Refleksi : Kalau Jakarta makin tua makin semrawut, maka tentu saja kota-kota 
lain baik yang dijadikan ibukota propinsi atau kota kabutan, kota-kota biasa 
pun tidak ketingalan dari semrawut. Keadaan kota mencerminkan keadaan negara. 
Apa yang bisa diharapkan oleh rakyat dari yang namanya negara demikian?


http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/25/151293/70/13/Jakarta-makin-Tua-makin-Semrawut


Jakarta makin Tua makin Semrawut 
Jumat, 25 Juni 2010 00:00 WIB     

APA yang dapat diharapkan dari pertambahan usia sebuah kota? Yang paling 
sederhana adalah perubahan kota ke arah yang lebih baik. Kota yang makin 
tertib, makin aman, makin nyaman, dan makin beradab. 

Tetapi kondisi itu tidak kita dapati di Jakarta, kota yang berulang tahun 
ke-483 pada tanggal 22 Juni lalu. Jakarta yang juga ibu kota negara ini, 
semakin tua semakin rumit dengan tumpukan persoalan yang semakin sulit diatasi. 
Gubernur demi gubernur terus berganti, tetapi Jakarta semakin tenggelam dalam 
kesemrawutan seakan kota tanpa tuan. 

Kemacetan lalu lintas, banjir, ketersediaan air bersih, kriminalitas, konflik 
sosial, dan kemiskinan adalah sedikit contoh dari masalah yang tidak pernah 
berhasil dituntaskan. Masalah itu tetap tinggal sebagai masalah yang terus 
bertambah bobot dan skalanya setiap hari. Dan Jakarta tidak berdaya menghadapi 
itu semua. 

Slogan dan janji kampanye Fauzi Bowo sebelum terpilih menjadi Gubernur DKI, 
'Serahkan Jakarta pada ahlinya', telah dipersepsikan publik sebagai gimmick 
pemasaran politik yang mudah diucapkan, tetapi tidak dapat diwujudkan. 

Program busway yang dijalankan Pemprov DKI tidak saja gagal mengatasi kemacetan 
lalu lintas, dalam taraf tertentu justru menambah derajat kemacetan. Solusi 
lain seperti monorel dan subway juga belum dapat diandalkan karena terbengkalai 
dan terkendala pembangunannya. 

Banjir yang datang setiap tahun juga tidak pernah ditemukan solusinya. Berbagai 
alternatif diwacanakan, tetapi tidak ada satu solusi pun yang pernah 
benar-benar berhasil dilakukan untuk menuntaskan persoalan ini. 

Karena tidak ada seorang ahli pun yang mampu memecahkan masalah itu, masyarakat 
Jakarta pada akhirnya menyerah kepada keadaan dan menerima masalah-masalah itu 
sebagai sebuah keniscayaan. Ini amat menyedihkan. 

Karena itu, sebagai gubernur, Fauzi Bowo harus mampu keluar dari lingkaran 
setan persoalan ini. Adalah tanggung jawab seorang Gubernur DKI untuk mencari 
jalan keluar yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga Jakarta 
mampu terlepas dari persoalan-persoalan klasik itu. 

Salah satu yang harus dilakukan adalah dengan menciptakan iklim dan kebijakan 
yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik daripada proyek. Dalam 
mengatasi problem kemacetan lalu lintas, Pemprov DKI harus terus mendorong 
insentif bagi perbaikan pelayanan angkutan umum dan disinsentif bagi penggunaan 
kendaraan pribadi. Kendaraan umum harus dibuat senyaman mungkin dan setertib 
mungkin sehingga publik lebih memilih menggunakan transportasi umum daripada 
mobil pribadi. 

Semangat yang sama juga harus diterapkan dalam mengatasi banjir. 
Bangunan-bangunan pribadi maupun perkantoran yang melanggar jalur hijau dan 
daerah resapan air harus ditertibkan. 

Sesungguhnya keahlian yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan Jakarta 
adalah keahlian untuk menegakkan aturan yang berpihak kepada orang banyak dan 
sensitivitas serta solidaritas sosial dari seorang pemimpin. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke