Media Indonesia
Selasa, 10 Mei 2005


Genealogi Korupsi di Indonesia
Boni Hargens, peneliti Pusat Kajian Ilmu Politik FISIP UI, Depok



HEBOH dugaan korupsi di KPU dengan ditahannya anggota komisi itu, Mulyana W 
Kusumah dan pejabat di KPU, kian meneguhkan bahwa urusan penilapan uang bisa 
dilakukan oleh siapa saja. Tidak ada person dan lembaga yang dapat 
dikonotasikan bersih, bahkan imun terhadap tindak pidana korupsi.

Kasak-kusuk tentang korupsi di lembaga penyelenggara KPU itu, sebenarnya telah 
muncul sejak Agustus 2004 ketika sejumlah LSM mengangkat persoalan tersebut ke 
ruang publik. Dalam temuannya, secara rinci koalisi LSM mencatat dugaan korupsi 
seperti Rp170,04 miliar (distribusi logistik), Rp56,468 miliar (surat suara), 
Rp2,775 miliar (pengadaan mobil operasional KPUD), Rp31,207 miliar (pengadaan 
kotak suara), Rp80,10 miliar (pembengkakan kotak suara), Rp6,2 miliar 
(pengadaan bilik suara), Rp28,554 miliar (pembengkakan bilik suara). Semua 
temuan itu sebelumnya telah dilaporkan ke KPK untuk dilakukan penyidikan lebih 
lanjut.

Runutan cerita itu menggambarkan bahwa pembongkaran isu korupsi di KPU oleh KPK 
bukan karena kebetulan. Jelas juga bukan karena ada tindak pidana penyuapan 
yang dilakukan Mulyana W Kusumah terhadap staf BPK, tetapi merupakan buah dari 
proses panjang penyidikan yang dilakukan secara tersembunyi. Memang ada yang 
bilang bahwa telah terjadi konspirasi antara BPK dan KPK untuk 'mematikan' 
manuver para aktivis sekelas Mulyana. Tuduhan itu dikuatkan oleh adanya surat 
perintah penahanan yang diduga sudah dipersiapkan sebelumnya. Tetapi ada juga 
yang bilang bahwa konspirasi itu adalah bagian dari wewenang kerja KPK untuk 
memberantas korupsi sehingga tidak ada masalah dengan surat perintah penahanan 
itu.

Saya pikir, ada atau tidaknya konspirasi, adalah masalah lain yang mesti 
dipisahkan dengan masalah dugaan korupsi. Hanya, yang perlu ditelusuri lebih 
jauh adalah apakah itu korupsi kolektif ataukah personal supaya Mulyana tidak 
dikambinghitamkan secara konyol.

Kalau memang terbukti anggota KPU entah personal ataupun kolektif telah 
melakukan tindak pidana korupsi, sebagai bangsa kita patut berduka karena hal 
ini menandakan hilangnya keteladanan moral dalam menjalankan jabatan publik di 
negeri ini. Lebih jelasnya, kejadian ini memunculkan skeptisisme baru bahwa 
jabatan publik yang semestinya dipertanggungjawabkan kepada kebaikan publik, 
kini didagangkan untuk ambisi dan keuntungan diri. Ini pertanda buruk tentang 
kebangkrutan moral para pejabat publik di negeri yang demokrasinya prematur.

Geneologi korupsi
Jika terbukti secara hukum, dengan tetap berpegang pada asas praduga tak 
bersalah, kasus ini mendesak kita untuk berpikir ulang tentang genealogi 
korupsi di bangsa ini, apa sebetulnya akar korupsi di bangsa ini?

Ada yang bilang bahwa penyakit korupsi berkembang dalam tiga tahap, yaitu 
elitis, endemik, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi 
patologi sosial yang khas di lingkungan para elite/pejabat. Pada tahap endemik, 
korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis, 
ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit 
penyakit yang serupa. Boleh jadi bangsa ini telah mencapai tahap sistemik itu.

Suatu studi yang mendalam tentang akar korupsi, agaknya urgen dilakukan agar 
kita bisa merumuskan suatu solusi pemberantasan dan pencegahan yang efektif. 
Ide Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) tentang pemberantasan korupsi 
melalui strategi detektif dan strategi represif sebetulnya sudah berjalan 
dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi. Tetapi ternyata, adanya KPK dan 
sejumlah LSM yang menangani isu yang sama, korupsi justru semakin 
tersistematisasi dan meluas.

Mengapa? Barangkali karena mekanisme pemberantasan korupsi yang dijalankan 
selama ini ibarat memangkas dahan duri tanpa mencabut akarnya.

Tiga wilayah akar korupsi
Lebih jelasnya, ada tiga wilayah penting yang menjadi lokus bertumbuhnya akar 
korupsi. Pertama, wilayah individu. Di wilayah ini, perilaku korup tidak hanya 
ditautkan dengan moralitas personal yakni menyangkut nilai-nilai yang diserap 
seseorang, tetapi juga menyangkut hal situasional seperti adanya peluang 
korupsi atau juga faktor kemiskinan. Dalam konteks ini barangkali kita bisa 
menemukan titik terang mengapa korupsi bisa meluas di negeri yang tidak begitu 
menghargai kaum intelektualnya dan mengapa jabatan publik sering kali dipandang 
sebagai ajang mencari keuntungan ekonomis. Jelas sebetulnya bahwa ketika 
jabatan publik hanya ditakar secara ekonomis, seluruh harapan luhur tentang 
moral jabatan dan etika politik menjadi sirna. Perilaku korupsi persis 
berkembang subur dalam iklim yang demikian.

Kedua, wilayah sistem. Kredo dasar kaum institusionalis adalah bahwa perilaku 
individu ditentukan oleh sistem. Implikasi dari paradigma institusionalisme ini 
adalah bahwa korupsi dipahami sebagai konsekuensi dari kerja sistem yang tidak 
efektif. Mekanisme kontrol yang lemah dan kerapuhan sebuah sistem memberi 
peluang bagi terjadinya pelanggaran seperti korupsi. Selain itu, hubungan 
pengawasan antarlembaga yang kurang efektif turut memproduksi peluang 
terjadinya pelanggaran.

Boleh jadi, tidak adanya lembaga lain yang memiliki kewenangan khusus untuk 
mengawasi secara langsung proses kerja KPU selama mengatur penyelenggaraan 
pemilu, terutama menyangkut urusan logistik, memberikan peluang adanya praktik 
penyimpangan.

Tidak hanya di KPU, di lembaga lain pun, termasuk DPR, mekanisme kontrol itu 
masih lemah sehingga membuka peluang bagi terjadinya praktik konspirasi, 
suap-menyuap, atau tender fiktif. Hal itu juga diakui anggota DPR Djoko Soesilo 
dari Fraksi PAN dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia (29 April 2005).

Itu artinya, pemberantasan korupsi mesti dijalankan secara sinergis dengan 
pembenahan sistem dan pengaturan tentang fungsi kontrol antarlembaga. Ini 
menjadi otokritik juga terhadap kampanye antikorupsi yang dicanangkan 
pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Bahwa ketika pemberantasan korupsi dipahami 
secara ad hominem (mengacu pada pelaku saja), maka kebijakan itu selain tidak 
produktif untuk jangka panjang juga niscaya gagal memahami genealogi korupsi 
itu sendiri.

Ketiga, wilayah irisan antara sistem dan individu. Kaum Hobbesian mengatakan 
bahwa sistem yang kuat menciptakan kepatuhan yang tinggi dari anggota-anggota 
di dalamnya sehingga yang dibutuhkan adalah 'negara leviathan'. Sebaliknya, 
kaum minimalis mengatakan bahwa sistem tidak perlu terlalu kaku karena individu 
di dalamnya juga memiliki kesadaran untuk conform terhadap sistem. Tidak mudah 
menentukan keyakinan mana yang benar. Tapi yang pasti bahwa upaya 'membangun 
negara' (state building) terkait dengan upaya membangun sistem yang kukuh agar 
terjadi harmoni antara sistem dan individu di dalamnya. Dengan begitu, upaya 
penegakan hukum dan penguatan demokrasi bisa berlangsung secara utuh dan 
holistis. Kegagalan penegakan hukum kita selama ini terkait persis dengan 
gagalnya upaya state-building itu.***

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke