Negara dan Kepemimpinan dalam Islam

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Sebenarnya terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan dan konsep
negara dalam pandangan Islam. Penulis pernah mengemukakan sumber tertulis
(dalil naqli) bagi sebuah pandangan Islam. Adagium itu adalah "Tiada agama
tanpa kelompok/masyarakat, tiada masyarakat tanpa kepemimpinan dan tiada
kepemimpinan tanpa sang pemimpin"(La dina Illa bi jama'atin wa la jama'ata
illa bi imamatin wa la imamata illa bi imamin).


Di sini tampak jelas, arti seorang pemimpin bagi Islam, ia adalah pejabat
yang bertanggungjawab tentang penegakan perintah-perintah Islam dan pencegah
larangan-larangan-Nya (Amar Ma'ruf Nahi Munkar). Karenanya, pemimpin
dilengkapi dengan kekuasaan efektif, yang jelas kekuasaan efektif inilah
yang oleh Munas Ulama tahun 1957 di Medan dinyatakan sebagai "wewenang
kekuasaan efektif" (Sa'ukah).


Karena itulah, Munas tersebut mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia
adalah "penguasa pemerintahan untuk sementara, dengan kekuasaan efektif"
(Waliyyu Al-amri ad-dharuri bi al-Sa'ukah). Maksud dari kata "untuk
sementara" karena ia adalah pengganti Imam yang dalam hal ini Kepala
Pemerintahan. Namun wewenang yang dimilikinya sebagai pengganti Imam tidak
berdasarkan sumber tertulis (dalil Naqli), melainkan karena pertimbangan
rasional (dalil Aqli), yang tidak mengurangi keabsahan kekuasaan itu
sendiri. Kemudian kata "sementara", artinya sebelum datangnya hari kiamat.
Keputusan Munas di atas, dinyatakan berlaku bagi semua Presiden Republik
Indonesia; namun oleh mereka yang "dibius" oleh konsep Negara Islam,
dinyatakan hanya berlaku untuk Kepresidenan Bung Karno saja.


Dengan demikian, sebuah bukan negara Islam dianggap tidak memiliki ajaran
tentang konsep kepemimpinan yang Islami. Karena itu diandaikan, konsep bukan
negara Islam seolah-olah tidak memiliki konsep Islam tentang kepemimpinan,
dan dengan demikian konsep itu tidak memiliki keabsahan dalam pandangan
Islam.


Ternyata setelah berjalan puluhan tahun lamanya, kini kita mengetahui
kenyataan sebenarnya, yaitu bahwa kelangkaan konsep Islam tentang negara,
tidak berarti agama tersebut tidak memiliki pandangan tentang kepemimpinan.
Pandangan ini melihat kepemimpinan menurut Islam berlaku untuk kepemimpinan
negara (kepemimpinan formal) maupun kepemimpinan dalam masyarakat
(kepemimpinan non-formal). Dalam tulisan ini akan ditinjau orientasi
minimalnya, karena hal-hal lain diserahkan kepada
kita untuk merumuskannya.


Dalam pandangan Islam: "orientasi seorang pemimpin terkait langsung dengan
kesejahteraan rakyat yang dipimpin". Ini berarti, Islam tidak
membeda-bedakan kepemimpinan negara dan kepemimpinan masyarakat, juga
mengenai bentuk dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenegaraan
atau kemasyarakatan yang melatarbelakangi kepemimpinan itu, apakah itu
imperium dunia, republik negara bangsa atau negara kota. Maka dari itu,
sia-sia juga jika kita kaitkan langsung kepemimpinan di
"negara Islam" yang ada dengan proses demokratisasi. Karenanya, kita lihat
sekarang ini kepemimpinan dalam "negara Islam" ada yang bersifat otoriter
atau demokratis, dengan sistem pemerintahan Raja atau Amir, kepemimpinan
ulama maupun kepemimpinan para sesepuh masyarakat (community leaders).
Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahteraan langsung pada masyarakat,
selama itu pula kepemimpinan yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan
umat Islam.


Namun di sinilah kita sering terjebak, yaitu dalam anggapan kesejahteraan di
atas hanya menyangkut kenyataan-kenyataan lahiriah dan angka statistik
belaka, seperti kepemilikan benda, usia hidup rata-rata dan sebagainya.
Sering dilupakan, masalah kesejahteraan juga menyangkut kemerdekaan
berbicara dan berpendapat, kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi
semua warga negara di hadapan undang-undang. Hal-hal itu nantinya akan
menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan rakyat dalam menentukan bentuk
negara yang mereka inginkan dan beberapa aspek kehidupan agar tercipta rasa
keadilan.


Proses peralihan (transisi) kepemimpinan dunia, negara dan masyarakat
seperti kita lihat dewasa ini, masih menimbulkan keresahan. Keresahan ini
seperti yang menghinggapi negara dengan mayoritas warganya yang beragama
Islam, akibat dari gagalnya upaya-upaya terorisme yang terjadi di mana-mana
dengan mengatasnamakan Islam. Sebenarnya, para pakar masyarakat Muslim di
seluruh dunia, harus mensosialisasikan pengenalan dan identifikasi
sebab-sebab utama munculnya terorisme itu. Dan bukannya diselesaikan dengan
penyerangan dan pengeboman seperti yang terjadi di Afghanistan dan mungkin
sebentar lagi atas Irak. Pengeboman itu sendiri secara tidak jujur
dikemukakan Presiden Amerika Serikat Geogre W Bush Jr sebagai upaya
menurunkan diktator Saddam Hussein dari jabatan kepresidenan di Irak.
Padahal, pertimbangan-pertimbangan geopolitik internasional yang membuat
Amerika mengambil tindakan terhadap Irak, yaitu, karena Saudi Arabia telah
"menyimpang" dari politik Luar Negeri Amerika Serikat, padahal ia adalah
penghasil minyak bumi (BBM) nomor satu di dunia, maka harus dicarikan
kekuatan pengimbang terhadapnya. Pilihan itu jatuh kepada Irak, karena ia
adalah penghasil minyak bumi kedua terbesar saat ini. Karena Irak di bawah
kepresidenan Saddam tidak akan mungkin mengikuti politik luar negeri AS maka
ia harus diganti secepatnya. Kalau Saddam dianggap sebagai 'kekuatan jahat'
(Evil Force), mengapakah hal itu tidak dikenakan atas para pemimpin Saudi
Arabia? Negara yang tiap tahun menghukum mati sekitar dua ribu orang yang
dianggap 'kaum oposan'? Standar moral ganda (double morality) seperti inilah
yang digunakan para pemimpin seperti Bush saat ini, yang membuat istilah
'politik' berpengertian sangat buruk. Politik yang oleh mendiang Presiden AS
John F Kennedy sebagai 'karya termulya', karena menyangkut kesejahteraan
(lahir dan batin) rakyat.


Kembali pada kepemimpinan Islam, dalam Islam kepemimpinan haruslah
berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan orang banyak. Sebuah adagium
terkenal dari hukum Islam adalah 'kebijakan dan tindakan seorang pemimpin
haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin'
(Tasharruf Al-Imam Manuthun bi Al-mashlahahAl-Mashlahah Al-'Ammah (secara
harafiyah, dalam bahasa Indonesia berarti: kepentingan umum).


Karena itu, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku) tentang
kepemimpinan dan bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan sebuah
organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilihan dalam kongres atau
muktamar, tetapi masih tampak betapa kuatnya factor keturunan dalam hal ini,
seperti dialami penulis sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang dengan garis
keturunan yang mewarisi kepemimpinan, harus membentuk kehidupannya sesuai
dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika pemimpin berdasarkan garis
keturunan terpilih, padahal pemimpin itu justru tidak memahami tugas dan
kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasaan dan kemudahan-kemudahan
yang diperolehnya, maka akan menjadi lemahlah kepemimpinan tersebut. Apalagi
jika kepemimpinan itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang takut
kepada tekanan-tekanan dari luar dirinya. Memang kedengarannya mudah
mengembangkan kepemimpinan dalam kehidupan, tetapi sebenarnya sulit juga,
bukan?


Jakarta, 17 Februari 2003

(Kedaulatan Rakyat, 21 Februari 2003)


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke