http://www.kompas.com/utama/news/0504/22/000756_.htm
KKR dan Keadilan Restoratif Muladi MENGUTIP berita Harian Kompas (2/4/2005) halaman 7, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini (tanggal 28 Maret 2005), melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 telah membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (PSPCA-KKR). Pembentukan ini merupakan realisasi perintah UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang mengharuskan pembentukan KKR paling lambat enam bulan setelah UU No 27/2004 diundangkan (paling lambat 5 April 2005). Pembentukan KKR tersebut juga merupakan amanat dari Ketetapan MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 27/2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota KKR yang akan memilih 42 orang calon yang akan diajukan kepada Presiden dan kemudian Presiden akan memilih 21 orang. Selanjutnya dengan persetujuan DPR mereka akan ditetapkan sebagai anggota KKR. KKR adalah lembaga independen dan ekstra yudisial yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat (gross violation of human rights), yaitu genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagaimana dimaksud oleh UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan melaksanakan rekonsiliasi. Rekonsiliasi sendiri diberi makna sebagai hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa. Bersifat komplementer Pasal 47 UU No 26/2000 telah menentukan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26/ 2000 tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang akan dibentuk dengan UU. Pengaturan antisipatif ini tampaknya dilakukan dengan memperhitungkan pelbagai kendala yang mungkin menghadang proses pengadilan HAM berat ad hoc terhadap kasus-kasus masa lalu, yang "terpaksa" memberlakukan ketentuan hukum pidana secara retroactive (berlaku surut). Kendala-kendala tersebut, antara lain, masalah pembuktian yang rumit mengingat kejadiannya sudah lama, implikasi politis yang timbul yang menumbuhkan sikap pro-kontra, rasa ketidakpuasan korban yang memicu sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum dan kesan terjadinya impunity (negara dianggap memberikan pembebasan terhadap pelaku dari rasa tanggung jawab dan sanksi). Hal ini jelas tidak boleh berlarut-larut sehingga mengganggu persatuan nasional. Secara empiris, pengadilan HAM ad hoc dibentuk oleh penguasa pascapemerintahan yang otoriter atau pascaperang dan apa pun bentuknya, baik nasional, internasional maupun gabungan (hybrid model), memiliki karakteristik khusus, yaitu semangat mengamankan penghormatan terhadap HAM, berusaha menciptakan keadilan bagi semuanya, mengakhiri praktik impunity, mencegah kejadian serupa di masa datang dan upaya mengakhiri konflik. Nantinya KKR sebagai alternatif pengadilan HAM ad hoc juga harus mengamankan pelbagai spirit tersebut. Aspek yang sangat menonjol baik dalam pengadilan HAM maupun KKR adalah perhatian atau perlakuan terhadap korban. Hal ini semakin menarik perhatian internasional dan ilmu pengetahuan (victimology), yang mencakup baik skema perlindungan terhadap korban untuk memperoleh keadilan (access to justice) maupun santunan dalam bentuk restitusi (dibayar oleh pelaku), kompensasi (dibayar oleh negara) maupun rehabilitasi pemulihan harkat dan martabat seseorang serta bantuan-bantuan dalam bentuk lain, misalnya bantuan kesehatan. Sebaliknya bagi si pelaku (perpetrator) yang memenuhi syarat-syarat tertentu dapat diberikan amnesti (pengampunan) yang diberikan presiden. Sebaliknya dalam Pasal 29 Ayat (3) UU No 27/2004 dinyatakan bahwa dalam hal tersangka pelaku pelanggaran HAM berat tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka yang bersangkutan kehilangan haknya mendapat amnesti dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc. Demi kepastian hukum, dalam Pasal 44 UU No 27/2004 diatur bahwa pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan melalui KKR, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad hoc. Kenyataan menunjukkan adanya pelbagai bentuk KKR di pelbagai negara. Namun, dengan melihat karakternya, KKR Indonesia lebih mirip dengan KKR yang ada di Afrika Selatan, yang juga terdiri atas tiga committee (subkomisi), yaitu Committee on Human Rights Violations (Indonesia: Subkomisi Penyelidikan dan Klarifikasi); Committee on Reparations (Indonesia: Subkomisi Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi); dan Committee on Amnesty (Indonesia: Subkomisi Pertimbangan Amnesti). Konsep keadilan Pembentukan KKR di pelbagai negara menciptakan pergeseran konsep keadilan (concept of justice) dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu dari keadilan atas dasar pembalasan (retributive justice/prosecutorial justice) yang melekat pada sistem peradilan pidana, ke arah keadilan dalam KKR yang bersifat keadilan restoratif (restorative justice/community based justice), yang menekankan betapa pentingnya aspek restoratif atau penyembuhan bagi mereka yang menderita karena kejahatan. Fokus primer bergeser dari pelaku (perpetrator) kepada si korban (victim). Proses KKR tidak bertujuan semata-mata untuk menghukum atau mempermalukan seseorang (pillorying) atau menuntut, tetapi lebih pada usaha untuk memperoleh kebenaran yang pada akhirnya bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yang tidak harmonis antara pelaku, korban dan masyarakat, yang ketiga-tiganya pada dasarnya merupakan korban kejahatan. Keadilan dalam KKR sinonim dengan pengungkapan secara lengkap (complete disclosure) atas semua kejadian dengan menghadapkan dan mempertemukan secara jujur pelaku dan korban dengan menghindari hukum acara yang rumit. Proses KKR bertujuan menghindarkan terulangnya kejadian serupa di masa datang melalui proses rekonsiliasi dan tidak semata-mata mengarah pada pemidanaan atas dasar kemanusiaan dan kesadaran adanya rasa saling ketergantungan dalam masyarakat (community interdependence). Perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas dipandang sama pentingnya dengan pemidanaan dan atau rehabilitasi pelaku kejahatan. Dengan demikian, secara terintegrasi dilihat adanya saling membutuhkan satu sama lain. Korban dan pelaku ditempatkan dalam posisi yang sama pentingnya dalam satu bangunan sosial. Basis pengertian yang dikembangkan adalah pemahaman sebagai ganti pembalasan, reparasi sebagai ganti retaliasi dan rekonsiliasi sebagai ganti viktimisasi. Namun, tetap dipegang teguh adanya prinsip bahwa memaafkan bukanlah mengabaikan apa yang telah terjadi (to forgive is not to ignore). Dalam hal ini pengakuan masyarakat dianggap tidak kurang manfaatnya dibandingkan dengan pengakuan melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Tidak diingkari bahwa sistem peradilan pidana telah mendemonstrasikan keberhasilannya dalam menuntut dan memenjara seseorang, tetapi selalu gagal untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman. Seharusnya korban kejahatan harus diperlakukan secara bermartabat dan pelaku serta korban harus dirukunkan kembali (reconciled). Pelaku tidak hanya harus dipertanggungjawabkan, tetapi juga wajib direintegrasikan kembali ke dalam masyarakat agar menjadi warganegara yang produktif. Akhir-akhir ini PBB juga mulai menganjurkan pendayagunaan konsep restorative justice secara lebih luas dalam sistem peradilan pidana melalui UN Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters (2000). Pengaruh viktimologi. Harus diakui bahwa perkembangan konsep keadilan restoratif tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig, seorang ahli kriminologi pada tahun 1941 dan Mendelsohn pada tahun 1947. Perkembangan ini melalui beberapa tahap. Tahap pertama (Penal Victimology/Interactionist Victimology) yang melekat pada hukum pidana dan kriminologi melihat korban sebagai partisipan dan penyebab terjadinya suatu kejahatan karena kesalahannya sehingga hal ini merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam pemidanaan pelaku. Tahap kedua (General Victimology) yang berkembang setelah Perang Dunia II (1956), merupakan studi tentang viktimitas dalam rangka untuk mencegah terjadinya korban melalui tindakan pencegahan dan bantuan pada korban (victim assistance). Dalam kerangka ini pemahaman korban diperluas mencakup korban- korban kecelakaan, bencana alam dan korban tindakan lain karena kehendak Tuhan. Tahap kedua ini bersifat independen terhadap hukum pidana dan kriminologi, yang tujuannya adalah membantu pemerintah mengurangi penderitaan manusia, termasuk pelanggaran HAM pada masa perang. Dalam hal ini terjadi pergeseran dari victimology of act menjadi victimology of action (applied victimology), yang menumbuhkan gerakan advokasi terhadap korban dan pelayanan terhadap korban. Salah satu dampaknya adalah terjadinya manipulasi politik dalam bentuk pemberatan pidana terhadap pelaku (offender bashing) demi pelayanan terhadap korban kejahatan Tahap ketiga berkembang pada tahun 1970-an menandai viktimologi sebagai suatu disiplin penelitian. Hal ini erat kaitannya dengan aktivitas the World Society of Victimology (WSV). Pada tahap ini viktimologi diartikan sebagai suatu studi ilmiah tentang tingkat, hakikat dan kausa viktimisasi kriminal, konsekuensinya terhadap orang-orang yang terlibat dan reaksi yang ditimbulkan melalui masyarakat, khususnya polisi dan sistem peradilan pidana maupun para pekerja sosial dan profesional. Pemahaman ini sekaligus mencakup baik pengertian viktimologi tahap pertama (penal victimology) yang cenderung bersifat ilmiah maupun victimologi tahap kedua (assistance-oriented victimology) yang cenderung merupakan tindakan pelayanan atau kebijakan yang berorientasi pada korban. Hal inilah yang merupakan penggerak diadopsinya UN General Assembly's Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power pada tahun 1987 beserta panduan pelaksanaannya bagi pengambil kebijakan . Tahap keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987, yang memperluas jangkauan definisi viktimologi sehingga mencakup korban pelanggaran HAM (victims of human rights abuses) sebagai isu sentral viktimologi dan mengeluarkan dari definisi, korban bencana alam dan kecelakaan karena dipandang terlalu luas dari sisi ilmiah. Deklarasi Sidang Umum PBB di atas dijadikan acuan utama. Dalam hal ini korban diartikan sebagai orang-orang yang secara individual atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk penderitaan fisik atau mental, emosional, kerugian ekonomi atau pelanggaran substansial terhadap hak-hak fundamentalnya, melalui perbuatan-perbuatan atau sikap tidak berbuat (omissions) yang telah melanggar hukum pidana, termasuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dengan demikian terbuka kemungkinan luasnya definisi korban mengingat kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan termasuk kejahatan perang (war crimes) saat ini mencakup perundang-undangan dan yurisprudensi nasional dan internasional. Efektivitas KKR Banyak orang yang skeptis terhadap daya guna dan hasil guna kinerja KKR. Sikap skeptis ini banyak dipicu oleh beberapa faktor. Faktor pertama terletak pada keragu-raguan terhadap kualitas anggota KKR yang dikhawatirkan tidak profesional, termasuk tidak independen. Hal ini terkait pula kualitas Panitia Seleksi yang dituntut masyarakat benar-benar dua orang mewakili unsur pemerintah, tiga orang orang berasal dari unsur masyarakat. Faktor kedua adalah kultur permusuhan (culture of hostility) dan kultur dendam yang tidak ikhlas untuk diadakannya rekonsiliasi. Rekonsiliasi akan dilihat sebagai rekayasa untuk melakukan impunity. Faktor ketiga adalah tidak jelasnya atau adanya kejanggalan beberapa substansi UU No 27/ 2004, misalnya menyangkut hubungan KKR dengan Komisi Nasional (Komnas) HAM. Sebagai contoh adalah apakah hasil penyelidikan KKR dapat disetarakan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM, khususnya apabila amnesti ditolak untuk diteruskan ke pengadilan HAM ad hoc. Contoh lain adalah ketentuan Pasal 27 UU Tentang KKR yang menyatakan bahwa kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Hal lain yang menimbulkan pertanyaan adalah pemahaman tentang amnesti dalam KKR. Dalam UU No 27/2004, amnesti diartikan secara umum, padahal secara universal pemahaman amnesti dalam KKR mempunyai makna khusus dan lebih terukur. Amnesti dalam hal ini mestinya hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar mengakui sepenuhnya keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat semata-mata dimotivasi oleh aspek politis (associated with political objectives) yang bersifat proporsional. Motif lain, seperti keuntungan pribadi, kebencian individual, sakit hati, iri hati yang bersifat pribadi, tidak dapat dijadikan dasar amnesti. Selanjutnya pemohon amnesti harus bersedia didengar secara terbuka untuk menjawab pertanyaan KKR, penasihat hukum korban atau korban sendiri. Permintaan maaf dan penyesalan semata-mata bukan alasan pemberian amnesti. Di samping usaha-usaha untuk mengatasi pelbagai kekurangan di atas, hal lain yang juga sangat menentukan keberhasilan KKR adalah adanya keterpaduan budaya hukum (legal culture) masyarakat yang kondusif untuk berfungsinya KKR. Dalam hal ini sosialisasi yang luas terhadap keberadaan KKR mutlak masih sangat diperlukan. Penguasa dalam hal ini harus bersungguh-sungguh karena KKR sebagai paradigma baru tentang keadilan merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban negara (state responsibility) karena dalam pengadilan HAM ad hoc hanya berlaku pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility). Muladi (GURU Besar Universitas Diponegoro) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/