http://www.suarapembaruan.com/News/2005/04/21/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Hari Kartini, 21 April Kekerasan (Tersamar) terhadap Perempuan oleh Pemerintah Neni Utami Adiningsih DESAK Made Hugheshia Dewi alias Hughes (34), itulah sosok perempuan yang beberapa hari terakhir ramai menjadi bahan perbincangan. Terlebih setelah ia membeberkan kekerasan yang dialaminya selama menikah dengan Achmad Hestiafin Tachtiar Arifin alias Avin (35). Semua pun berlomba memberikan simpati. Termasuk pemerintah, yang kian hari semakin beratensi terhadap upaya mereduksi aneka bentuk kekerasan terhadap perempuan. Apalagi sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Sebagai tindak lanjut keberadaan UU PKDRT, Pemerintah pun gencar menyosialisasikan langkah-langkah untuk memperkecil peluang perempuan akan mengalami KDRT. Salah satu langkah yang paling gencar adalah mengajak para perempuan agar mempunyai kemandirian secara ekonomi, alias "bisa mencari uang sendiri". Pemerintah beranggapan bahwa dengan bisa mencari uang sendiri maka perempuan (para istri) menjadi tidak bergantung pada laki-laki (para suami), yang akan membuat perempuan mempunyai posisi tawar yang seimbang dengan laki-laki, yang pada akhirnya akan membuat laki-laki tidak lagi berani melakukan kekerasan terhadap perempuan. Tentu saja anggapan ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Masalah Hughes merupakan contoh nyata. Ia yang mampu mencari uang sendiri ternyata juga tidak bisa lepas dari kekerasan (suaminya). Sayangnya, anggapan di atas telah membuat pemerintah menjadi tidak menghargai keberadaan perempuan yang tidak mencari uang sendiri, yang menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja di rumah, mengatur rumahnya, mengurus suami, mengasuh dan merawat anak-anaknya, yang menjadi ibu rumah tangga. Di sinilah terbuka peluang terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan oleh Pemerintah. Nafikan Kerja Domestik Penafian kerja domestik para perempuan oleh pemerintah secara nyata dapat disimak dalam berbagai literatur, ulasan statistik, hasil penelitian ataupun survei, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak di luar pemerintah. Untuk Kota Bandung misalnya, penafian kerja domestik dapat disimak dalam buku Profil Statistik dan Analisis Gender di Kota Bandung Tahun 2004, yang merupakan hasil kerja sama antara Badan Pusat Statistik Kota Bandung dan Bagian Pemberdayaan Perempuan Pemerintahan Kota Bandung, sebagai bagian dari pemerintah. Dalam buku tersebut, istilah bekerja didefinisikan sebagai melakukan kegiatan/ pekerjaan paling sedikit satu jam berturut-turut selama seminggu dengan maksud untuk memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan/keuntungan. Sedangkan istilah angkatan kerja (labor force) diartikan sebagai mereka yang berusia 10 tahun ke atas yang bekerja atau mencari pekerjaan. Mengacu pada definisi di atas, hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2003 menunjukkan bahwa dari seluruh penduduk Kota Bandung yang berumur 10 tahun ke atas (1.839.054 jiwa) yang merupakan angkatan kerja sebanyak 1.034.581 jiwa atau 56,26 persen. Dengan perincian, 823.375 jiwa atau 44,77 persen melakukan kegiatan bekerja dan 211.206 jiwa atau 11,49 persen dalam kondisi sedang mencari kerja. Hasil survei di atas secara langsung juga menyatakan bahwa ada 804.473 jiwa yang tidak termasuk angkatan kerja. Siapakah mereka? Yaitu mereka yang bersekolah, sebanyak 357.909 jiwa atau 19,46 persen, dan mereka yang mengurus rumah tangga sebanyak 369.093 jiwa atau 20,07 persen (catatan, survei ini menyisakan 4,21 persen dari mereka yang tidak termasuk dalam angkatan kerja dalam kategori lain-lain). Saya akan fokuskan data pada kriteria, bukan angkatan kerja karena mengurus rumah. Ternyata sebagian besar adalah perempuan. Dari 369.093 jiwa penduduk Bandung yang tidak termasuk angkatan kerja karena ia mengurus rumah tangga, ternyata 365.549 (atau 99,04 persen) adalah perempuan. Bayangkan, ada begitu banyak perempuan yang setiap hari bersimbah peluh, memutar otak untuk memberdayakan keluarganya, ternyata oleh pemerintah mereka hanya dianggap sebagai pengangguran. Sungguh malang benar nasib para perempuan yang menjadi ibu rumah tangga. Jerih payahnya sejak matahari belum terbit hingga tengah malam ternyata tidak mendapatkan apresiasi, masih dianggap sebagai penganggur. Bahkan "kalah" dari mereka yang baru sibuk mencari kerja. Sungguh logika yang aneh dan dangkal. Logika ini akan semakin tampak aneh bila menggunakan acuan jumlah jam kerja. Dalam buku itu juga diungkapkan bahwa jam kerja merupakan salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menghitung angka setengah pengangguran. Seseorang baru dianggap bekerja bila ia bekerja setidaknya 35 jam per minggu. Apabila seseorang bekerja kurang dari 35 jam per minggu maka dikategorikan setengah pengangguran. Bagaimana dengan rentang aktivitas para ibu rumah tangga? Kalau mau hitung-hitung, para ibu rumah tangga beraktivitas mulai dari pukul pukul 05.00 (bahkan sering kali sebelum pukul 05.00) ketika anggota keluarga yang lain masih lelap, hingga pukul 22.00 (bahkan lebih) ketika anggota keluarga lain sudah lelap. Mulai dari aktivitas membangunkan anak-anak, membantu menyiapkan perlengkapan sekolah mereka, menyiapkan sarapan untuk keluarga, mengantar ke sekolah, membersihkan rumah, memasak, menemani belajar, dan sebagainya. Setelah dipotong dengan berbagai urusan pribadi, setidaknya para ibu rumah tangga bekerja 12 jam sehari. Artinya, setidaknya ia bekerja 84 jam seminggu (bukankah hari Minggu pun juga merupakan hari sibuk bagi para ibu rumah tangga, bahkan terkadang justru lebih sibuk dari biasanya). Ini artinya, ditinjau dari sudut jumlah jam kerja, para ibu rumah tangga sangat layak untuk dianggap bekerja. Diskriminasi dan Kekerasan Kondisi penafian kerja domestik dari para ibu rumah tangga ini tentu tidak bisa dibiarkan. Pertama, karena kondisi ini secara nyata menunjukkan bahwa pemerintah tidak konsisten alias plin-plan. Bukankah untuk pekerjaan yang sama, untuk jenis kelamin yang sama (sama-sama perempuan) ternyata Pemerintah memberikan apresiasi yang berbeda. Kepada para pembantu rumah tangga (PRT) dan para baby sitter (yang umumnya adalah perempuan), pemerintah menganggap mereka sebagai bagian dari angkatan kerja. Sementara para ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan identik (bahkan lebih berat, karena juga melibatkan aspek emosi bahkan moral) dengan mereka, pemerintah tidak menganggapnya sebagai angkatan kerja, hanya gara-gara aktivitasnya tidak menghasilkan uang. Ketidakkonsistenan ini juga dapat dilihat dari kondisi, mengapa para pencari kerja dimasukkan dalam kategori angkatan kerja. Bukankah mereka juga tidak menghasilkan uang, seperti halnya para ibu rumah tangga? Kedua, karena akan membuka celah terjadinya kesalahan analisis. Hal ini tampak pada hasil survei Susenas tersebut yang kemudian dipakai sebagai dasar analisis untuk menghitung Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). TPAK didefinisikan sebagai perbandingan antara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja. Sedangkan TPT didefinisikan sebagai penduduk yang mencari pekerjaan baik sudah bekerja maupun belum bekerja terhadap angkatan kerja. Untuk kota Bandung diketahui bahwa TPAK penduduk laki-laki sebesar 74,11 persen sedangkan TPAK perempuan sebesar 38,43 persen. Sedangkan untuk TPT perempuan sebesar 26,59 persen sementara untuk laki-laki sebesar 17,20 persen. Angka-angka di atas sesungguhnya dengan logika sederhana saja, tanpa perlu adanya analisis yang memusingkan, sudah bisa diprediksi. Dengan tidak dimasukkannya para ibu rumah tangga sebagai bagian dari angkatan kerja, alias dianggap sebagai penganggur, padahal sangat besar persentase perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, maka pastilah angka TPT perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Akan lain ceritanya apabila kerja domestik dari ibu rumah tangga juga diakui sebagai sebuah bentuk bekerja. Saya jamin, angka TPT antara perempuan dan laki-laki akan bersaing, bahkan tidak tertutup kemungkinan angka TPT laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Di sisi lain TPAK perempuan lebih tinggi daripada TPAK laki-laki. Ketiga, akan membuka peluang terjadinya kesalahan pemerintah dalam membuat program. Sudah terbukti dengan banyaknya program pemerintah yang semata-mata agar para ibu rumah tangga bisa ikut mencari uang, sehingga tidak lagi dianggap sebagai pengangguran. Misalnya tampak dari keberadaan Program bagi Penganggur Perempuan (2001), juga tampak dari banyaknya program dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam konteks "mempekerjakan" perempuan. Tindak penafian kerja domestik ini harus segera dihentikan. Langkah yang harus segera dilakukan Pemerintah adalah memasukkan aktivitas domestik (mengurus rumah tangga) sebagai bentuk bekerja. Karena hal ini menyangkut perempuan, hendaknya jajaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan (dari pusat hingga ke daerah) gigih mengu-payakan hal tersebut. Sungguh aneh bila mereka menggembar-gemborkan upaya mereduksi kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan sementara mereka sendiri "mendukung" terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan (ibu rumah tangga). Saya sungguh menghargai upaya keras pemerintah dalam membuka kesempatan agar perempuan bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin (sebagaimana yang dicita-citakan Kartini). Namun upaya tersebut akan kehilangan makna bila tidak diikuti dengan apresiasi pemerintah terhadap aktivitas perempuan di ranah domestik, karena akan kian mereduksi minat para perempuan berpendidikan tersebut untuk menekuni aktivitas domestik. Dan ini sungguh bertolak belakang dengan cita-cita Kartini, "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum perempuan, agar perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya; menjadi IBU, pendidik manusia yang pertama-tama" (surat Kartini kepada Prof Anton dan istrinya, 4 Oktober 1902). * Penulis adalah ibu rumah tangga yang sangat berminat pada masalah anak, perempuan, dan keluarga Last modified: 21/4/05 [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/