http://www.hidayatullah.com/berita/lokal/10584-2010-02-01-21-08-08.html

Indonesia Tak Memerlukan Pluralisme 
Monday, 01 February 2010 16:11 Nasional 
Pluralisme sebenarnya bentuk tipu daya Barat untuk  menghilangkan identitas 
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia 


Hidayatullah.com-Pluralisme di Indonesia saat ini bukan lagi sekedar wacana 
tapi telah merangsek menjadi gerakan aksi. Lebih dari itu pengasong paham 
pluralisme di Indonesia nampak begitu bersemangat untuk mewujudkan konstruk 
sosial yang mereka khayalkan. 

Hal ini bisa dilihat dari upaya LSM AKKBB baru-baru ini yang menghendaki 
pencabutan UU pelarangan penistaan agama ke Mahkamah Konstitusi. Apa sebenarnya 
pluralisme masih banyak orang yang belum memahami secara mendalam. Secara 
historis pluralisme merupakan hasil perjalanan panjang dari masa modernisme dan 
postmodernisme pada kultur Barat. Demikian penjelasan  Hamid Fahmy Zarkasy, 
Ph.D, dalam diskusi interaktif kemarin di Gedung Insani Press (GIP) Kalibata 
Jakarta Selatan.

"Berbicara pluralisme kita harus mengerti asal-usul paham tersebut muncul. Ini 
berarti secara mutlak kita mesti mengerti pandangan hidup dan sejarah Barat itu 
sendiri. Sebab pluralisme bukan sekedar konsep  tapi konstruk budaya Barat yang 
traumatic dengan hegemoni gereja dan pada saat yang sama merebaknya sikap 
intoleransi antar sekte dalam Kristen yang berlangsung berabad-abad lamanya. 
Awalnya bukan pluralism yang didagangkan tapi sekularisme. Namun setelah 
dinilai gagal maka pluralisme pun hadir sebagai penggantinya", ujar Hamid.

Menurut Hamid, secara konseptual, antara masa modernisme dengan masa 
postmodernisme terjadi suatu pergeseran paradigma yang sangat luar biasa. Jika 
modernisme identik dengan paham sekularis dan saintifis-nya maka postmodernisme 
hadir dengan ciri kebebeasan dan anti kemapanan. 

Modernisme dengan cara berpikir saintifiknya, sementara itu postmodernisme 
tidak lagi menjadikan logika formal modernisme sebagai suatu hal yang berharga 
alias tidak lagi berlaku. Postmodernisme lebih menekankan pada aspek pemaknaan 
kata-kata (logika bahasa) yang sasarannya tidak lain untuk melakukan 
dekontruksi makna sebagaimana dikenalkan oleh Derrida. Lebih jelasnya 
postmodernisme menghendaki perubahan cara berpikir formal dengan pemaknaan 
kata-kata dengan semangat dekkontruksi terhadap kemapanan.

Logika bahasa mengandung spirit nihilisme dan relativisme yang mana keduanya 
menjadi akar lahirnya pluralisme dan liberalisme. Sebagaimana spirit nihilisme 
dan relativisme pluralisme pun menghendaki adanya kebenaran bersama. Dengan 
kata lain semua benar atau semua salah atau tidak ada yang lebih benar dari 
yang lain.

"Logika bahasa mengarah pada dekontruksi makna dan upaya ini sama dengan apa 
yang ditawarkan Nietzsche dengan nihilisme-nya. Sehingga tidak saja kebenaran 
yang telah lenyap, Tuhan pun telah mati. Tetapi pluralisme nampak sedikit lebih 
elegan dengan mengakomodir semua kebenaran pada semua agama yang sejatinya 
tidak lebih dari sekedar upaya agar dunia menerima apa yang menjadi pandangan 
hidup Barat. Sebab pandangan hidup Barat tidak akan pernah diterima oleh dunia 
jika pluralisme gagal dipasarkan, apalagi masih ada komunitas agama yang 
mengklaim bahwa kebenaran ada pada pihaknya," tambahnya. 

Lebih Dewasa



Lebih jauh, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam 
Gontor Ponorogo ini juga menjelaskan hubungan liberalisme dan pluralisme. 
Menurutnya,  liberalisme,  menghendaki kebebasan untuk beragama juga termasuk 
kebebasan untuk tidak beragama. Oleh karena itu klaim kebenaran bagi kaum 
pluralis adalah haram.


Paham ini (pluralisme dan liberalisme, red) tidak lagi menyempitkan ruang Tuhan 
agar tidak mencampuri urusan manusia, lebih jauh mereka menghendaki untuk 
menjadi pengatur Tuhan itu sendiri. Dari keinginan semacam ini (mengatur Tuhan) 
Barat pun menciptakan agama baru yang kita kenal dengan istilah humanisme.


Jadi, humanisme tidak lain adalah liberalisme itu sendiri. Menurut kaum humanis 
untuk menjadi orang baik tidak perlu religius cukup dengan menjadi seorang 
moralis saja. Maka, nantinya akan ada pelacur yang dermawan dan kiai yang 
"teroris", dan lain sebagainya.


Humanisme yang kini dikemas dalam pluralisme hadir karena proyek sekularisasi 
dinilai telah gagal mensekulerkan umat Islam Indonesia secara khusus. Maka 
sebagai gantinya Peter Berger menawarkan pluralisme sebagai proyek baru. Semua 
isme yang dihadirkan Barat dan diamini oleh para pemikir liberal sejatinya 
bukanlah pandangan hidup melainkan sebuah proyek global yang menghendaki 
rusaknya aqidah umat Islam dan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang 
paling sukses dalam penjualan proyek pluralisme itu sendiri.


Terkait dengan antusiasme kaum liberal di Indonesia bukan saja karena secara 
sadar paham pluralisme mereka yakini sebagai sebuah kebenaran. Tapi ada satu 
faktor lain yang cukup menggiurkan, yakni keuntungan materi dan berbagai 
fasilitas lain bagi mereka yang mau mengasong pluralisme dan menjajakannya di 
Indonesia.


Dalam kesempatan itu, Pemimpin Redaksi Jurnal ISLAMIA ini menegaskan bahwa 
pluralisme tidaklah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini bukan saja 
karena Indonesia mayoritas Muslim, secara konsep Islam lebih "dewasa" di 
banding Barat sebagai peradaban. Menurutnya, secara historis Islam pertamakali 
hadir di tengah pluralitas masyarakat; ada Yahudi, Nashrani, Majusi, Musyrikin 
bahkan Jahiliyah. Sedangkan Barat berkembang tanpa tetangga, sehingga wajar 
ketika terjadi perbedaan paham yang melahirkan sekte dalam Kristen antara satu 
sekte dengan sekte lainnya saling benci bahkan saling serang dan saling bunuh 
dan kondisi ini tetap berlangsung hingga saat ini, paparnya.


"Kalau pluralisme diterapkan di Barat ya tidak masalah tapi kalau untuk 
Indonesia nanti dulu, sebab pluralisme itu sebenarnya bentuk tipu daya Barat 
untuk mencabut dan menghilangkan identitas Indonesia sebagai negara muslim 
terbesar di dunia", pungkasnya. [imam/www.hidayatullah.com] 



 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke