Mencari Perdamaian, Perang yang Didapat

Oleh: KH Abdurrahman Wahid


Peperangan di Irak telah terjadi, dengan pelemparan ratusan buah peluru
kendali dari sejumlah alat perang Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Bagi
sementara orang, perang itu disebut sebagai penyerbuan (invasi), karena
kekuatan militer yang sangat tidak berimbang antara kedua belah pihak. Pada
waktu penulis berada di Ann Arbor, di kalangan kampus Universitas Michigan,
seorang hadirin bertanya tentang terjadinya penyerbuan AS ke Irak, lalu
seorang peserta lain segera melakukan koreksi: bukan penyerbuan AS,
melainkan penyerbuan George W Bush Junior.


Hal itu menunjukkan bahwa penentangan terhadap perang itu berjumlah sangat
besar, termasuk oleh pemerintah Indonesia. Bahkan tiga Negara anggota tetap
Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni Prancis, Rusia
dan RRC menentangnya. Karenanya, Bush melakukan penyerbuan dengan tidak ada
izin dari DK-PBB, yang membawa krisisnya sendiri -minimal krisis
kredibilitas bagi PBB. Bush selalu menyatakan keinginannya untuk
menghilangkan "semangat kejahatan" (evil spirit), dengan jalan menurunkan
Saddam Hussein dari kursi kepresidenan Irak. Dengan demikian, ia berusaha
menegakkan pemerintahan demokratis yang kuat di Irak. Tetapi banyak orang
meragukan niat Bush itu, karena terlihat pertimbangan-pertimbangan
geo-politik juga ada dalam memutuskan penyerangan atas Irak. Karena
tampaknya Saudi Arabia -yang merupakan penghasil minyak terbesar di dunia-
dalam kasus Israel-Palestina, telah meninggalkan kebijakan politik luar
negeri AS. Dengan demikian, peranan negeri itu haruslah diimbangi dengan
negeri penghasil minyak terbesar kedua di dunia, yaitu Irak.


Karena Irak masih diperintah oleh Saddam Hussein, dengan sendirinya iapun
harus diganti dengan orang lain, yang lebih "terbuka" bagi tekanan-tekanan
politik luar negeri AS, berarti Irak harus diserang. Ada pula orang yang
menganggap faktor psikologis tidak boleh dilupakan dalam hal ini, yaitu
Presiden Bush muda (junior) harus memenangkan perang terhadap Saddam
Hussein, yang telah menggagalkan "kemenangan" presiden Bush tua (senior).
Rasa-rasanya semua argumentasi tadi cukup beralasan untuk diajukan pada
perdebatan pendapat tentang benar-tidaknya penyerbuan ke Irak itu. Kalau
memang benar adanya, maka AS dan sekutunya harus mengakhiri perang. Jelas
Irak harus menemukan jalannya sendiri pada kemajuan dalam pembangunan
ekonomi, maupun dalam penemuan identitas sendiri, sebagaimana diharapkan
oleh banyak kalangan pemikir. Sebagaimana halnya dengan Chun Do-Hwan di
Korea, yang pada akhirnya menjadi biarawan Buddha, dan dengan demikian tidak
dituntut oleh pengadilan di sana, sebagai bagian penting dari rekonsiliasi
nasional ala Korea, maka tentu Irak pun akan menemukan caranya sendiri akan
rekonsiliasi nasional tanpa campur tangan AS.


Gempuran militer atas Irak itu tentu saja menimbulkan reaksi keras cukup
besar di seluruh dunia. Sebuah negara adi-kuasa telah memaksakan kehendak
kepada dunia, melalui penafsirannya sendiri atas perkembangan yang terjadi
di dunia ini, dengan alasan-alasannya sendiri berbeda dari pendapat resmi
DK-PBB, jelas telah membuka lembaran baru dalam tata hubungan internasional.


Banyak juga orang memuji keberanian "moral" Bush dalam hal ini. Tetapi, ada
yang menyatakan, hancurnya kredibilitas PBB dan tata hokum internasional
yang objektif. Dampaknya, memungkinkan sebuah negara di Afrika untuk
menyerbu tetangganya dengan alasan yang dicari-cari. Jika ini terjadi,
dapatkah AS mengerahkan kekuatan militer di seluruh dunia pada saat
bersamaan? Inilah yang mengkhawatirkan para pengamat itu: hubungan
internasional atas dasar penafsiran sepihak, tanpa ada pembenaran formal
dari DK-PBB, dapat menjamin menetapnya perdamaian dan ketenteraman dunia?


Di hari-hari pertama penyerangan atas Irak tersebut, tentu sajian televisi
CNN selalu menggambarkan tentang keperkasaan AS. Setelah dua hari "membatasi
diri" dalam penyerangan tersebut, di hari ketiga kekuatan militer AS yang
demikian dahsyat digelar dengan kekuatan penuh. Sebagian Irak bagian selatan
telah "dibebaskan" dari Saddam Hussein. Pasukan-pasukan kavaleri AS dari
kawasan Kuwait menerobos dengan mudah wilayah Irak bagian selatan, dan dalam
hal ini kecepatan yang luar biasa dari pasukan-pasukan kavaleri AS dan para
mariner Inggris sangat mengagumkan. Dalam waktu sebentar saja, tanpa
perlawanan berarti, pasukan Irak dengan mudah begitu saja menyerah tanpa
syarat.


Karena itulah, dapat saja segera diajukan klaim "kemenangan" AS dan
sekutu-sekutunya ditambah dengan pasukan-pasukan AS yang tergabung dalam
bala tentara Kurdi di sebelah utara, jelas bahwa Baghdad dijepit dari utara
dan selatan. Dengan demikian, kejatuhan Baghdad tinggal menunggu waktu saja.


Benarkah sikap menganggap AS telah memenangkan pertempuran tersebut? Penulis
justru menganggapnya sebagai permulaan dari sebuah proses yang sangat
panjang, jika AS tidak dapat menangkap Saddam Hussein dalam waktu beberapa
bulan yang akan datang ini, maka sikap rakyat Irak akan berubah dengan
cepat. Sikap yang selama ini diperlihatkan, paling tidak akan berubah
menjadi sikap menolak secara psikologis serangan demi serangan AS itu. Sikap
seperti itu, jelas didukung oleh mayoritas bangsa-bangsa dan negara-negara
di dunia. Jelas yang harus diperbuat oleh Saddam Hussein adalah menghindari
penangkapan atas dirinya. Selebihnya, akan "diselesaikan dengan cara damai
dan dengan perundingan". Jika Von Clausewitz menyatakan, perang adalah
penerusan perundingan yang gagal, maka dapat kita katakan, perundingan damai
adalah penerusan dari peperangan yang tidak mencapai maksudnya. Inilah
kemungkinan buruk yang tidak diperhitungkan jauh sebelumnya oleh Bush, yang
hanya mengandalkan kemarahan kepada Saddam Hussein saja. Sikap seperti ini
memang dapat saja membawa hasil cepat yang menguntungkan, tetapi dapat juga
berakibat sebaliknya. Penulis memandang rakyat AS tidak akan mau berperang
lama-lama melawan siapapun. Karenanya, sangat riskan untuk mendasarkan
sebuah penyerbuan besar-besaran atas negeri lain dalam tatanan dunia
sekarang ini.


Di sinilah letak arti penting dari peranan sebuah lembaga internasional
seperti PBB. Paling tidak, persetujuan PBB merupakan pembenaran formal atas
apapun yang dilakukan oleh seluruh negara atas negara yang lain. Jika
kenyataan ini diabaikan, tidaklah menjadi soal jika sukses yang diperoleh.
Tapi, jika sebaliknya yang terjadi, akan runtuhlah kewibawaan AS di mata
negara-negara lain yang kecil. Jika AS gagal menangkap Saddam Hussein, dan
terpaksa berperang untuk jangka panjang, maka segera tindakan itu harus
dihentikan, karena tuntutan rakyat Amerika Serikat sendiri yang tidak mau
berperang lama-lama. Jika ini terjadi, mau tidak mau harus dicari formula
persetujuan damai atas Irak. Banyak masalah terkait dengan hal itu, tetapi
jelas perundingan merupakan penyelesaian terbaik. Dalam hal ini, penulis
meminta agar supaya penyelesaian damai di Irak, dikaitkan langsung dengan
upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Dengan demikian, baik Israel
maupun seluruh bangsa-bangsa Arab akan berkepentingan untuk menjaga
perdamaian tersebut. Ini adalah persyaratan sangat penting, karena hanya
dengan cara demikianlah sebuah perdamaian abadi dapat ditegakkan di kawasan
Timur-Tengah. Di sinilah terletak kaitan vital antara penyelesaian sengketa
Irak di satu pihak dan sengketa Israel-Palestina di pihak lain.


Perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, hanya dapat dicapai manakala
negara Palestina dapat diperkuat dengan kemungkinan mengembangkan industri
dan perdagangannya. Hal itu hanya dapat dicapai jika ada bantuan ekonomi
besar-besaran, dalam bentuk kredit murah bagi mereka. Katakanlah pinjaman
lunak selama dua puluh tahun, sebesar satu miliar dolar AS. Sedangkan
sebaliknya, jika AS-Inggris tidak dapat menangkap Saddam Hussein, maka
pendapat umum dalam negeri maupun internasional akan memaksa penarikan
mundur pasukan-pasukan mereka.


Dalam hal ini, dapat diminta Saddam Hussein mengundurkan diri untuk
kepentingan bangsa Arab secara keseluruhan, khususnya untuk memungkinkan
pemberian kredit lunak dalam jumlah demikian besar kepada negara Palestina.
Ini karena keyakinan penulis, bahwa Saddam Hussein sangat menghormati sebuah
negara Palestina yang merdeka, dan karena ia sendiri telah berhasil
menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin Irak yang diserang sebuah negara
adi-kuasa, seperti AS. ***



Penulis adalah Mustasyar PBNU


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke