2 terbanyak di Bantul. Sejak 2006, nilai ujian siswa Bantul tertinggi, jumlah lulusan terbanyak, dan punya tradisi juara di Yogyakarta. Wakil lomba peluncuran roket dunia tingkat SMP juga dari Bantul. Ada pula kebijakan melestarikan pasar tradisional, dengan melarang mal dan membatasai hypermart dengan jarak 1,5 kilometer dari pasar tradisonal. Idham juga dianggap berhasil membangkitkan semangat warga Bantul setelah gempa 2006. Sejak Ida mencalonkan, Idham justru merasa tidak enak hati. Ia sering berdialog dengan KPU, memperjelas aturan main KPU soal fasilitas pemda. Ia khawatir ada anggapan bahwa istrinya memanfaatkan fasilitas jabatan suami. Betapapun dinasti politik dikritik sana-sini, sebagian pemilih kita masih memberi tempat pada kerabat pejabat. Bagi partai politik yang tidak memiliki tradisi kaderisasi tertata, rekrutmen kerabat menjadi jalan pintas untuk memenuhi kursi caleg atau pos calon kepala daerah. Asrori S. Karni, Arif Koes Hernawan, Jogi Sirait, dan Iman Untung Slamet [Nasional, Gatra Nomor 15 Beredar Kamis, 18 Februari 2010] [Non-text portions of this message have been removed]